Spiritual Economic ala Juragan Siomay Gondrong: Menitip Berkah dari Doa Orang Lain
konsep ini merupakan pertemuan antara dorongan globalisasi ekonomi dengan bangkitnya pendekatan agama dalam cara pandang manusia menyikapi kehidupan.
IDXChannel - Seorang profesor sekaligus penulis asal Inggris, Eric Butterworth, pernah menerbitkan buku tentang konsep ekonomi yang dia sebut sebagai Spiritual Economics.
Lewat buku tersebut, Butterworth mencoba menganalisis perilaku ekonomi sebagai sebuah kesadaran manusia, yang tidak hanya terdiri dari fisik semata, namun juga memiliki aspek rohani atau spiritial.
Secara garis besar, konsep ini merupakan pertemuan antara dorongan globalisasi ekonomi dengan bangkitnya pendekatan agama dalam cara pandang manusia menyikapi kehidupan.
Jauh berjarak dari itu, ada sosok Wasis Nur Iman, perantau asli Nganjuk yang sukses merintis Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai penjual siomay, di Jakarta, yang rupanya memiliki cara berpikir dan sudut pandang yang sama dan sebangun dengan konsep Spiritual Economics ala Butterworth di atas.
"Karena (bagi saya), bukan soal berapa lama, tapi seberapa baik kita dalam menjalankan kehidupan ini. Bagaimana agar bisa bermanfaat (untuk orang lain). Karena buat apa juga panjang umur tapi tidak bermanfaat bagi sesama," ujar Wasis, saat ditemui kawasan Abadijaya, Kota Depok, beberapa waktu lalu.
Bahagiakan Orang Lain
Dengan prinsip hidup semacam itu, Wasis pun mengaku lebih kerap memprioritaskan kepentingan dan kebahagiaan orang lain, ketimbang berpikir cuan untuk dirinya sendiri.
Bagi Wasis, dengan berbagi kebahagiaan bersama orang lain, maka kebahagiaannya sedikit-banyak juga akan ikut terpenuhi. Sebaliknya, jika terlalu fokus mencari keuntungan bagi diri sendiri, maka dengan sendirinya kebahagiaan tidak akan bisa didapat.
"Jadi, ketika orang terbantu, orang happy dengan hadirnya kita, maka Insya Allah dia akan doa yang baik-baik untuk kita. Sebaliknya, kalau kita belum sukses, merasa hidup belum nyaman, belum tenang, itu bisa jadi karena terhambat oleh doa buruk dari orang-orang yang tidak suka dengan keberadaan kita," tutur Wasis.
Juragan Siomay
Sehari-hari, sosok Wasis dikenal sebagai pemilik bisnis siomay dengan merek dagang Siomay Gondrong. Lokasi pertemuan di Abadijaya ini merupakan fasilitas dapur sekaligus pool penjualan yang dimiliki Wasis untuk menyuplai produk siomay untuk pasar Depok dan sekitarnya.
Di sana, Wasis telah memiliki total karyawan sebanyak 25 orang. 20 orang bertugas sebagai penjual, dengan masing-masing titik dagang yang tersebar di seluruh Depok, dan lima orang lagi yang bertugas untuk belanja ke pasar, memasak hingga bersih-bersih di dapur.
Selain di Depok, Wasis juga memiliki fasilitas dapur sekaligus pool penjualan di daerah Sawangan, yang baru dirintisnya setahun terakhir, dengan jumlah karyawan baru sebanyak lima orang.
"Untuk pool di Sawangan, kita masih baru, sehingga belum menghasilkan (keuntungan). Kita masih merintis di sana. Kalau dari pool Depok, omzet saya bisa sekitar Rp7 juta sampai RP8 juta per hari, dari penjualan sekitar 10 ribu pcs (siomay), kurang lebih," tutur Wasis.
Sistem Gaji
Dalam menjalankan bisnisnya, Wasis juga menerapkan prinsipnya untuk mengedepankan kepentingan dan kebahagiaan orang lain, yang dalam hal ini adalah para karyawannya.
Salah satunya dengan menerapkan sistem gaji flat sebesar Rp150 ribu per hari, bagi penjual yang masih satu-dua bulan awal berjualan, sehingga omzetnya masih sangat minim.
