BANKING

Geliat Bank Digital di 2024, Bertaruh Likuiditas Lewat Perang Bunga Tinggi

Taufan Sukma Abdi Putra 24/12/2024 14:47 WIB

para pemain baru terus bermunculan bak cendawan di musim hujan.

Geliat Bank Digital di 2024, Bertaruh Likuiditas Lewat Perang Bunga Tinggi (foto: MNC media)

IDXChannel - Periode kisaran dua-tiga tahun ke belakang boleh dianggap sebagai puncak musim (peak season) tumbuh-kembangnya industri perbankan digital di Indonesia.

Tak hanya para pemain baru yang terus bermunculan bak cendawan di musim hujan, para pemain utama di ceruk pasar bank-bank konvensional juga tak ketinggalan juga turut ambil kesempatan.

Sebut saja PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) lewat Livin, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) melalui Blu atau PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dengan Wondr dan juga Hibank. Tak ketinggalan, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) juga memiliki Bank Raya, selain layanan aplikasi digital BRImo yang juga tak kalah ekspansif.

Dengan para pelaku yang begitu banyak, pantas bila kemudian faktor likuiditas menjadi isu yang sangat kencang di kalangan bank digital. Demi bisa bertahan di tengah ketatnya persaingan, kepemilikan likuiditas yang cukup menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh bank-bank digital.

Karenanya, guna menarik minat masyarakat agar sudi menempatkan dana, bank-bank digital tak ragu untuk jor-joran dalam memberikan tawaran bunga tinggi untuk setiap produk yang ditawarkan, mulai dari tabungan hingga deposito dengan beragam pilihan tenor.

Bahkan, tak hanya di 2024, peta persaingan industri tersebut diperkirakan masih akan bertahan hingga 2025 mendatang, seiring dengan kondisi perekonomian nasional yang juga masih menantang.

"(Strategi bunga tinggi) Saya rasa masih akan menjadi upaya kami dalam mengejar pertumbuhan kinerja di 2025, selain tentu diperkuat dengan benefit-benefit menarik lain," ujar Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI), Indra Utoyo, dalam keterangan resminya, Jumat (20/12/2024).

Menurut Indra, strategi penetapan bunga tinggi merupakan langkah yang paling realistis dan solutif bagi perbankan, terutama bank digital, guna mempertebal likuiditas lewat perolehan Dana Pihak Ketiga (DPK), yang kemudian bakal dimanfaatkan untuk ekspansi kredit.

Pasalnya, tak hanya harus bersaing dengan sesama perbankan dalam meraup likuiditas, bank digital juga harus menghadapi fakta bahwa Bank Indonesia (BI) juga menerbitkan instrumen investasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang diyakini juga turut menyerap likuiditas dalam skala cukup besar.

Pandangan tersebut dibenarkan oleh PT Super Bank Indonesia (Superbank), yang meyakini bahwa perang suku bunga masih akan berlanjut ke 2025 mendatang, seiring masih sengitnya perebutan likuiditas yang terjadi di pasar.

Kondisi tersebut bahkan dirasakan lebih menantang bagi Superbank yang notabene belum genap satu tahun dalam berkecimpung di industri perbankan Tanah Air.

"Bagi kami (suku bunga tinggi) itu soal insentif, yang selain untuk akuisisi (likuiditas dari pasar), juga penting sebagai strategi dalam menarik minat konsumen," ujar Head of Marketing & Branding Superbank, Cut Frinzy Emillie, dalam kesempatan terpisah.

Meski, menurut Cut, pihaknya sejauh ini lebih memilih untuk berfokus pada ceruk pasar underbanked, ketimbang harus berebut segmen masyarakat bankable. Karenanya, perusahaan patungan (joint venture/JV) antara Grab dan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) lebih mengedepankan inovasi produk dan fitur perbankan yang menawarkan kemudahan dalam bertransaksi.

Namun demikian, tetap saja persoalan likuiditas tetap menjadi concern yang tidak dapat dipandang sebelah mata oleh Perseroan. Dengan likuiditas yang cukup hasil perolehan Dana Pihak Ketiga (DPK), maka jangkauan penyaluran pinjaman juga dapat lebih dikembangkan, sehingga keuntungan yang didapat juga bisa jadi lebih maksimal.

