Alarm Perbankan Asing Mulai Hengkang dari Indonesia
Sejumlah bank asing menjual sejumlah lini bisnisnya di pasar Indonesia.
IDXChannel - Sejumlah bank asing menjual sejumlah lini bisnisnya di pasar Indonesia. Kabar terbaru datang dari UOB Indonesia yang resmi mengakuisisi bisnis konsumer Citibank Indonesia, Senin (20/11/2023).
Akuisisi tersebut mencakup bisnis perbankan ritel, kartu kredit, dan pinjaman tanpa agunan, serta perpindahan karyawan.
"Penjualan ini tidak termasuk bisnis institutional banking Citi, dan Citi tetap fokus untuk melayani para klien institusional di Indonesia baik secara lokal, regional, maupun global," kata Head of Legacy Franchises Citi Titi Cole dalam keterangan resmi, Senin (20/11).
Pengumuman akuisisi hari ini menyusul selesainya proses integrasi di Malaysia dan Thailand pada November 2022 dan di Vietnam pada Maret 2023.
Ramai pencaplokan bank asing ini menjadi tanda tanya besar, mengingat situasi ekonomi global yang saat ini dalam mode perlambatan.
Sejumlah Bank Asing Tinggalkan Bisnis di RI
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah bank asing memilih hengkang dari bisnisnya di Indonesia.
Meski demikian, paling banyak terjadi di tahun ini di antaranya Bank Commonwealth, Citibank, dan Standard Chartered Bank.
Sebelumnya, pada 2018, sempat PT Bank ANZ Indonesia juga melepaskan lini bisnisnya di Tanah Air. Disusul pada 2019, Rabobank Indonesia yang merupakan anak usaha bank berbasis Belanda juga akhirnya hengkang. (Lihat grafik di bawah ini.)
1. Bank Commonwealth
Sebelum ramai Citibank akhirnya tutup layanan, Commonwealth Bank of Australia (CBA) lebih dulu menjual unit usahanya di Indonesia yakni PT Bank Commonwealth kepada PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP).
Pada Kamis (16/11/2023), OCBC telah melakukan penandatanganan Sale and Purchase Agreement (SPA) dengan Commonwealth Bank of Australia (CBA) untuk membeli 99,00 persen sahamnya di Indonesia.
Estimasi dari nilai rencana transaksi akuisisi tersebut mencapai Rp2,2 triliun, dan nilai tersebut akan bergantung pada penyesuaian yang wajar sesuai dengan ketentuan di dalam perjanjian.
Dikabarkan, OCBC NISP yang rebranding menjadi OCBC Indonesia juga bermaksud untuk mengakuisisi sisa 1 persen saham Bank Commonwealth dari pemegang saham lainnya.
Lauren Sulistiawati selaku Presiden Direktur Bank Commonwealth mengaku pihaknya akan bekerja sama dengan OCBC Indonesia untuk memastikan kelancaran penyelesaian penjualan dan masa transisi.
"Hingga penjualan selesai, bisnis akan terus berjalan seperti biasa bagi nasabah dan karyawan, dan kami akan terus memberikan layanan perbankan berkualitas tinggi kepada nasabah PT Bank Commonwealth," kata Lauren dalam keterangan tertulis beberapa waktu lalu.
Menurut Lauren, penjualan kepemilikan saham CBA di Bank Commonwealth sejalan dengan strategi CBA untuk menjadi lebih efisien dan lebih baik. Terutama berfokus pada bisnis domestik di Australia dan Selandia Baru.
Tak hanya di RI, Bank Commonwealth juga melakukan penjualan beberapa saham international. Di antaranya PT Commonwealth Life di Indonesia, BoCommLife, dan 10 persen saham di Bank Hangzhou di China.
2. Citibank
Citibank N.A. Indonesia (Citi Indonesia) juga menghebohkan pasar pada Senin awal pekan ini dengan mengumumkan telah menjual lini bisnis consumer banking mereka di Indonesia kepada PT Bank UOB Indonesia.
