Gabung Desa BRILian, Eka Berdayakan Perempuan Lewat Budaya Batik Ciwitan
Eka mulai berkeliling dari rumah ke rumah, kampung ke kampung, untuk mulai menggelar pelatihan batik bagi ibu-ibu di desa.
IDXChannel - Tokoh spiritual dunia asal India, Mohandas Karamchand Gandhi, pernah berpesan, "No culture can live if it attempts to be exclusive (Tidak ada budaya yang bisa hidup, jika ia berusaha menjadi eksklusif)."
Pemahaman sekaligus keyakinan ini sepertinya dipegang teguh oleh seorang Eka Harijayanti, wanita asal Bantul, Yogyakarta, yang kini tinggal bersama keluarga, di Ciampea, Kabupaten Bogor.
"Melalui produk budaya ini, yaitu batik ciwitan, saya ingin perempuan, ibu-ibu rumahan, atau anak-anak muda yang ingin cari tambahan untuk biaya studi, kebutuhan sehari-hari, bisa lebih berdaya secara ekonomi," ujar Eka, saat ditemui studio batik sekaligus kediamannya, di Desa Benteng, Ciampea, pekan lalu.
Keluarga Batik
Meski tak secara khusus menggeluti ilmu formal di bidang batik, Eka mengaku bahwa dulu eyang buyutnya di Yogyakarta juga merupakan seorang perajin batik tulis.
Tinggal di dekat lokasi Pabrik Madukismo, di daerah Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, sedari kecil Eka telah dekat dan familiar dengan segala seluk-beluk tentang pembuatan batik.
"Tidak secara langsung mewarisi sih. Ibu saya juga tidak (mewarisi). Tapi memori itu ada (di ingatan). Sehingga ketika iseng mengisi waktu luang, mulai tertarik untuk mengulik lagi," tutur Eka.
Berbekal memori masa kecil dan mengisi waktu luang itulah, Eka mulai membuat berbagai sketsa desain batik, dan bereksperimen dengan canting batik untuk memproduksi selembar kain batik tulis.
Tak hanya sekadar memproduksi batik, Eka juga memiliki impian untuk dapat turut berperan dalam pemberdayaan perempuan dalam skala yang paling kecil dan dalam lingkup paling domestik, yaitu di level keluarga.
"Saya itu dari dulu passionnya sosial. Jadi dari batik ini, saya berpikir bagaimana caranya agar tidak hanya sekadar pelampiasan hobi, namun juga bermanfaat untuk masyarakat banyak. Terutama di kalangan perempuan," ungkap Eka.
Pelatihan
Sejak saat itu, Eka pun mulai berkeliling dari rumah ke rumah, kampung ke kampung, untuk mulai menggelar pelatihan batik bagi ibu-ibu di desa, terutama yang secara perekonomian keluarga sepenuhnya mengandalkan dari sang suami.
Lewat pelatihan tersebut, diharapkan kelak kalangan ibu-ibu ini dapat menghasilkan pemasukan tambahan dari memproduksi batik, untuk membantu perekonomian keluarga, guna membiayai kebutuhan sehari-hari.
Saat itu, Eka secara aktif memanfaatkan setiap forum dan kesempatan yang ada untuk dapat mengajari masyarakat dalam memproduksi batik.
Mulai dari kegiatan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, arisan warga, pengajian hingga beragam kegiatan lain coba dimanfaatkan Eka guna lebih memaksimalkan pelatihan yang dia inisiasi.
"(Pelatihan) Itu sudah saya mulai sejak lama. Mungkin sekitar 10-11 tahun yang lalu. Baru kemudian mulai intens, aktif dan rutin berkegiatan karena memang sudah mulai ada pesanan, itu di sekitar 2015," papar Eka.
Dalam menggelar pelatihan, Eka hampir tidak pernah menarik bayaran dari para peserta, alias semua dilakukan Eka secara gratis. Padahal untuk mempersiapkan materi, bahan ajar dan segala peralatan yang dibutuhkan selama pelatihan, paling tidak dibutuhkan dana sekitar Rp100 ribu per peserta agar proses pelatihan bisa berjalan lancar.
Hingga saat ini, Eka mengeklaim telah menyelenggarakan puluhan kali pelatihan di berbagai wilayah, baik di sekitar Kabupaten Bogor, maupun di beberapa tempat lain yang menghubunginya dan meminta diadakan pelatihan secara khusus di daerah tersebut.
"(Kebutuhan dana) Per pelatihan bisa sekitar Rp2,5 juta sampai Rp5 juta per pelatihan, tergantung jumlah pesertanya. Makin banyak peserta, tentu butuh dana lebih besar untuk pengadaan bahan kainnya, pewarnanya, lilin dan cantingnya, serta kebutuhan lain-lain. Dan itu semua selalu saya bikin free. Kecuali kalau penyelenggaranya bersifat komersil dan peserta disuruh bayar, maka saya juga (pungut bayaran)," jelas Eka.
