Selain Stagflasi, Ini Tiga Ancaman Perekonomian Global Versi BI

IDXChannel- Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan kebijakannya untuk menahan tingkat suku bunga acuan atau BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di level 3,5 persen. Tak hanya itu, BI juga menahan suku bunga deposit facility sebesar 2,75 persen, serta suku unga lending facility sebesar 4,25 persen.
Langkah menahan suku bunga sengaja diambil lantaran BI masih meyakini bahwa tingkat inflasi domestik masih dalam kondisi aman terkendali, dengan perkiraan inflasi di kisaran 4,2 persen pada tahun ini. Dengan asumsi itu, pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan masih akan dipertahankan di level 4,5 persen hingga 5,3 persen secara tahunan, sesuai dengan perkiraan BI pada bulan lalu.
Namun demikian, BI rupanya tidak cukup yakin dengan tren pertumbuhan ekonomi global, sehingga merevisinya dari prediksi sebelumnya di level 3,4 persen menjadi hanya tiga persen saja.
"Ada tiga risiko utama yang akan mempengaruhi pemulihan ekonomi global hingga akhir tahun nanti, selain juga adanya risiko stagflasi, yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi namun disertai lonjakan inflasi," ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam keterangan resminya, usai Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI), Kamis (23/6/2022).
Ketiga risiko tersebut, menurut Perry, yaitu terus berlanjutnya perang Rusia-Ukraina yang mengganggu pasokan energi dan pangan dunia. Kondisi ini membuat tren kenaikan harga sejumlah komoditas menjadi tak terelakkan lagi.
"Kondisi ini menimbulkan (risiko perlambatan ekonomi global) dari sisi pasokan, sehingga dari sisi harga terjadi risiko (kenaikan) yang lalu mendorong kenaikan inflasi di seluruh dunia," tutur Perry.
Sedangkan risiko kedua, disebut Perry yaitu kebijakan pengetatan moneter di Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara maju lainnya, yang memicu lonjakan inflasi di negara tersebut. Tak hanya negara-negara maju, ancaman lonjakan inflasi muncul bagi negara-negara dengan ruang fiskal yang terbatas, sehingga terjadi transmisi kenaikan harga komoditas global ke harga jual dalam negeri.
"Hal ini memicu penurunan daya beli dan melemahnya permintaan, sehingga juga menghambat pertumbuhan ekonomi," papar Perry.
Sedangkan risiko ketiga, lanjut Perry, adalah kondisi domestik China yang masih terus berjibaku dengan pandemi COVID-19. Kondisi ini diperparah dengan ambisi Pemerintah China untuk mengimplementasikan kebijakan zero COVID-19, sehingga memantik perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.
"Dengan adanya ketiag faktor tekanan ini, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi global berisiko ke bawah, sehingga yang semula kami perkirakan masih bisa diharapkan mencapai 3,4 persen, dengan ketiga faktor itu, kami prediksi akan turun menjadi tiga persen di tahun ini," tegas Perry. (TSA)