ECONOMIA

Interview with Leaders - Membumikan Layanan Jasa Keuangan untuk Semua

Taufan Sukma/IDX Channel 28/10/2022 19:32 WIB

dengan keawaman yang ada, tak jarang berbagai kemudahan yang tersaji justru menimbulkan beragam dampak negatif.

Interview with Leaders - Membumikan Layanan Jasa Keuangan untuk Semua (foto: istimewa)

IDXChannel - Perbincangan terkait ekonomi dan sektor keuangan, boleh jadi, terkesan berat dan eksklusif bagi sebagian pihak. Padahal tanpa disadari, banyak dari aktivitas sehari-hari masyarakat yang terkesan simpel dan sederhana, pada dasarnya merupakan salah satu bentuk dari praktik ekonomi keseharian.

Misalnya saja transaksi kebutuhan rumah tangga, pesan makanan-minuman lewat layanan antar instan, membayar tagihan listrik, cicilan rumah sampai membeli kuota internet, semuanya merupakan bagian dari layanan jasa keuangan yang tak lepas dari kehidupan keseharian masyarakat kita.

Di tengah keawaman terhadap pemahaman layanan jasa keuangan tersebut, masyarakat kini juga disuguhkan dengan berbagai fasilitas kemudahan seiring dengan datangnya gelombang digitalisasi. Aktivitas jual-beli hingga investasi kini bisa dilakukan dengan sangat mudah.

Sayangnya, dengan keawaman yang ada, tak jarang berbagai kemudahan yang tersaji justru menimbulkan beragam dampak negatif. Sebut saja praktik investasi ilegal, layanan pinjaman online (pinjol) yang meresahkan, dan berbagai kasus lainnya. Lalu, dengan kondisi di lapangan yang seperti itu, apa yang harus dilakukan?

Berbekal pertanyaan tersebut, tim redaksi idxchannel.com berkesempatan berbincang dengan Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Friderica Widyasari Dewi.

Berikut ini sebagian hal penting yang kami bahas dalam perbincangan tersebut.

Q: Pertama-tama, kami ucapkan selamat atas dilantiknya Ibu sebagai Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen untuk Periode 2022 hingga 2027. Nah sebagai pembuka diskusi, bisa dijelaskan bagaimana Ibu memahami permasalahan utama dan mendasar yang ada di bidang edukasi dan perlindungan konsumen yang menjadi tanggung jawab Ibu saat ini?

Begini. Mungkin kita bisa memulai perbincangan dari data dan fakta awal tentang tingkat literasi masyarakat kita. Kita sama-sama tahu, ada banyak sekali data yang intinya menunjukkan bahwa literasi masyarakat Indonesia saat ini masih sangat rendah.

UNESCO, misalnya, menyebut bahwa Indonesia berada di urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Atau Studi dari Programme for International Student Assessment (PISA), yang menempatkan tingkat literasi Indonesia di peringkat 71 dari 77 negara di dunia.

Artinya apa? Bahwa kita punya tantangan besar dalam hal literasi. Dalam hal edukasi. Berdasarkan data yang dihimpun OJK sendiri, tingkat literasi kita itu sekarang di level 38 persen. Sedangkan inklusi keuangan di Indonesia itu ada di 76 persen.

Literasi itu artinya pemahaman masyarakat terhadap akses produk jasa keuangan. Sedangkan inklusi itu lebih pada penggunaan. Sederhananya adalah persentase bagi yang sudah menggunakan produk jasa keuangan.

Nah dalam kasus Indonesia, tingkat inklusinya, yaitu penggunaannya, lebih tinggi dari tingkat literasi. Berarti banyak orang yang sudah menggunakan produk dan jasa keuangan, padahal mereka belum paham produk atau layanan apa yang sedang mereka gunakan itu. Jadi sudah memakai, tapi tidak paham apa yang dipakai. Ini kan bahaya sekali.

Jadi jangan heran bila di masyarakat ada banyak yang tertipu layanan pinjol (pinjaman online-red) ilegal, investasi ilegal, punya asuransi tapi tidak tahu cara mengajukan klaimnya dan lain sebagainya, karena mereka ini sudah keburu memakai meskipun tidak paham seluk-beluk atau informasi tentang produk itu.

Jadi kalau ditanya tentang apa permasalahan utama dan mendasar yang kami hadapi di bidang edukasi dan perlindungan konsumen, salah satu yang jadi concern kami ya soal ini.

Q: Dengan pemahaman masalah seperti itu, apa saja solusi atau strategi yang sudah terbayang, atau malah sudah teragendakan dalam program-program yang Ibu susun dalam lima tahun ke depan?

