BI Ungkap Fenomena Strong Dollar yang Bikin Rupiah Melemah
Fenomena Strong Dollar seiring dengan kebijakan baru Amerika Serikat (AS) mendatangkan arus modal.
IDXChannel - Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) Bank Indonesia (BI), Juli Budi Winantya, mengungkapkan adanya fenomena Strong Dollar seiring dengan kebijakan baru Amerika Serikat (AS) yang mendatangkan arus modal. Hal ini membuat mata uang rupiah melemah.
Adapun nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS pernah terjun ke level Rp16.400 pada Senin (3/2/2025).
Hal itu dipicu perang dagang Amerika Serikat yang memanas seiring dengan langkah balasan yang diumumkan Meksiko, Kanada, dan China terkait tarif impor.
"Nilai tukar ini karena fenomena arus modal semuanya ke Amerika Serikat, sehingga implikasinya adalah USD yang menguat secara merata di hampir seluruh negara. Jadi menguat relatif terhadap Euro, China Yuan, Japanese Yen," kata Juli dalam Pelatihan Media di di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Aceh, Jumat (7/2/2025).
Namun, pelemahan mata uang terjadi di hampir semua negara. Rupiah juga mengalami tekanan meski stabilitasnya masih bisa terjaga.
"Jadi kalau kita bandingkan dengan pergerakan negara-negara maju yaitu Euro area dan Jepang, ini sebetulnya depresiasi kita," ujar Juli.
Namun, jika dibandingkan dengan mata uang negara berkembang seperti Indian Rupee, China Yuan, dan beberapa negara lainnya, posisi rupiah masih tergolong stabil.
Selain itu, lanjut Juli, di bawah kepemimpinan Presiden AS Donald Trump periode kedua ini, ada tambahan kebijakan-kebijakan yang diterapkan terkait tarif perdagangan. Dia menilai hal ini akan membuat inflasi AS makin terdorong ke atas, padahal sudah didorong dari sisi tingginya permintaan.
"Dari sisi tax juga ada insentif lagi buat ekonomi AS terutama dari sisi korporasi ini akan tingkatkan demand, dorong pertumbuhan ekonominya, dan tentu akan meningkatkan inflasi, tapi di sisi lain karena dia potong tax, defisitnya meningkat, sehingga butuh pembiayaan besar ini berdampak ke yield US Treasury jangka pendek-panjang," kata Juli.
Juli menjelaskan, penguatan ekonomi AS didorong beberapa faktor pendukung. Dari sisi permintaan, penguatan dipicu dari level kelas masyarakat menengah bawah, akibat dukungan stimulus fiskal dari pemerintah yang mendorong konsumsi masyarakat kelas tersebut.
Begitu juga dengan level kelas masyarakat atas juga ada dorongan dari faktor-faktor yang disebut wealth effect, yakni harga saham hingga properti yang dimiliki kelas atas ini terus meningkat, sehingga konsumsi kelas atas menguat.
"Hal itu membuat ekonomi AS masih tumbuh kuat sehingga kita perkirakan pertumbuhan ekonomi AS kan kita revisi ke atas dari beberapa faktor tadi, di sisi lain Eropa ekonominya lemah, ada masalah fiskal konsolidasi di Prancis dan Jerman, dan di China masih ada permasalahan di sektor properti," kata Juli.
(NIA DEVIYANA)