BANKING

Transaksi BI-FAST Tembus Rp25.000 Triliun hingga September 2025

Iqbal Dwi Purnama 11/11/2025 15:09 WIB

Transaksi melalui layanan BI-FAST yang telah menembus 9,61 miliar transaksi, dengan nilai Rp25.000 triliun sejak 2021 hingga September 2025.

Transaksi BI-FAST Tembus Rp25.000 Triliun hingga September 2025 (FOTO:Dok BI)

IDXChannel -  Sistem pembayaran nasional telah mencatat lompatan besar dalam enam tahun terakhir, seiring akselerasi digitalisasi ekonomi Indonesia. 

Salah satu capaian utamanya adalah transaksi melalui layanan BI-FAST yang telah menembus 9,61 miliar transaksi, dengan nilai Rp25.000 triliun sejak pertama kali diluncurkan pada 2021 hingga September 2025.

"Sejak 2019, Bank Indonesia telah menavigasi arah digitalisasi nasional melalui sistem pembayaran. Dalam kurun waktu enam tahun, kita bisa melihat berbagai lompatan besar seperti BI-FAST, QRIS, dan SNAP," ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Filianingsih Hendrata dalam paparannya pada acara Peluncuran Bulan Fintech Nasional (BFN) di Wisma Danantara, Selasa (11/11/2025).

Menurutnya, sistem interkoneksi pembayaran di Indonesia kini semakin kuat. Hal itu tercermin dari meningkatnya proporsi transaksi berbasis Standar Nasional Open API Pembayaran (SNAP) yang telah mencapai 93 persen secara volume dan 83 persen secara nasional.

Sementara itu, QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) juga mencatat capaian luar biasa dan berkontribusi besar terhadap peningkatan inklusi keuangan.

Adapun hingga September 2025, transaksi QRIS telah mencapai 10,3 miliar transaksi, atau 150 persen dari target yang ditetapkan. Saat ini, QRIS digunakan oleh 58 juta pengguna dan 41 juta merchant, di mana lebih dari 90 persen merupakan pelaku UMKM.

Filianingsih menambahkan, prospek digitalisasi pembayaran nasional akan terus tumbuh pesat. BI memperkirakan volume transaksi digital akan mencapai 147 miliar transaksi pada 2030, atau sekitar empat kali lipat dibandingkan 2024.

"Kami melihat dorongan kuat datang dari partisipasi generasi muda serta inovasi teknologi yang terus berkembang," ujarnya.

Namun, di balik kemajuan tersebut, Filianingsih mengingatkan adanya tantangan serius berupa keamanan dan kejahatan digital. Mengutip data IMF, potensi kerugian global akibat kejahatan siber diperkirakan melonjak dari USD8,4 triliun pada 2022 menjadi USD23 triliun pada 2027.

"Dibalik kemajuan tersebut kita lihat ada tantangan serius, pertama keamanan dan kejahatan digital, kita lihat kejahatan digital dan serangan siber juga meningkat seiring transaksi yang meningkat," tuturnya.


(kunthi fahmar sandy)

SHARE