BANKING

Adu Tangguh Kinerja Perbankan RI versus AS di Sisa 2023

Maulina Ulfa - Riset 11/08/2023 07:30 WIB

Sejumlah bank di Amerika Serikat (AS) dilaporkan memperoleh penurunan peringkat kredit oleh lembaga pemeringkatan Moody’s pada Selasa (8/8/2023).

Adu Tangguh Kinerja Perbankan RI versus AS di Sisa 2023. (Foto: Freepik)

IDXChannel - Sejumlah bank di Amerika Serikat (AS) dilaporkan memperoleh penurunan peringkat kredit oleh lembaga pemeringkatan Moody’s pada Selasa (8/8/2023).

Ada 10 bank besar di AS yang mengalami penurunan peringkat kredit, yakni M&T Bank (MTB), Webster Bank (WBS), Pinnacle Financial Partners (PNFP), BOK Financial Corp. (BOKF), Associated Banc-Corp. (ASB), Old National Bancorp (ONB), Amarillo National Bank, Commerce Bancshares (CBSH), Prosperity Bank (PB), dan Fulton Financial Corp. (FULT).

Lembaga ini juga memberikan pandangan negatif kepada enam pemberi pinjaman papan atas, yaitu Bank of New York Mellon (BK), U.S. Bancorp (USB), State Street Corp. (STT), Truist Financial Corp. (TFC), Northern Trust Corp. (NTRS), dan Cullen/Frost Bankers Inc. (CFR).

Moody’s meninjau kinerja mereka untuk potensi penurunan peringkat di masa mendatang.

Lain ladang lain belalang, beda nasib kinerja sektor perbankan di Indonesia yang malah moncer sejak tahun lalu. Lalu mengapa AS masih sangat berjuang mengembalikan kepercayaan investor terhadap industri perbankan mereka?

Faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja moncernya kinerja perbankan RI sepanjang tahun lalu hingga memasuki semester pertama tahun ini?

Kinerja Perbankan AS pasca Krisis 2008

Gonjang-ganjing perbankan AS dimulai dari kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB) di awal 2023. SVB terpaksa ditutup oleh regulator California, Department of Financial Protection and Innovation yang mengambil alih unit bank berbasis Santa Clara, California karena kebangkrutan dan likuiditas yang tidak memadai.

SVB memiliki total aset sekitar USD209,03 miliar pada akhir 2022, dan menjadikannya kegagalan bank AS terbesar kedua yang pernah ada.

Tak lama kemudian, Signature Bank menyusul SVB yang juga dinyatakan bangkrut oleh otoritas setempat. Signature Bank memiliki total aset sekitar USD110,36 miliar per 31 Desember 2022. Kolapsnya lembaga perbankan ini menjadi kegagalan bank terbesar ketiga dalam sejarah AS. (Lihat tabel di bawah ini.)

Dampak dari jatuhnya SVB dan Signature Bank mendorong terjadinya aksi bank run atau penarikan dana nasabah secara bersamaan.

Dalam dua minggu setelah SVB mengalami bank run, simpanan di bank komersial AS turun sebesar USD300,17 miliar.

Mengutip Trading Economics, total aset seluruh bank umum di AS mencapai USD22.820 Miliar per Juli 2023, menurut data bank sentral AS, The Federal Reserve. Secara historis, total aset bank umum di AS mencapai rekor tertinggi USD23.233,37 miliar pada Maret 2023 dan rekor terendah USD699,56 miliar pada Januari 1973.

Sementara itu, The Fed mencatat pertumbuhan deposito berjangka yang cukup besar di seluruh industri pasca kolapsnya dua bank tersebut.

Ini artinya, perbankan akan terbebani dalam membayar bunga deposito kepada nasabah dan pada akhirnya membebani likuiditas.

Laporan S&P Global juga memproyeksikan pendapatan bank AS diperkirakan turun 18,3 persen pada 2023 karena aliran keluar simpanan dan biaya simpanan yang lebih tinggi membebani margin bunga bersih.

Suku bunga yang lebih tinggi juga mendorong meningkatkan imbal hasil pinjaman tetapi juga menyebabkan meningkatnya tekanan pada likuiditas bank.

Biaya pendanaan juga diproyeksikan akan meningkat lebih cepat daripada imbal hasil aset produktif sepanjang 2023. Kondisi ini rentan menyebabkan margin bunga bersih berkontraksi sebesar 10 basis poin pada tahun ini dan 7 basis poin lainnya pada 2024.

Deposit beta, atau persentase perubahan kurs yang diberikan bank kepada nasabah, akan naik lebih dari dua kali lipat pada 2023 dari level tahun lalu.

Namun, sebagian besar bank mengatakan bahwa saldo simpanan mereka cukup stabil bahkan dalam menghadapi kekhawatiran likuiditas yang muncul di pasar.

Data likuiditas The Fed yang melacak saldo bank komersial secara mingguan menunjukkan bahwa simpanan di bank umum AS terus mengalami penurunan pada kuartal kedua tahun ini. (Lihat grafik di bawah ini.)

Sebelumnya, kampanye pengetatan suku bunga The Fed diproyeksi masih akan berlanjut ke depan. Pada pertemuan FMOC Juli, The Fed masih mengerek suku bunga pinjaman acuan ke kisaran 5,25 persen hingga 5,5 persen.

Ini menjadi serangkaian upaya lanjutan memperketat kebijakan moneter secara agresif selama satu setengah tahun terakhir dalam upaya untuk mengendalikan inflasi AS yang sulit dijinakkan.

