BANKING

Bank Sentral Ramai-ramai Naikkan Suku Bunga, Risiko Resesi Meningkat

Fiki Ariyanti 18/12/2022 06:14 WIB

Bank-bank sentral utama pekan ini telah mengisyaratkan bahwa mereka siap menghadapi resesi global pada 2023 dengan mengerek suku bunga acuan.

Bank Sentral Ramai-ramai Naikkan Suku Bunga, Risiko Resesi Meningkat. (Foto: MNC Media).

IDXChannel - Bank-bank sentral utama pekan ini telah mengisyaratkan bahwa mereka siap menghadapi resesi global pada 2023. Kesiapan tersebut dengan menaikkan suku bunga acuan sebagai langkah perang melawan hiperinflasi. 

Setelah bank sentral mengerek setengah poin persentase, Kepala The Fed, Bank Sentral Eropa, dan Bank of England semuanya mengatakan, kemungkinan kenaikan akan lebih banyak pada tahun depan. Bahkan ketika mereka mengakui bahwa ekonomi negaranya melemah. 

“Kita berada di ambang resesi global,” kata Ethan Harris, Kepala Penelitian Ekonomi Global di Bank of America Corp, seperti dikutip dari Bloomberg, Minggu (18/12/2022). 

Tingkat inflasi tercepat sejak 1980-an telah mengubah apa yang oleh para ekonom disebut sebagai fungsi reaksi pembuat kebijakan termasuk Ketua Fed, Jerome Powell. Sebab, pertumbuhan harga jauh di atas target 2%, sehingga bank sentral bergerak ke arah berlawanan, termasuk dalam menghadapi kontraksi ekonomi. 

Mereka bersikeras bahwa suku bunga akan tetap lebih tinggi dan lebih lama untuk menjinakkan inflasi, meski banyak investor bertaruh bahwa sikap tersebut tidak akan bertahan karena ekonomi melemah dan pengangguran meningkat.

“Ada perasaan yang tumbuh di antara bank sentral bahwa mereka lebih suka mengambil risiko terlalu banyak,” kata Harris. “Mereka tidak mau ketinggalan dan harus kembali dan mendaki lagi nanti.”

Bank sentral sangat khawatir tentang ekspektasi harga yang meningkat dan menimbulkan tekanan lebih kepada ekonomi negara mereka, seperti yang terjadi pada 1970-an. 

Mereka tetap sangat khawatir tentang ekspektasi harga yang meningkat dan tekanan yang meningkat tertanam dalam ekonomi mereka, seperti yang terjadi pada tahun 1970-an.

"Semakin lama serangan inflasi tinggi saat ini berlanjut, semakin besar kemungkinan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi akan mengakar," kata Powell pada Rabu pekan ini. 

Namun dikhawatirkan dari sikap tegas para bank sentral dapat memperburuk situasi yang sudah mengerikan, memperdalam penurunan yang diharapkan para gubernur bank sentral akan singkat dan dangkal.

"Jika 2022 adalah tahun lonjakan inflasi, kenaikan suku bunga, dan penurunan pasar ekuitas, 2023 akan menjadi tahun tentang siklus makro," tulis Joe Little, Kepala Strategi Global di HSBC Asset Management, dalam sebuah laporan. 

Pejabat BOE secara terbuka menganggap Inggris sudah dalam resesi. Sementara ECB menganggap kawasan Euro menyerah pada kuartal ini. Kedua ekonomi telah terpukul oleh melonjaknya biaya energi yang didorong oleh invasi Rusia ke Ukraina.

AS meski tidak terlalu terdampak perang, tetapi masih dalam bahaya penurunan karena inflasi dan suku bunga yang lebih tinggi berdampak pada ekonomi. Meskipun Powell menghindari mengatakan resesi akan terjadi, bank sentral lain menggambarkan kontraksi dalam produk domestik bruto tahun depan dalam proyeksi yang dirilis minggu ini.

Sementara ketiga bank sentral siap untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut pada 2023. Kenaikan tersebut kemungkinan tidak akan seragam seperti minggu ini.

Powell membuka pintu Fed untuk kembali ke kenaikan seperempat poin pada Februari. Sementara Presiden ECB, Christine Lagarde mengatakan kepada pasar, setidaknya dua langkah setengah poin lagi (kenaikan suku bunga), dan mengumumkan rencana untuk mulai mengurangi simpanan obligasi hampir €5 triliun (USD5,3 triliun).

Sementara itu, pemotongan suku bunga BOE menjadi fokus. Sementara mayoritas memilih minggu ini untuk menaikkan setengah poin menjadi 3,5%, dua pejabat menentang kenaikan dan mengisyaratkan bahwa kebijakan harus segera dilonggarkan. 

Mereka percaya 3% lebih dari cukup untuk membawa inflasi kembali ke target, sebelum jatuh di bawah target dalam jangka menengah. 

“Pesan keseluruhan untuk 2023 tampak jelas: bank sentral akan mendorong kembali aset berisiko tinggi sampai pasar tenaga kerja mulai berubah,” George Saravelos, kepala penelitian valuta asing global di Deutsche Bank AG.

“Dua bank sentral terbesar dunia, yakni Fed dan ECB, telah memberikan pesan yang jelas: kondisi keuangan harus tetap ketat," pungkasnya. 
 
(Penulis: Ibadikal Mukhlisina/Magang)

(FAY)

SHARE