"Dari (keuntungan) situ, maka pengembangan produk juga bisa lebih optimal. Artinya, meski kami fokus pada (kualitas) produk, tetap saja soal kesehatan perbankan juga wajib dijaga," ujar Cut.

Soal pengembangan produk, anak usaha PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), yaitu PT Bank Raya Indonesia Tbk (AGRO), juga mengaku memiliki concern yang tinggi dalam hal tersebut.

Strategi tersebut sengaja dipilih dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional dan juga global yang diyakini masih cukup dinamis dan tak menentu.

"Sehingga penting bagi kami untuk mengatasi tantangan tersebut dengan memperkuat ekspansi bisnis, yaitu dengan terus mendorong pengembangan produk digital, guna memaksimalkan dan menangkap potensi bisnis niche market yang ada di dalam ekosistem BRI Group," ujar Direktur Keuangan AGRO, Rustati Suri Pertiwi.

Tak hanya itu, menurut Rustati, pihaknya juga terus bereksplorasi dengan mengembangkan kolaborasi dengan berbagai pihak, guna memaksimalkan setiap potensi pertumbuhan yang ada, namun dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian.  

Satu hal yang menurut Rustati menjadi penyemangat bagi pihaknya guna terus menggenjot bisnis digital ke depan, adalah kondisi masyarakat secara keseluruhan yang relatif semakin familiar dalam melakukan transaksi keuangan secara digital.

Karenanya, AGRO pun tak ragu untuk senantiasi mengembangkan berbagai fitur produk dan layanan digital, dengan harapan dapat semakin menjawab kebutuhan yang ada di masyarakat tersebut.

"Sejalan dengan transformasi kami menjadi bank digital, maka pertumbuhan kredit digital akan tercatat lebih tinggi, yaitu di kisaran pertumbuhan double digit, dengan sesuai karakter ekosistem BRI Group yang fokus melayani segmen UMKM," ujar Rustati.

Di lain pihak, menyikapi persaingan pasar perbankan digital yang semakin sengit dengan pelaku industri yang bejibun,  PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB), atau BNC, mengaku memiliki strategi khusus disamping semata-mata beradu tingginya suku bunga yang ditawarkan.

Direktur Bisnis BNC, Aditya Wahyu Windarwo, menyadari bahwa strategi bunga tinggi memang merupakan langkah paling pragmatis yang dapat dilakukan oleh bank digital dalam mengakuisisi nasabah di pasar. BNC pun diakui Aditya telah melakukannya dalam beberapa tahun terakhir.

"Tapi kalau sekarang, kalau pun kami masih ada (penawaran) bunga tinggi di aplikasi, itu lebih ke (produk deposito) yang tenornya panjang," ujar Aditya.

Sedangkan untuk menjaga tren pertumbuhan kinerja, menurut Aditya, pihaknya telah melakukan asesmen secara berkala, dengan harapan dapat secara bertahap menekan tingkat bunga yang ditawarkan ke publik.

Guna mengimbanginya, dikatakan Aditya, pihaknya telah menyiapkan sejumlah terobosan dalam memaksimalkan potensi pasar yang dihadapi di 2025 mendatang.

Terobosan tersebut coba diandalkan NBC guna mengimbangi kuatnya tekanan yang ada di pasar, mulai dari kondisi perekonomian nasional dan juga global, kondisi geopolitik internasional hingga arah kebijakan finansial pemerintah ke depan.

"Tekanan ini harus kita mitigasi dengan juga terobosan-terobosan yang kita siapkan. Kita belum bisa sampaikan, tapi kami yakin itu bisa mendongkrak posisi market di tahun depan," ujar Aditya.

Secara keseluruhan, Bank Indonesia mencatat bahwa volume transaksi digital banking di sepanjang 2024 masih tumbuh cukup signifikan, yaitu di kisaran 40,1 persen secara tahunan (year on year/YoY), hingga mencapai 2,04 miliar transaksi per November 2024.

"Kinerja transaksi ekonomi dan keuangan digit pada November 2024 tetap tumbuh didukung oleh sistem pembayaran yang aman, lancar, dan andal," ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI), Rabu (18/12/2024) lalu.

(taufan sukma)

SHARE