Pengalihan bisnis consumer banking Citi Indonesia ke UOB Indonesia berlaku efektif sejak Sabtu, (18/11/2023).
Keputusan Citi Indonesia dimaksudkan untuk refocusing bisnis, di mana bank akan fokus dalam bisnis institutional banking di Indonesia.
Citi Indonesia juga akan mengembangkan lini bisnis, seperti investment banking, corporate banking, commercial banking, transaction banking, market & treasury, custody hingga security services.
3. Standard Chartered Bank
Di awal tahun ini, tepatnya pada April 2023, PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) dan Standard Chartered Bank Indonesia (SCBI) menandatangani perjanjian untuk akuisisi portofolio Pinjaman Ritel Konvensional SCBI dengan rekam jejak nasabah yang baik.
Portofolio ini terdiri dari kartu kredit, Kredit Tanpa Agunan (KTA), Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Proses akuisisi diprediksi selesai pada kuartal IV 2023, mengikuti syarat regulator yang terkait.
Melalui akuisisi ini, BDMN bertujuan memperkuat bisnis consumer, yang merupakan salah satu penggerak pertumbuhan bisnis utamanya. Serta menciptakan economies of scale dari investasi pada jaringan cabang, perbankan digital, dan kapabilitas lainnya.
Langkah ini semakin mempercepat pertumbuhan portofolio pinjaman konsumen Bank Danamon, yang telah bertumbuh secara signifikan sebesar 18 persen pada 2022.
“Dengan senang hati, kami mengumumkan akuisisi portofolio Pinjaman Ritel Konvensional SCBI. Saya juga ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk menyambut para nasabah baru, dan memastikan bahwa baik Danamon maupun SCBI berkomitmen penuh untuk proses transisi yang lancar dan mulus, sehingga nasabah dapat menikmati akses ke ekosistem dan kapabilitas seluruh grup Danamon,” kata Wakil Presiden Direktur PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Hafid Hadeli dalam keterangan resmi, 17 April 2023.
Cluster Chief Executive Officer Indonesia and ASEAN Markets (Australia, Brunei and the Philippines) Standard Chartered, Andrew Chia mengatakan pengalihan ini merupakan bagian dari pembaruan strategi Standard Chartered Group yang diumumkan pada 2021.
4. ANZ
Pada 2018, PT Bank ANZ Indonesia juga telah melepas divisi retail mereka ke PT Bank DBS Indonesia.
Bank asal Australia ini resmi dicaplok DBS Bank Ltd. pada Oktober 2016. Akuisisi yang dilakukan meliputi aset dari bisnis wealth management dan ritel milik ANZ di Singapura, Hong Kong, China, Taiwan dan Indonesia sekitar SGD 110 juta.
Portofolio bisnis ANZ yang diakuisisi DBS mencakup di Singapura, Hong Kong, China, Taiwan dan Indonesia.
Pasar di wilayah ini mewakili total nilai deposit sejumlah SGD 17 miliar, pinjaman sebesar 11 miliar dolar Singapura, investasi sebesar SGD 6,5 miliar dalam AUM, dan total pendapatan sebesar SGD825 juta untuk tahun finansial 2016.
Diketahui saat itu ANZ melayani 1,3 juta nasabah di mana 10 ribu diantaranya merupakan nasabah wealth dan 1,2 juta lainnya adalah nasabah perbankan ritel.
Pengambilalihan bisnis retail dan wealth management ANZ di Indonesia ini dirampungkan pada 10-11 Februari 2018.
Pasar pertama yang telah diselesaikan dalam pengambilalihan tersebut adalah China pada 17 Juli 2017. Diikuti oleh Singapura pada 7 Agustus 2017, dan Hong Kong pada tanggal 11 September 2017 serta Taiwan pada 11 Desember 2017.