Biasanya, masing-masing penjual baru akan dibawakan oleh Wasis sekitar 150 pcs sampai 200 pcs siomay untuk dijual dengan harga Rp3.000 per unit siomay.
"Jadi buat (karyawan) yang baru jualan, sehari kita kasih Rp150 ribu. Mau laris, mau sepi, bahkan misal dagangan nggak laku sama sekali, tetap mereka dapat Rp150 ribu. Karena mereka kan ada kebutuhan sehari-hari, juga biar tetap semangat buat besok jualan lagi," ungkap Wasis.
Selanjutnya, proses penjualan dari karyawan baru tersebut akan mulai direview oleh Wasis dalam satu-dua bulan ke depan. Jika masih sepi, maka titik penjualannya akan direvisi, dan dicarikan tempat berjualan baru agar dapat lebih ramai.
Sistem Komisi
Sebaliknya, jika nantinya karyawan tersebut sudah bisa menjual sekitar 150 pcs hingga 200 pcs per hari, maka sistem yang diterapkan Wasis akan berubah menjadi sistem komisi, di mana penjual akan menerima Rp900 untuk setiap unit siomay yang terjual.
"Jadi anggap dia sudah bisa jual 200 pcs (siomay), jadi kan omzetnya Rp600 ribu. Dia terima komisi Rp180 ribu, plus uang makan siang jadi total Rp200 ribu. Setor ke saya Rp400 ribu," urai Wasis.
Biasanya, kalau penjualan sudah mulai meningkat seperti itu, Wasis akan mendorong untuk berani membawa barang dagangan yang lebih banyak lagi pada keesokan harinya. Tujuannya, Wasis ingin mengajarkan kepada karyawan agar memiliki semangat untuk maju dan mengejar target yang lebih baik lagi.
Secara rata-rata, Wasis menjelaskan, para penjualnya yang tergabung di pool Depok telah mampu menjual sedikitnya 700 pcs hingga 800 pcs siomay per hari.
Kerugian
Jika pun si penjual telah membawa barang dagangan sebanyak itu dalam sehari dan ternyata ada sebagian yang tak laku, Wasis menegaskan bahwa sama sekali tidak ada penalti atau kerugian yang harus ditanggung oleh si penjual.
Padahal, setiap barang dagangan yang tak laku itu tentu pastinya akan terbuang, karena siomay adalah jenis masakan yang hanya bisa bertahan dalam 1x24 jam saja.
Meski ada opsi lebih awet dengan dimasukkan ke lemari pendingan, Wasis enggan melakukannya karena tetap akan berpengaruh pada rasa dan kualitas barang dagangannya.
"Ya memang (siomay yang tak laku) dibuang. Kan itu risiko usaha. Anak buah tinggal setor sesuai yang laku saja. Dan mereka memang kalau hari ini laku, misalnya, 400 pcs, besok pasti saya suruh bawa 500 pcs. Gak boleh 400 pcs lagi. Kok ternyata apesnya cuma laku 200 pcs, ya nggak apa. Tinggal setor sesuai (yang laku) itu. Sisanya dibuang. Saya yang tanggung (kerugiannya)," tandas Wasis.
Pemodal
Tak hanya kepada karyawan, Wasis juga berkomitmen untuk membawa usaha siomaynya agar bisa membawa keuntungan bagi sebanyak-banyaknya orang di sekitarnya.
Termasuk juga salah satunya adalah kakak kandung Wasis yang selama ini tinggal di Nganjuk, kampung halamannya. Meski selama ini belum pernah sekali pun melihat langsung bisnis Sang Adik di Ibu Kota, namun sebagian dari keuntungan tiap bulan rutin dikirim oleh Wasis ke rekening kakak perempuannya tersebut.
Hal ini lantaran Wasis merasa berhutang budi, karena pada 2014 lalu ketika dirinya ditawari untuk membeli secara penuh merek dagang Siomay Gondrong dari pemilik sebelumnya, separuh dari uang transaksi tersebut didapat dari Sang Kakak.
"Jadi dulu pas pertengahan 2014, oleh bos (Siomay Gondrong) yang dulu, saya disuruh beli Rp200 juta, untuk merek dagang, lima gerobak motor buat jualan, alat-alat masak, kontrak pool untuk beberapa tahun, semuanya. Nah (uang) itu, Rp100 jutanya saya pinjam dari kakak," papar Wasis.