Ciwitan
Saat pertama menggelar pelatihan, menurut Eka, dirinya mengajarkan tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memproduksi sebuah kain batik tulis.
Tahapan-tahapan tersebut, mulai dari membuat sketsa, menorehkan lilin menggunakan canting, mewarnai, proses pengeringan hingga tahapan akhir dengan merendam kain untuk meluruhkan lapisan lilin, sekaligus untuk menjaga warna agar menempel permanen dan tidak luntur.
"Cuma ada kendala, bahwa ternyata bikin batik tulis itu tidak segampang yang dibayangkan. Ibu-ibu ini kesusahan, karena untuk menggambar aja mereka tidak bisa, apalagi harus membaik pakai canting," urai Eka.
Atas kendala tersebut, Eka pun kembali memutar otak dan mencari cara agar sebisa mungkin proses membatik dirasa cukup mudah dan bisa dilakukan oleh semua orang.
Atas pertimbangan itu, Eka pun mulai melirik metode batik ikat, yang sebenarnya juga telah banyak digunakan di berbagai wilayah di Indonesia.
"Di tempat saya, di Yogya, disebutnya batik jumputan. di Solo, di Palembang, juga sama. Kalau di Banjarmasin disebutnya sasirangan. Nah di sini, saya sengaja kasih nama batik ciwitan, karena bikinnya kan diciwit (dicubit) gitu," tandas Eka.
Sejak berganti metode, ibu-ibu rumah tangga hasil binaan Eka terbukti semakin mudah dalam mengerjakan proses produksi batik sesuai pesanan.
Dalam kikerjanya, Eka menerapkan sistem plasma, di mana tidak ada relasi bos dan bawahan, pemilik bisnis dan karyawan atau semacamnya, melainkan Eka akan memberikan tugas pengerjaan per pesanan yang datang.
"Jadi saya bikin desainnya, mereka lalu kerjakan di rumah. Hasilnya disetor balik ke sini. Tarif kerja per lembar kain, yang custom sesuai effort pengerjaan. Misal kainnya bagus, seperti sutra gitu, lalu desainnya rumit, kan pekerjaannya sulit, sehingga harga per kain juga saya hitung lebih mahal," jelas Eka.
Ratusan
Namun, sebagai gambaran, harga jasa yang dibayarkan Eka untuk tiap lembar kain batik adalah sekitar Rp10 ribu hingga Rp100 ribu per lembar, bila memang pengerjaannya dirasa cukup sulit dan membutuhkan kehati-hatian dan konsentrasi lebih.
Biasanya, Eka telah memiliki gambaran tentang kualitas masing-masing anggota komunitasnya, yang dinilainya dari proses saat mengikuti pelatihan.
Para anggota yang dinilai sudah mumpuni dan memiliki kualitas bagus akan diberi kepercayaan untuk menggarap kain berbagan bagus, dan juga standar desain yang relatif lebih rumit.
Sedangkan bagi para pemula atau para anggota yang dinilai kurang memiliki ketrampilan mumpuni, tetap juga akan diberi pekerjaan, namun dengan bahan yang lebih standar dan desain yang relatif lebih mudah.
"Kita bagi-bagi kerjaannya seperti itu. Secara total saat ini per minggu kami sudah bisa produksi sekitar 100 pcs kain. Pernah juga kami garap 300 pcs dan dikasih waktu cuma dua minggu. Alhamdulillah, done," ujar Eka, bangga.
Namun demikian, karena lebih banyak produksinya berdasarkan pesanan, Eka mengaku kurang begitu bisa memperhitungkan dengan pasti kisaran omzetnya dalam sebulan. Karena nilai perkiraan tersebut bisa saja naik dan turun, bergantung ramai atau sepinya pesanan saat itu.
"Tapi sesepi-sepinya sih sekitar Rp5 juta sampai Rp10 juta per bulan, insya allah pasti kita dapat. Alhamdulillah bisa buat bantu-bantu mereka (anggota komunitasnya) untuk belanja kebutuhan sehari-hari," urai Eka.
Desa BRILian
Karena lebih mengandalkan pemasukan dari pesanan, dikatakan Eka, pihaknya akan memanfaatkan betul setiap ada kesempatan ketika ada undangan untuk turut serta dalam sebuah pameran.
Undangan tersebut biasanya datang dari berbagai pihak, seperti Dinas Budaya dan Pariwisata Kabuapetan Bogor, lembaga-lembaga pendidikan, hingga komunitas masyarakat yang sedang menggelar pameran untuk peringatan hari besar nasional.
Dari keikutsertaan dalam pameran tersebut, diakui Eka tidak akan membuat produknya laris-manis saat itu juga. Melainkan, ajang pameran sengaja dimanfaatkan Eka untuk memperkuat jejaring pemasaran, dengan harapan kelak dari jejaring tersebut bakal ada pesanan untuknya di kemudian hari.
