BANKING

Harga BBM Naik, Ini Strategi Perbankan Agar NPL Tetap Rendah

Anggie Ariesta 08/09/2022 22:13 WIB

Tingginya harga BBM diyakini bakal mendongkrak pengeluaran masyarakat, sehingga berpotensi meningkatkan rasio kredit bermasalah.

Harga BBM Naik, Ini Strategi Perbankan Agar NPL Tetap Rendah (foto: MNC Media)

IDXChannel - Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) disinyalir berpengaruh kinerja industri perbankan nasional. Tingginya harga BBM diyakini bakal mendongkrak pengeluaran masyarakat, sehingga berpotensi meningkatkan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL).

Menyikapi kekhawatiran tersebut, sejumlah perbankan Tanah Air mengaku telah menyiapkan strategi khusus sebagai upaya antisipatif. Seperti yang dilakukan oleh PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), yang mencoba melawan tren kenaikan NPL dengan menggenjot ekspansi bisnis ke depan. 

Corporate Secretary Bank Mandiri, Rudi As Aturridha, mengatakan pihaknya telah memperkirakan tren pertumbuhan makroekonomi sebagai acuan dalam menentukan kebijakan. 

"Dalam hal ini, wacana kenaikan BBM tentunya telah diantisipasi oleh pasar termasuk perbankan. Meski begitu, dengan kondisi perekonomian domestik yang masih kuat kami memproyeksi pertumbuhan kredit juga tetap baik di tahun ini, terutama sektor-sektor yang prospektif," ujar Rudi, Kamis (8/9/2022).

Menurut Rudi, target pertumbuhan kredit Bank Mandiri secara konsolidasi di tahun ini sebesar 11 persen diyakini dapat tercapai. Caranya dengan mempertimbangkan kondisi likuiditas dan mengedepankan prinsip kehati-hatian.

Hingga Juni 2022 posisi rasio NPL Bank Mandiri berada di level 2,47 persen, turun 72 bps secara YoY. Indikator kualitas aset lain, seperti cost of credit juga membaik menjadi 1,27 persen per akhir Juni 2022 dan berhasil turun 97 bps secara YoY.

Diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa rasio kredit macet atau NPL perbankan di bulan Juli 2022 lalu sudah mengalami kenaikan di level 2,9 persen, lebih tinggi dibanding NPL bulan Juni 2022 yanga masih 2,86 persen.

Di sisi lain, restrukturisasi Covid-19 di perbankan juga turun. Namun bank tetap selektif dan berhati-hati dalam menyalurkan kredit dibarengi dengan pengawasan secara ketat, terutama kepada nasabah terdampak Covid-19.

PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), misalnya, mencatatkan outstanding restrukturisasi Covid-19 secara konsolidasi sebesar Rp62,9 triliun per Juni 2022. Nilai itu turun Rp9,2 triliun dari akhir 2021.

Dari jumlah itu, sekitar 3,5 persen sudah turun jadi NPL, 12,2 persen masuk dalam perhatian khusus, dan 84,1 persen masih dalam ketegori lancar.

Sedangkan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) memperkuat proses loan origination atau asal mula kredit melalui pemusatan pemrosesan dan pengelolaan kredit komersial. Artinya, bisnis, analisis risiko, dan operasional kredit dilakukan masing-masing secara independen pada commercial banking center BTN.  

Sekadar informasi, loan origination adalah proses saat peminjam mengajukan permohonan untuk pinjaman baru, dan pemberi pinjaman memproses permohonan tersebut. 

BTN melakukan penilaian kredit atau scoring credit dengan teliti. BTN telah membangun credit scoring model (decision engine) untuk keputusan persetujuan pinjaman.

BTN juga melakukan perbaikan proses penagihan dan penjualan aset kredit macet  untuk mendorong penurunan angka NPL, dengan memperluas kanal penjualan aset kredit macet melalui pengembangan portal rumah murah (rumahmurahbtn.co.id) berbagai cara penjualan aset kredit macet secara masif. 

Strategi yang dilakukan BTN terbilang berhasil. Merujuk presentasi korporasi kuartal I-2022, NPL gross BTN berada di posisi 3,6 persen, atau turun 65 basis poin (bps) dibandingkan dengan kuartal I-2021 yang berada di level 4,25 persen. BTN menargetkan hingga akhir 2022, NPL dapat ditekan hingga posisi 3,3 hingga 3,5 persen, dengan NPL coverage di atas 150 persen.  

Sedangkan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mengklaim rasio NPL KUR perseroan masih tetap terjaga saat ini. Untuk menjaga kualitas KUR, BRI menerapkan strategi tumbuh secara selektif. Ini selaras dengan strategi penyaluran kredit BRI secara umum.

Selain itu, BRI juga membuat sektor sektor prioritas dalam penyaluran KUR, seperti perdagangan dan pertanian. Ia bilang, BRI akan terus memperkuat penggunaan data analytic untuk memperkuat proses credit underwriting serta meningkatkan success rate restrukturisasi.

Hingga Juli 2022, BRI telah menyalurkan KUR sebesar Rp144,47 triliun atau setara dengan 56,86 persen dari kuota yang diberikan pemerintah yakni sebesar Rp 254,1 triliun.

Terakhir, ada PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang juga mencatatkan biaya pencadangan yang lebih rendah, yakni turun 67,7 persen secara kuartalan. 

Penurunan biaya pencadangan juga diiringi dengan kualitas aset yang lebih baik seiring NPL yang mulai mengalami normalisasi serta loan to asset ratio (LAR) yang masih memperlihatkan tren penurunan.

Adapun perbaikan ekonomi juga akan mendorong kualitas kredit BBCA semakin baik. Adapun, CoC BBCA pada paruh pertama di tahun ini berada di level 1,2 persen, turun dari posisi akhir 2021 yang berada di 1,6 persen. Pada sisa tahun ini, menurutnya, angka tersebut bisa semakin turun menjadi satu persen saja. (TSA)

SHARE