Sebagai konsekuensi atas pinjaman tersebut, sejak awal Wasis telah menjanjikan untuk mengirimkan Rp2,5 juta per bulan untuk kakaknya. Perjanjian tersebut terus berjalan lancar hingga 2021, di mana Sang Kakak meminta dibantu untuk membeli mobil secara kredit.
Dengan begitu, dana yang biasanya dikirimkan Wasis setiap bulannya, sejak 2021 dialihkan untuk membayar cicilan mobil kakaknya.
"Kreditnya tiga tahun. Saya yang bayar(cicilannya). Perjanjiannya begitu mobil lunas, utang saya juga lunas. Jadi kurang tinggal setahun lagi," jelas Wasis.
Tak Hanya Siomay
Meski dikenal sebagai Juragan Siomay Gondrong, bukan berarti Wasis tidak memiliki jenis usaha lain yang pernah dan sedang digeluti.
Namun begitu, seperti halnya perlakuannya ke karyawan dalam bisnis siomay, Wasis juga mengaku selalu berusaha untuk mengedepankan kepentingan orang lain dalam setiap membangun bisnis sampingannya tersebut.
Tercatat ada sejumlah bisnis lain yang telah digeluti Wasis, mulai dari membuka warung pecel lele, toko pancing hingga pangkas rambut. Namun, Wasis kini telah menyerahkan sepenuhnya bisnis tersebut kepada rekan bisnisnya, untuk bisa dikembangkan lebih lanjut.
"Dulu ada (bisnis) pangkas rambut, saya beli lapaknya, termasuk semua peralatannya, harga Rp80 juta. Untuk perbaikan, modal awal dan lain-lain, sekitar Rp30 juta lah. Alhamdulillah. Untung juga lumayan. Cuma ketimbang saya gak bisa fokus, saya lepas, biar diterusin karyawan saya. Ada juga toko pancing, sama juga, sudah saya kasih ke kawan saya saja untuk dilanjutkan," urai Wasis.
Bagi sebagian orang, 'kebiasaan' Wasis semacam itu boleh jadi merugikan dan tentunya tidak sesuai dengan logika ekonomi dan bisnis pada umumnya. Wasis pun sepenuhnya menyadari itu.
Namun, Wasis mengaku memiliki pertimbangan lain atas pendekatan bisnis yang selalu dijalankannya tersebut.
"Seperti menitip berkah saja ke doanya orang-orang itu, yang coba kita bantu itu tadi. Dengan begitu, Insya Allah mereka doakan segala yang baik ke kita. Jadi biar pun uang kita nggak seberapa, tapi berkah, karena banyak yang mendoakan," papar Wasis.
Kredit BRI
Salah satu berkah besar yang didapatkannya, menurut Wasis, adalah dengan segala kemudahan yang dia rasakan saat mengajukan pinjaman modal ke PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), atau Bank BRI.
Saat itu, untuk pinjaman yang pertama kali, Wasis mendapatkan pinjaman modal melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp25 juta. Hingga saat ini, Wasis mengaku telah empat kali mengajukan pinjaman, dengan pinjaman terakhir diberikan sebesar Rp75 juta, dan dengan masing-masing termin pinjaman selama dua tahun.
Dalam semua proses pengajuan tersebut, Wasis mengaku sangat terbantu dan dimudahkan oleh pihak Bank BRI. Bahkan, proses pencairan pinjaman hanya dilakukan dalam setengah hari saja, dan dana langsung cair tanpa adanya berbagai ketentuan yang menyulitkan.
"Jujur saya sangat terbantu banget dengan BRI. Kalau gak ada pinjaman dari BRI, mungkin bisnis ini gak akan sampai seperti sekarang. Mungkin masih gitu-gitu aja seperti dulu. Ini juga, bagi saya, juga bagian dari berkah, yang mungkin (saya dapat) berkat doa orang-orang itu tadi," ujar Wasis, yakin.
Dengan adanya pinjaman permodalan dari BRI tersebut, kini bisnis siomay Wasis telah jauh berkembang dibanding saat pertama kali dibelinya pada 2014 lalu.
