BANKING

Ekonomi Dunia Melambat, Inflasi Negara Maju Kian Jinak

Anggie Ariesta 17/01/2024 15:41 WIB

Bank Indonesia (BI) menyatakan, pertumbuhan ekonomi dunia melambat dengan ketidakpastian pasar keuangan yang mereda.

Ekonomi Dunia Melambat, Inflasi Negara Maju Kian Jinak (Foto MNC Media)

IDXChannel - Bank Indonesia (BI) menyatakan, pertumbuhan ekonomi dunia melambat dengan ketidakpastian pasar keuangan yang mereda. Ekonomi global diperkirakan tumbuh sebesar 3,0% pada 2023 dan melambat menjadi 2,8% pada 2024.

"Ekonomi Amerika Serikat (AS) dan India tetap kuat didukung konsumsi rumah tangga dan investasi," ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo dalam konferensi pers RDG BI di Jakarta, Rabu (17/1/2024).

Sementara itu, ekonomi China melambat seiring dengan tetap lemahnya konsumsi rumah tangga dan investasi sebagai dampak lanjutan dari pelemahan kinerja sektor properti, serta terbatasnya stimulus fiskal.

Penurunan inflasi di negara maju, termasuk AS berlanjut, meski masih berada di atas sasaran. Sementara inflasi China menurun dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang melambat.

Siklus kenaikan suku bunga kebijakan moneter negara maju, termasuk Fed Funds Rate (FFR), diperkirakan telah berakhir meskipun masih bertahan tinggi pada semester I-2024, dengan kemungkinan akan mulai menurun pada semester II-2024.

Yield obligasi pemerintah negara maju, termasuk US Treasury, menurun secara gradual tapi masih berada di level tinggi sejalan dengan premi risiko jangka panjang (term-premia) terkait besarnya pembiayaan fiskal dan utang pemerintah AS.

Tekanan penguatan nilai tukar dolar AS terhadap berbagai mata uang dunia juga berkurang.

Perkembangan tersebut mendorong berlanjutnya aliran masuk modal asing dan mengurangi tekanan pelemahan nilai tukar di emerging market, termasuk Indonesia.

"Ke depan, beberapa risiko global tetap perlu dicermati karena dapat memengaruhi ketidakpastian perekonomian dunia, seperti berlanjutnya ketegangan geopolitik, pelemahan ekonomi di sejumlah negara utama, termasuk China, serta kepastian waktu dan besarnya penurunan suku bunga moneter negara maju, khususnya FFR," pungkas Perry.

(FAY)

SHARE