"Kami memperkirakan risiko bank akan diperburuk oleh kenaikan signifikan tingkat suku bunga serta pengurangan berkelanjutan dalam cadangan sistem perbankan The Fed," kata Moody's dalam laporan terbarunya.

Adapun berdasarkan analisis Fitch Ratings, pengetatan kuantitatif (QT) The Fed juga secara signifikan mengurangi likuiditas dalam sistem perbankan komersial AS selama tahun depan.

Ini karena tingkat agregat cadangan bank yang disimpan di bank sentral turun. QT juga akan menekan simpanan bank, meningkatkan rasio pinjaman terhadap simpanan (L/D) di seluruh sistem perbankan AS.

Likuiditas yang lebih ketat dapat memperburuk peralihan yang sedang berlangsung ke kondisi kredit yang lebih ketat dan pada gilirannya akan membebani pertumbuhan AS.

Kinerja Perbankan RI Lebih Kokoh

Dibandingkan dengan sistem perbankan AS, sistem perbankan RI terbilang masih lebih kokoh. Hal ini terlihat dari rasio likuiditas, penyaluran kredit, hingga kinerja keuangan dan saham perbankan.

Laporan terbaru Bank Indonesia menemukan, likuiditas perbankan RI masih tercatat sehat sehingga berpotensi mendorong berlanjutnya peningkatan kredit atau pembiayaan. 

Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tercatat tinggi, yakni 26,73 per Juni 2023, sejalan dengan stance kebijakan likuiditas longgar Bank Indonesia.

Perkembangan likuiditas tersebut berperan positif terhadap perkembangan suku bunga perbankan. 

Di perbankan, suku bunga deposito 1 bulan dan suku bunga kredit pada Juni 2023 terjaga rendah, yaitu sebesar 4,14 persen dan 9,34 persen.

Empat perbankan terbesar di RI masih cukup mencatatkan kinerja likuiditas stabil. Terlihat dari rasio loan to deposit (LDR) yang masih di bawah 90 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)

Sebagai informasi, LDR adalah perbandingan total penyaluran kredit terhadap total dana yang diterima. Semakin tinggi angka rasio yang ditunjukkan, hal ini menunjukkan bahwa suatu bank semakin memiliki tingkat likuiditas yang rendah.

LDR menggambarkan seberapa mampu sebuah bank untuk membayar kembali dana depositor yang telah digunakan untuk memberikan kredit atau pinjaman kepada nasabah lainnya.

Bank Indonesia menetapkan batas LDR menjadi 92 persen pada Desember 2013. Angka di bawah 92 persen menunjukkan LDR yang masih longgar.

Kinerja saham dan perolehan laba perbankan big cap tersebut juga masih moncer sepanjang tahun ini.

PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mencatatkan laba bersih tertinggi di antara empat pesaingnya mencapai Rp20,12 triliun per Mei 2023. Kinerja saham perbankan paling moncer secara year to date (ytd) disabet Bank Mandiri (BMRI) sebesar 18,89 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)

 

Tantangan ke Depan

Kondisi ekonomi AS yang masih berjuang lepas dari inflasi menjadi tantangan tersendiri bagi industri perbankan negeri Paman Sam.

Sementara fundamental RI terpantau lebih kokoh dibandingkan AS. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal-II 2023 mampu mengungguli negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) hingga negara-negara Eropa.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia kuartal II-2023 tumbuh sebesar 5,17 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Dari sisi kinerja, penyaluran kredit masih menjadi tulang punggung perbankan. Data BI melaporkan kinerja kredit/pembiayaan perbankan tumbuh melambat karena menurunnya permintaan kredit dari dunia usaha.

Meski demikian, posisi kredit investasi perbankan secara nasional mencapai Rp1,67 kuadriliun pada Januari 2023, meningkat sekitar 11,4 persen secara year-on-year (yoy).

Jika dibandingkan dengan lima tahun lalu, nilai kredit investasi tersebut sudah bertambah sekitar Rp480 triliun atau tumbuh 41,3 persen dari posisi Januari 2018.

“Di tengah longgarnya sisi penawaran oleh tersedianya likuiditas, tingginya rencana penyaluran kredit, serta longgarnya standar penyaluran kredit/pembiayaan perbankan, korporasi cenderung mempercepat pelunasan kredit, dan berperilaku wait and see dalam meningkatkan rencana investasinya ke depan,” ungkap BI dalam rilisnya pada 25 Juli lalu.

BI juga memprakirakan pertumbuhan kredit pada 2023 masih dalam kisaran 9 hingga 11 persen secara tahunan.

Kredit perbankan pada Juni 2023 tumbuh sebesar 7,76 persen, terutama ditopang oleh sektor jasa dunia usaha, jasa sosial, dan pertambangan. Pembiayaan syariah juga tumbuh tinggi mencapai 17,09 persen yoy pada Juni 2023.

Di segmen UMKM, pertumbuhan kredit terus berlanjut, yaitu mencapai 7,34 persen yoy  pada periode yang sama.

Untuk itu, Bank Indonesia juga memfokuskan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial pada sektor-sektor yang memiliki daya ungkit lebih tinggi bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, khususnya pada sektor hilirisasi (minerba, pertanian, peternakan, dan perikanan), perumahan (termasuk perumahan rakyat), pariwisata, inklusif (termasuk UMKM, KUR, dan ultra mikro), serta ekonomi keuangan hijau. (ADF)

SHARE