"Saya senang bahwa bisnis kami di dua institusi perusahaan ini, yaitu Bank DBS Indonesia dan ANZ Indonesia, berhasil diintegrasikan. Pengambilalihan ini selanjutnya akan memperkuat posisi bank kami di Indonesia," kata President Director DBS Bank Indonesia Paulus Sutisna keterangan tertulis, 12 Februari 2018 lalu.
Bank ANZ didirikan pada tahun 1838, yang saat ini menjadi kantor pusat dunia ANZ di 833 Collins Street, Melbourne.
5. Rabobank
PT Bank Rabobank International Indonesia (Rabobank Indonesia) juga mengumumkan berhenti operasi di Indonesia pada 2019.
Hal ini disampaikan secara resmi oleh PT Bank Rabobank International Indonesia dalam suratnya kepada nasabah. Perusahaan ini mengumumkan penghentian operasional Rabobank Indonesia atas wewenang pemegang saham pengendali.
"Keputusan ini merupakan keputusan yang sulit namun merupakan bagian utama dari strategi global Rabobank Group terkait visi Banking for food yang terfokus kepada rantai pasok internasional untuk sektor pangan dan agrikultur," tulis manajemen dalam keterangan tertulisnya.
Rabobank Indonesia merupakan bagian dari grup Rabobank asal Belanda. Rabobank menjadi penyedia layanan finansial internasional yang beroperasi berdasarkan prinsip koperasi.
Layanan yang ditawarkan adalah bank ritel, perbankan korporasi, private banking serta real estate dan leasing. Rabobank melayani sekitar 8,7 juta nasabah dan beroperasi di 38 negara.
Rabobank group terdiri dari cooperatieve rabobank U.A dan anak perusahaan terkonsolidasi di Belanda dan luar Belanda.
Ciut Lawan ‘Big Four’ Perbankan RI?
Kinerja bank-bank asing yang akhirnya harus gulung tikar dinilai merupakan dampak dari persaingan yang semakin ketat dengan bank-bank lokal.
Diketahui, empat bank lokal besar kini merajai pasar keuangan Indonesia yang biasa dikenal sebagai ‘big four’ di pasar modal Indonesia. Di antaranya Bank Rakyat Indonesia (BBRI), Bank Mandiri (BMRI), Bank Central Asia (BBCA), dan Bank Negara Indonesia (BBNI). Tiga dari empat bank tersebut merupakan bank pelat merah alias milik pemerintah. (Lihat grafik di bawah ini.)
Hal ini tercermin dari pangsa kredit yang dimiliki bank asing hanya mencapai 2,5 persen dari keseluruhan kredit yang disalurkan industri perbankan Tanah Air.
Total, bank asing telah menyalurkan kredit Rp170,21 triliun per Agustus 2023. Begitu juga dari sisi pendanaan, bank asing hanya mampu meraup 3,07 persen dana pihak ketiga (DPK) dari keseluruhan simpanan nasabah di bank.
Sehingga, total DPK yang diraup bank asing mencapai Rp248,67 triliun. Sejumlah lini bisnis, seperti bisnis konsumer juga sulit dikembangkan oleh bank asing di dalam negeri.
Di bisnis KPR misalnya, bank asing kalah penetrasi produk banyak bank lokal yang lebih dipercaya konsumen. Di bisnis kartu kredit, persaingan bank asing saat ini tak hanya dengan bank lokal, namun juga ditambah dengan eksistensi paylater.
Tak hanya bank asing, secara keseluruhan, Bank Indonesia (BI) melaporkan tingkat pembiayaan korporasi dan penyaluran kredit baru oleh perbankan mengalami sedikit penurunan pada Oktober dibandingkan September 2023.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Erwin Haryono menjelaskan penyaluran kredit baru oleh perbankan pada Oktober 2023 terindikasi tumbuh dengan Saldo Bersih Tertimbang (SBT)sebesar 82,1 persen.
Namun, angka itu lebih rendah dari pertumbuhan bulan sebelumnya yang tercatat 92,6 persen pada September 2023.
Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Agustus 2023, bank asing atau kantor cabang bank luar negeri hanya mempunyai pangsa aset 4,78 persen di industri perbankan Indonesia. Total aset bank asing itu mencapai Rp529,02 triliun.
