Sri Mulyani dan Gubernur BI Ungkap Penyebab Dolar AS Masih Perkasa
Menkeu, Sri Mulyani dan Gubernur BI, Perry Warjiyo mengungkapkan penyebab dolar AS saat ini masih perkasa.
IDXChannel - Bank Indonesia (BI) mengungkapkan rentetan dampak dari suku bunga The Fed yang masih tinggi di level 5,5 persen, termasuk ke nilai tukar Rupiah terhadap USD.
"Ketidakpastian global masih tinggi, pertumbuhan ekonomi global stagnan, geopolitik masih tidak pasti. Pertumbuhan ekonomi global tahun ini diproyeksi 3,2 persen, stagnan dari tahun lalu dan akan turun 3,1 persen," ucap Gubernur BI, Perry Warjiyo saat Raker dengan Banggar DPR, Jakarta, Senin (8/7).
Perry memproyeksikan, suku bunga The Fed atau Fed Fund Rate (FFR) bakal dipangkas satu kali pada akhir tahun ini dari 5,5 persen menjadi 5,25 persen.
"Tahun depan pemangkasan 2-3 kali sekitar 50 bps atau 75 bps. Sehingga dampaknya dan utang pemerintah AS sangat tinggi. Suku bunga obligasi AS tinggi sekali. Yang 10 tahun (yield) 4,3 persen, dan jangka pendek lebih tinggi, yakni 4,8 persen. Ini menyebabkan (keluarnya) aliran modal asing di berbagai negara, termasuk Indonesia," paparnya.
Dia juga menyebut, mata uang seluruh negara di dunia mengalami pelemahan karena penguatan USD.
"Dolar AS tetap perkasa, sekarang (indeks USD) 105,5, mata uang dunia seluruhnya mengalami pelemahan. Seluruh negara, termasuk Indonesia perlu memperkuat ketahanan dalam negeri atas kondisi global ini agar ekonomi kita tetap stabil dan tetap tumbuh," ujar Perry.
Bersyukur, kata Perry, ekonomi Indonesia masih tumbuh relatif baik sebesar 5,11 persen di kuartal I-2024.
"Dilihat dari indikator indeks keyakinan konsumen, indeks penjualan riil, dan PMI, kami melihat ekonomi kita di tahun ini akan terus tumbuh sekira 4,7 persen sampai 5,5 persen. Perkiraan kami pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,1 persen tahun ini. Cukup baik dibanding negara lain," tuturnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam kesempatan yang sama menjelaskan, aliran modal asing mengalami tekanan sangat tinggi terutama pada Maret dan April 2024, karena market mengalami kekecewaan akibat adanya ekspektasi pemotongan FFR lebih dari satu kali, di mana harapan pasar sebelumnya 3-4 kali di 2024.
"Tapi Maret-April, The Fed firm inflasi AS belum dianggap aman, ekonomi AS masih dianggap terlalu kuat, sehingga stand The Fed menunjukkan tidak adanya pemotongan FFR dalam waktu dekat, sehingga menimbulkan kekecewaan market dan menimbulkan capital outflow di seluruh dunia," ujarnya.
"Indonesia mengalami tekanan di Maret-April di saham, surat berharga kita dan bahkan Pak Gubernur BI menerbitkan SRBI semuanya mengalami tekanan. Pada Mei-Juni dengan SRBI berhasil menarik (modal asing) dan tentunya dengan suku bunga yang relatif lebih tinggi, namun kami masih tetap menjaga yield dari SBN kita," kata Sri Mulyani.
Dengan kondisi ini, diakui Sri Mulyani, Rupiah mengalami tekanan, bahkan menembus Rp16.400 per USD, dan yield SBN sempat tertekan di 7,1 persen.
(FAY)