BANKING

BI Rate Diproyeksi Turun 50 Bps pada 2025, Rupiah Tembus Rp15.800

Fiki Ariyanti 22/11/2024 15:26 WIB

Panin Sekuritas memproyeksikan BI Rate dipangkas sebesar 50 bps pada 2025. Rupiah bakal tembus Rp15.800 per USD.

BI Rate Diproyeksi Turun 50 Bps pada 2025, Rupiah Tembus Rp15.800 (foto mnc media)

IDXChannel - Panin Sekuritas memproyeksikan Bank Indonesia (BI) akan memangkas suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 50 basis poin atau bps pada 2025. Proyeksi tersebut direvisi dari perkiraan sebelumnya 100 bps. 

Sementara proyeksi Rupiah tahun depan juga direvisi menjadi Rp15.800 per USD dari sebelumnya Rp15.600 per USD. Dan yield atau imbal hasil SBN 10 tahun menjadi 7 persen per tahun atau naik dari proyeksi sebelumnya 6,75 persen.

"Kami menaikkan proyeksi di 2025 untuk rata-rata Rupiah dan yield SBN 10 tahun masing-masing menjadi Rp15.800 per USD dan 7 persen per annum dengan pemangkasan 50 bps untuk BI Rate di 2025," kata Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan dalam analisisnya, Jumat (22/11/2024).

Menurut Felix, yield US Treasury 10 tahun masih berpotensi di kisaran 4,7 persen. Hal itu seiring dengan inflasi yang sticky, divergensinya kebijakan fiskal Amerika Serikat (AS) antara kebijakan pembebasan pajak dan efisiensi belanja. 

"Kami menilai kenaikan imbal US Treasury (UST) mulai mengantisipasi langkah The Fed akan lebih berhati-hati dalam menurunkan Fed rate-nya," ujar Felix. 

Felix menambahkan, pasar melihat berbagai kebijakan Donald Trump, seperti pemangkasan tarif pajak dan America First dalam konteks pengenaan tarif impor cukup positif dalam menggairahkan aktivitas ekonomi AS dalam empat tahun mendatang.

Pada Oktober 2024, lanjutnya, inflasi AS memberikan gambaran yang beragam. Indeks Harga Konsumen (IHK) meningkat 2,6 persen YoY, sedikit naik dari 2,4 persen di September 2024. Kenaikan ini cukup signifikan karena merupakan kenaikan inflasi tahunan pertama dalam tujuh bulan terakhir.

Kemungkinan terjadinya gelombang inflasi kedua di AS tidak dapat dikesampingkan, terutama karena adanya tekanan yang terus menerus pada pertumbuhan upah, inflasi inti, dan properti. 

Meskipun tindakan Federal Reserve telah berhasil mengekang inflasi umum sejauh ini, para pembuat kebijakan menghadapi tugas yang sulit untuk menyeimbangkan pengendalian inflasi dengan stabilitas ekonomi.

"Para pejabat the Fed mencoba untuk mencapai tingkat suku bunga yang "netral" yang menjaga inflasi tetap terkendali tanpa mengurangi permintaan, sebagai upaya untuk melakukan apa yang disebut sebagai pendaratan lunak (soft landing) yang dapat menghindari resesi," tuturnya. 

"Namun setelah terpilihnya Trump, pasar telah  mengkhawatirkan kenaikan inflasi dan menaikkan imbal hasil obligasi," kata Felix.

Felix mengimbau untuk mewaspadai tensi Ukraina dan Rusia. Paska terpilihnya Donald Trump pada Pemilu AS di awal November 2024, perhatian pasar kembali tertuju pada perang di Eropa Timur paska Presiden AS, Joe Biden yang mengizinkan Ukraina untuk menggunakan Army Tactical Missile Systems (ATACMS) jarak jauh yang dipasok oleh US untuk melawan target di dalam wilayah Rusia. 

"Keputusan ini menandai pergeseran signifikan dalam kebijakan AS, dan memberikan keleluasaan bagi Ukraina," ujar Felix.

(Fiki Ariyanti)

SHARE