Jika dilihat dari jumlah simpanannya, berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), uang simpanan nasabah di bank umum secara nasional mencapai Rp 8203 triliun per September 2023.
Mayoritas simpanan nasabah tersebut berada di bank milik badan usaha milik negara (BUMN) dengan nominal Rp 3.498 triliun. Jumlah ini naik 9,1 persen (yoy), dan porsinya setara 42,6 persen dari total simpanan di bank umum. (Lihat grafik di bawah ini.)
Selanjutnya, nominal simpanan di bank swasta nasional mencapai Rp3.449 triliun meningkat 5,4 persen yoy dengan porsi porsi 42 persen. Sementara, simpanan nasabah di Bank Pembangunan Daerah (BPD) naik 3 persen yoy menjadi Rp742 triliun dengan porsi 9 persen.
Sementara nominal simpanan di bank asing turun 2,3 persen yoy menjadi Rp269 triliun dengan porsi hanya 3,3 persen, diikuti simpanan di bank campuran yang naik 5 persen yoy menjadi Rp245 triliun dengan porsi 3 persen.
Tanda Ekonomi Mulai Goyang?
Bisnis perbankan global nampaknya dalam tanda-tanda sulit. Prospek perekonomian yang lemah pada 2024 akan menguji volume bisnis bank, kualitas aset, dan kondisi pembiayaan, berdasarkan outlook yang dikeluarkan S&P Global Ratings.
Positifnya, pendapatan sebagian besar bank akan terus memperoleh manfaat dari tingginya suku bunga.
“Prospek kami terhadap sektor perbankan global pada tahun 2024 adalah melanjutkan stabilitas peringkat. Kami melihat potensi momentum kenaikan peringkat terbatas, namun terdapat beberapa risiko utama yang dapat berdampak negatif terhadap peringkat bank jika skenario penurunan muncul di luar skenario dasar kami," kata analis kredit S&P Global Ratings, Gavin Gunning.
Diketahui saat ini tingkat suku bunga dari bank sentral utama dunia masih di level tinggi. Bank sentral AS, The Federal Reserve dalam risalah terbarunya juga kemungkinan besar akan mempertahankan suku bunga kebijakan pada akhir November nanti.
Volatilitas pasar keuangan global juga kembali meningkat 29,11 persen (mtm) ke level 17,52 sepanjang September 2023. Kenaikan ini didorong oleh ekspektasi kenaikan Fed fund rate dan risiko perlambatan ekonomi yang meningkat.
Di kawasan Asia Pasifik, perekonomian China yang tidak stabil di tambah sektor properti yang bermasalah, ketidakpastian keuangan pemerintah daerah, dan ekspor yang melemah menjadi momok bagi industri perbankan.
Laporan Bloomberg News, bank-bank di China juga mengalami tahun yang buruk bagi transaksi global, di mana nilai merger dan akuisisi di China daratan dan Hong Kong telah turun 6 persen menjadi hanya sekitar USD185 miliar.
Jumlah tersebut kemungkinan merupakan jumlah terendah dalam satu tahun sejak 2013 dan tidak lebih dari setengah rata-rata tahunan sejak saat itu.
Terkait dengan kondisi di Tanah Air, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Amin Nurdin, mengatakan pelepasan lini bisnis oleh bank asing bukan semata-mata karena persaingan, tetapi ada kaitannya dengan kondisi ekonomi global.
"Bank asing kini harus memilah mana bisnis yang berkontribusi besar. Beberapa bank asing memang menilai bahwa lebih aman mereka bersaing di bisnis institutional banking dibandingkan konsumer," ujar Amin.
Meski demikian, ini juga dapat dilihat sebagai semakin ketatnya persaingan bank asing di Tanah Air. Mengingat, pihak yang melakukan akuisisi juga beberapa merupakan bank asing, seperti OCBC dan DBS yang merupakan bank berbasis Singapura. (ADF)