Bahkan, sejak setahun lalu Wasis telah mulai berhasil memperluas ekspansi bisnisnya dengan membuka dapur dan pool baru di daerah Sawangan. Setahun ke depan, sekitar 2025, Wasis pun bertekad akan kembali membuka pool baru di kawasan Bintaro.
Tak hanya berkutat di area Jabodetabek, mimpi lebih besar juga coba digagas Wasis, dengan menargetkan kelak bisa membuka dapur dan pool baru di kota-kota lain. Dua kota yang telah jadi incaran Wasis adalah Surabaya dan Batam.
"Pertimbangan pertama, di dua kota itu banyak masyarakat keturunan Chinanya, sehingga potensial, karena siomay kan makanan China. Chinese Food. Lalu, di sana juga saya ada beberapa saudara, jadi ada yang siap bantu. Doakan saja secara terwujud. Amin," tegas Wasis.
Terus Berkembang
Sementara, dari sisi BRI sendiri, kisah perjuangan Wasis dalam mewujudkan mimpi-mimpinya tersebut seolah semakin memperpanjang catatan keberhasilan dalam mendukung para pelaku UMKM dalam mengembangkan bisnis, sekaligus meningkatkan kualitas hidupnya ke arah yang lebih baik.
Tak hanya melalui fasilitas pinjaman bersubsidi lewat program KUR, sumbangsih BRI dalam mendukung geliat sektor mikro juga dilakukan melalui pembiayaan komersial lewat produk Kredit Usaha Pedesaan (Kupedes).
Terus tumbuh kuat, kinerja kredit segmen mikro PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI tercatat semakin baik pascapandemi. Adapun salah satu pendorong pertumbuhan kredit per kuartal III-2023 karena terdorong produk komersial Kupedes.
Sejak pasca pandemi, misalnya, kinerja pembiayaan via Kupedes terus mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi.
"Ini menunjukkan bahwa UMKM kita itu secara bisnis sangat sehat. Daya bayarnya kuat. Sehingga relatif tidak terlalu sensitif soal bunga. Jadi mau pakai produk (pinjaman) komersial seperti Kupedes, juga tidak masalah," ujar Direktur Bisnis Mikro BRI, Supari, saat dihubungi, terpisah.
Justru, dengan adanya program pinjaman bersubsidi lewat KUR, Supari mengeklaim kerap kali kurang diminati oleh sebagian pelaku UMKM, karena memiliki plafon pinjaman maksimal yang relatif rendah.
Sedangkan, kebutuhan permodalan di kalangan pelaku UMKM dalam beberapa kasus tertentu, jauh lebih besar dibanding nominal pinjaman yang bisa diberikan melalui program KUR. Kasus serupa itulah yang juga dirasakan oleh Sopian, yang membutuhkan pinjaman permodalan hingga Rp200 juta, sehingga tidak mungkin untuk mengajukan kredit KUR.
"Jadi bagi sebagian mereka (pelaku UMKM), KUR kadang kurang besar (plafon pinjamannya), karena modal yang dibutuhkan lebih dari itu. Sehingga, mereka tidak masalah pakai Kupedes, meski secara bunga sedikit lebih tinggi, karena tidak ada subsidi dari pemerintah," tutur Supari.
Klaim Supari tersebut, terkonfirmasi, di antaranya oleh data penyaluran kredit BRI hingga September 2023 lalu. Dalam sembilan bulan pertama tahun lalu, BRI mampu merealisasikan pengucuran total kredit mikro sebesar Rp479,9 triliun.
Dari total nominal sebesar itu, sebesar 60,1 persen di antaranya terkontribusikan dari produk Kupedes, yaitu dengan nilai realisasi pengucuran mencapai Rp201,4 triliun. Nilai tersebut juga terhitung tumbuh hingga 57,5 persen bila dibandingkan dengan realisasi pengucuran Kupedes pada periode sama tahun sebelumnya.
"Jadi secara total bisnis mikro BRI, porsi Kupedes juga terus menguat, menggeser porsi KUR yang selama ini mendominasi. Dari semula hanya 29,56 persen, kontribusi Kupedes (terhadap total bisnis mikro BRI) kini sudah mencapai 41,96 persen," tegas Supari. (TSA)