Pengumuman Suku Bunga BI, Kebijakan Moneter RI Akan Melunak?
Suku bunga BI diproyeksikan mencapai 6,25% pada akhir kuartal tahun ini.
IDXChannel - Pada awal tahun ini, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia sedang dilaksanakan pada tengah pekan ini, yakni 18-19 Januari 2023.
Pengumuman kebijakan soal suku bunga acuan ini menjadi yang paling dinanti pasar.
Pasalnya, RDG kali ini menjadi pengumuman perdana BI di awal tahun sekaligus di tengah gejolak ekonomi global yang masih menghantui.
Selain itu, kebijakan suku bunga ini akan mempengaruhi beberapa sektor penting seperti saham, obligasi, hingga kredit.
Sebelumnya, RDG Bank Indonesia dilaksanakan pada 21-22 Desember 2022 lalu.
Dalam rapat ini, dewan gubernur BI memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,50%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,25%.
Kenaikan ini melambat dari sebelumnya pada 16-17 November 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 5,25%.
Di bulan Oktober tahun lalu, BI juga menaikkan suku bunga kebijakan sebesar 50 bps menjadi 4,75% selama pertemuan bulan Oktober.
Secara total, sepanjang 2022, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 200 basis poin hingga ke level 5,5%. Lalu, akankah BI akan kembali kalem dalam mengumumkan suku bunga acuan hari ini?
Inflasi Melunak, tapi Masih Tinggi
Penurunan suku bunga sangat tergantung dengan kondisi inflasi dalam perekonomian.
Kondisi inflasi global, utamanya di negara-negara ekonomi utama dunia dikabarkan telah mulai menurun. Di Amerika Serikat (AS), inflasi Desember 2022 berhasil turun.
Tingkat inflasi tahunan di AS melambat selama enam bulan berturut-turut menjadi 6,5% pada Desember 2022, terendah sejak Oktober 2021, sejalan dengan perkiraan pasar.
Adapun kabar baik lainnya datang dari Inggris. Tingkat inflasi tahunan di Inggris turun ke level 10,5% YoY pada Desember 2022 dari level 10,7% YoY pada November 2022, sejalan dengan perkiraan konsensus.
Ini menjadi bulan kedua secara berturut-turut inflasi mengalami penurunan dan merupakan level inflasi terendahnya selama tiga bulan terakhir. Sebelumnya, Inggris mengalami puncak inflasi sebesar 11,1% YoY pada Oktober 2022.
Sementara, inflasi tahunan kawasan euro juga melandai menjadi 9,2% pada Desember 2022, turun dari 10,1% di bulan sebelumnya.
Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Inflasi IHK pada Desember 2022 tercatat naik tipis menjadi 5,51% dari level terendah tiga bulan di bulan November sebesar 5,4% dan di atas konsensus pasar sebesar 5,39%. Ini bisa berarti, inflasi di Tanah Air masih belum terkendali sepenuhnya.
Berbagai faktor berkontribusi terjadinya sedikit pelonggaran laju inflasi, termasuk pengetatan moneter yang cepat dan sinkron, stabilisasi kondisi pasokan dan harga komoditas, serta berkurangnya tekanan permintaan.
Perkiraan IMF terbaru, inflasi global akan turun menjadi 6,5% tahun ini dari 8,8% pada tahun 2022.
Pengetatan Diproyeksi Berlanjut
Meskipun sejumlah rilis data yang cukup menggembirakan pada kuartal terakhir tahun 2022 ini sempat memberikan ruang untuk optimisme atas prospek inflasi jangka menengah di tahun ini.
Namun pengetatan kebijakan moneter nampaknya masih akan menjadi konsen negara-negara ekonomi utama dunia.
Setelah satu tahun pengetatan yang tajam dan terkoordinasi, survei Chief Economists Outlook edisi Januari 2023 World Economic Forum (WEF) kepada beberapa ekonom berharap sikap kebijakan moneter tetap konstan di sebagian besar dunia tahun ini.
Di Eropa dan AS, mayoritas responden masing-masing 59% dan 55% mengharapkan pengetatan moneter lebih lanjut pada 2023.
Sementara itu, The Federal Reserve (The Fed) dan Bank Sentral Eropa (ECB) sama-sama mengindikasikan bahwa pengetatan suku bunga masih akan berlangsung. Namun, perlu dicatat bahwa kenaikan suku bunga terbaru kedua bank sentral pada bulan Desember lebih kecil, pada 50 basis poin dibandingkan kenaikan 75 basis poin sebelumnya.
Laporan WEF itu juga menyebutkan, para pembuat kebijakan global, terutama bank sentral, tengah menghadapi dilema antara melanjutkan pengetatan moneter atau melonggarkannya.
Menurut laporan itu, jika pengetatan moneter terlalu banyak, dalam hal ini peningkatan suku bunga acuan, dapat menyebabkan resesi yang dalam dan berkepanjangan.
Kondisi ini ditakutkan menyebabkan kerugian yang tidak perlu bagi rumah tangga dan bisnis.
Namun, pelonggaran kenaikan suku bunga bisa menjadi lebih buruk, menyebabkan berlanjutnya biaya hidup dan biaya input yang tinggi.
Bahkan, pelonggaran kebijakan moneter ini juga berpotensi pengetatan moneter yang lebih tajam di kemudian hari untuk memulihkan stabilitas harga.
Meski demikian, menurut analisis makro global Trading Economics dan ekspektasi analis, suku bunga di Indonesia diproyeksikan mencapai 6,25% pada akhir kuartal tahun ini. Dalam jangka panjang, suku Bunga BI diproyeksikan menjadi tren sekitar 4,75% pada 2024.
Sementara Mandiri Sekuritas memproyeksikan BI akan menaikkan suku bunga acuan ke level 6% hingga akhir tahun 2023.
Adapun di bulan ini, Kepala Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Putera Rinaldy memperkirakan suku bunga acuan BI akan dinaikkan 50 bps menjadi 6% pada kuartal I 2023.
“Kita ekspektasikan BI 7 Day Reverse Repo Rate akan di posisi 6%. Ada kenaikan lagi 50 basis poin (bps) yang di-front load di kuartal I 2023,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (10/01). (ADF)