BI Diminta Tahan Suku Bunga Acuan Jelang Akhir Tahun
Bank Indonesia (BI) dinilai perlu menahan suku bunga acuannya di 6,00% pada Desember 2023.
IDXChannel - Bank Indonesia (BI) dinilai perlu menahan suku bunga acuannya di 6,00% pada Desember 2023.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan, saran ini diberikan atas dasar beberapa bahan pertimbangan.
Pertama, saat ini tingkat inflasi mampu dijaga dalam koridor target BI yaitu 2-4%. Secara umum, daya beli masyarakat cukup terjaga seiring dengan angka inflasi inti yang tercatat 1,87% (yoy) di November 2023, walaupun sedikit menurun dari 1,91% (yoy) di bulan sebelumnya.
"Namun, tekanan yang meningkat terhadap harga pangan akibat El-Nino berpotensi memberikan tekanan terhadap daya beli masyarakat," ujar Riefky dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (20/12/2023).
Walaupun Pemerintah Indonesia sudah berhasil menjaga harga beras melalui kebijakan impor, respons kebijakan lebih lanjut masih diperlukan seiring dengan dampak El-Nino yang menyebar ke berbagai komoditas lainnya. Kondisi ini menjadi tantangan dalam pengelolaan inflasi mengingat dampak El-Nino diperkirakan masih akan berlanjut hingga awal tahun depan.
"Menimbang berbagai aspek, inflasi diperkirakan masih akan dalam batas koridor target BI untuk keseluruhan tahun 2023 dan berpotensi mencapai 3% akhir tahun seiring dengan pola musiman peningkatan konsumsi pada periode libur akhir tahun," jelas Riefky.
Kedua, The Fed telah menyelesaikan rapat FOMC terakhir di tahun 2023 dengan tidak mengubah suku bunga kebijakan (Fed Funds Rate/FFR) dan tetap di level 5,25-5,50%. Keputusan ini menandakan the Fed tidak mengubah FFR untuk ketiga kalinya secara beruntun.
Rapat FOMC terakhir juga memberi sinyal adanya kemungkinan penurunan tingkat suku bunga sebanyak tiga kali di tahun depan, memberi kejutan kepada investor yang sebelumnya mengantisipasi penurunan suku bunga acuan yang lebih sedikit.
"Sesaat setelah the Fed menahan suku bunganya, ECB juga mengumumkan menahan suku bunga acuannya. Keputusan ini menandai kedua kalinya secara beruntun ECB tidak merubah suku bunga acuan, mengindikasikan kemungkinan berakhirnya periode pengetatan moneter sejak Juli 2022," ucap Riefky.
Keputusan the Fed untuk menahan suku bunganya segera memicu aliran arus modal ke negara berkembang dan mendorong pelemahan USD. Sebagai imbasnya, indeks USD turun ke 101,96 pasca pengumuman the Fed dan menyentuh titik terendahnya sejak Juli lalu.
Indonesia mengalami aliran arus modal masuk sekitar USD360 juta satu hari pasca rapat FOMC (14 Desember) dan membuat Rupiah menguat dari Rp15.655 ke Rp15.495 di periode yang sama.
"Menimbang berbagai perkembangan terkini, kami berpandangan BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6,00% pada Rapat Dewan Gubernur terakhir di tahun ini. Kedepannya, era ‘high-for-longer’ kemungkinan akan berlanjut walaupun the Fed mengindikasikan adanya potensi menurunkan suku bunga acuannya tahun depan," kata Riefky.
Mempertimbangkan hal ini, dia menyarankan agar BI perlu tetap waspada terutama terhadap langkah yang akan diambil the Fed di 2024.
Suku bunga acuan BI saat ini berada pada titik tertingginya dalam 4,5 tahun terakhir, memberikan BI ruang yang cukup untuk menurunkan suku bunga di 2024. Namun, pemilihan waktu untuk menurunkan suku bunga menjadi krusial.
"Menurunkan tingkat suku bunga terlalu dini berpotensi memicu arus modal keluar dan mendorong pelemahan Rupiah, sedangkan terlambat menurunkan suku bunga acuan dapat menekan daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan sektor riil," ungkap Riefky.
Selain potensi pemotongan suku bunga oleh the Fed di 2024, beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan oleh BI termasuk tekanan inflasi akibat periode pemilu dan berlanjutnya El-Nino, penurunan arus perdagangan seiring berlanjutnya pelemahan permintaan global, dan potensi arus modal keluar akibat ketidakpastian ekonomi global dan tensi geopolitik.
(DES)