"Makanya sejak 2022 ketika kita bergabung ke Desa BRILian yang dibikin oleh Bank BRI (PT Bank Rakyat Indonesia Tbk), kita seneng banget, karena jadi makin sering diajak (ikut) pameran. Jaringan kita jadi makin luas. Kenalan juga makin banyak. Dari situ alhamdulillah juga pesanan mulai mengalir lancar," jelas Eka.
Keikutsertaan Eka dalam Program Desa BRILian, tak lepas dari keberadaan Batik Ciwitan sebagai UMKM di bawah naungan Desa Wisata Benteng, di mana desa wisata tersebut pada akhir 2022 berhasil menjadi salah satu dari lima pemenang Program Desa BRILian.
Atas prestasi tersebut, masing-masing dari kelima pemenang tersebut berhak atas dana hibah dari Bank BRI sebesar Rp1 miliar per desa terpilih.
"Dari sana, masing-masing UMKM kebagian (dana hibah) juga. Untuk batik ciwitan ini waktu itu dapat sekitar Rp30 juta, yang dirupakan bahan baku dan pengadaan beberapa perlengkapan produksi. Memang sangat membantu sih," tandas Eka.
Destinasi Favorit
Tak hanya berupa dana hibah, kontribusi Desa BRILian terhadap operasional Batik Ciwitan adalah juga berupa kunjungan dari para wisatawan yang mengikuti Program Desa Wisata Benteng.
Mekanismenya, Desa Wisata Benteng dalam paket wisata yang ditawarkan ke masyarakat telah menetapkan tarif sebesar Rp250 ribu untuk kunjungan ke tiga varian destinasi yang ada di Desa Wisata Benteng.
Tiga destinasi tersebut bisa mulai dari rumah produksi susu kedelai, kebun jambu kristal, kelompok tani yang khusus mengolah produk turunan berbahan dasar singkong, komunitas petani hidroponik, komunitas seni tradisi, seni Islami, hingga komunitas budaya China dan Arab yang ada di Desa Benteng.
Nantinya, dari setiap kunjungan, pihak UMKM dan komunitas yang dikunjungi bakal mendapat Rp10 ribu per wisatawan yang datang.
"Itu tidak termasuk transaksi yang dilakukan wisatawan. Jadi kalau ada produk UMKM yang dibeli, maka (pemasukan) itu full milik Si Pelaku UMKM yang dikunjungi," ujar Ketua Desa Wisata Benteng, Wahyu Syarief Hidayat.
Dan dari beragam destinasi yang ada dan ditawarkan di Desa Wisata Benteng, Wahyu mengakui bahwa UMKM Batik Ciwitan merupakan salah satu yang banyak digemari oleh wisatawan yang berkunjung.
Hal tersebut, menurut Wahyu, bisa jadi karena bagi masyarakat perkotaan, tidak banyak yang tahu dan pernah merasakan secara langsung aktivitas membuat sebuah kain batik, dari awal hingga produk tersebut benar-benar siap pakai.
Karenanya, banyak wisatawan yang penasaran dan ingin merasakan sendiri pengalaman menjadi seorang perajin batik, dengan berkunjung ke Batik Ciwitan.
Tak hanya itu, Wahyu secara khusus juga mengapresiasi kegigihan dan perjuangan Eka yang selama ini konsisten mengembangkan batik ciwitan sebagai salah satu produk khas Desa Benteng.
"Beliau memang dedikasinya luar biasa untuk melestarikan budaya batik, dan juga mengajari warga untuk bisa produksi batik sendiri. Batik khas Desa Benteng. Ini sangat membantu untuk ibu-ibu di Desa Benteng. Secara perekonomian keluarga juga sangat membantu," tutur Wahyu.
Inacraft
Sebagai timbal-balik atas dedikasi Eka tersebut, Wahyu pun mengaku terus berupaya agar batik ciwitan dan juga UMKM-UMKM lain di bawah naungan Desa Wisata Benteng dapat memanfaatkan jejaring yang tersedia dari Bank BRI melalui Program Desa BRILian.
Wahyu pun mengaku mendukung penuh keinginan Eka yang berkeinginan suatu saat bisa tampil dalam ajang pameran International Handicraft Trade Fair (Inacraft) sebagai salah satu UMKM Binaan Bank BRI.
Keinginan tersebut juga dikonfirmasi langsung oleh Eka, dan bertekad bakal terus berbenah diri agar kelak dapat dinilai layak oleh Bank BRI untuk digandeng sebagai salah satu peserta Pameran Inacraft.
"Salah satu teman UMKM saya tahun lalu sudah (berhasil tampil di Inacraft). Ke depan saya ingin juga tampil di sana. Seperti saya bilang tadi, ini bukan perkara jualan, tapi penguatan jaringan. Semoga dengan kelak bisa tampil di Incraft, Batik Ciwitan bisa merambah pasar ekspor dan go internasional," tegas Eka. (TSA)