Ya tentu untuk mengatasi permasalahan ini bukan hal yang mudah, yang bisa dilakukan lewat satu aksi dan pendekatan saja. Yang jelas fokus kami adalah mendekatkan segala bentuk informasi, segala bentuk pendidikan tentang produk-produk jasa keuangan kepada seluruh masyarakat di semua lapisan.

Ini semua yang terus kami galakkan, dengan menggandeng sebanyak mungkin pihak, semua stakeholer, seluruh pelaku usaha jasa keuangan, untuk semakin mengecilkan gap, antara kelompok masyarakat yang sudah well educated soal literasi keuangan, dengan sebagian masyarakat kita yang selama ini akses informasinya masih sangat terbatas.

Jadi seruannya, masyarakat kalau mau memakai produk jasa keuangan, harus paham dulu produk apa yang mau dipakai itu. Apa saja keuntungan yang bisa didapat, termasuk apa saja konsekuensi yang harus ditanggung. Bagaimana cara kerja produk itu bisa berjalan. Kalau terjadi masalah, apa yang harus dilakukan. Komplainnya ke mana, ke siapa. Itu semua harus jelas dulu.

Sehingga target kami di OJK, sesuai dengan target yang telah diamanatkan oleh Presiden RI, Bapak Joko Widodo, bahwa tingkat inklusi keuangan di tahun 2024 sudah bisa mencapai 90 persen. Tentu, dengan tingkat inklusi kita maksimalkan terus, maka Pe-eR(pekerjaan rumah-red)nya tingkat literasi juga harus digenjot lebih kuat lagi, paling nggak dua kali lipat, sampai kedua hal ini seimbang.

Q: Bagaimana bentuk nyata dari upaya peningkatan literasi di masyarakat itu? Karena kita tahu selama ini bahasan tentang ekonomi, tentang jasa keuangan, misalkan tentang investasi dan sebagainya itu masih kurang familiar dan bahkan terkesan eksklusif di mata masyarakat luas?

Nah, itu dia. Bagaimana bentuk nyata dari layanan jasa keuangan itu dalam kehidupan sehari-hari, itulah yang kita kenalkan ke masyarakat luas. Jadi jangan sampai ilmu tentang ekonomi, tentang jasa keuangan ini seperti menara gading, yang kesannya jauh banget dalam persepsi masyarakat. 
Padahal faktanya, setiap kita transaksi itu, beli sabun cuci, beli beras di toko kelontong, atau berjualan di pasar, itu semua kan praktik dari layanan jasa keuangan juga, yang kadang masyarakat tidak menyadarinya.

Jadi mungkin bagi masyarakat perkotaan, misalnya, di kota-kota besar, bicara produk jasa keuangan itu identik dengan produk asuransi, saham, obligasi dan sebagainya. Sektor keuangan seolah identiknya ke produk perbankan, deposito, produk valas dan sebagainya.

Padahal kalau kita terjun langsung di masyarakat, Mbok-Mbok di pasar basah itu juga perlu pendanaan untuk usaha mikronya lho. Pelaku UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) itu juga perlu edukasi soal neraca keuangan lho, soal bagaimana mengelola arus kas agar uang dari usaha tidak terpakai di konsumsi sehari hari.

Atau kita bicara petani menjual gabah ke tengkulak, itu juga transaksi keuangan lho. Nelayan mencari pinjaman untuk modal beli solar agar bisa melaut dan sebagainya. Dan mereka-mereka ini rawan diintai oleh oknum rentenir, sehingga perlu pendampingan dan edukasi dari kita.

Nah, hal-hal yang seperti ini kita coba sentuh sampai ke level grassroot. Bahkan sampai ke masyarakat di wilayah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar), di daerah perbatasan sana, yang akses informasinya sangat terbatas. Ini semua juga harus tercover oleh program-program edukasi kita.

Tentu, langkah ini kita lakukan dengan juga tetap menjaga aksesibilitas informasi dan edukasi di masyarakat perkotaan juga. Di kalangan mahasiswa, pelajar, atau juga ke ekosistem syariah, dunia pesantren, kelompok ibu-ibu rumah tangga, komunitas anak motor, para pecinta kopi, komunitas musik indie dan sebagainya.

Intinya di seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, kita harus hadir karena pada dasarnya transaksi jasa keuangan itu ada di sekitar kehidupan kita sehari-hari. Justru tanpa kita sadari, bisa dibilang kita tidak bisa lepas dari seluruh aktivitas keuangan itu, mulai dari level layanan paling sederhana hingga yang paling kompleks. Dan semua itu perlu edukasi. (TSA)

SHARE