Lima Strategi Pertamina Sediakan Energi Berkelanjutan Untuk Masyarakat
Pasca terbentuknya holding dan subholding, maka subholding dapat lebih fokus pada kinerja operasional masing-masing.
IDXChannel - "We never know the worth of water till the well is dry."
Seorang pendeta asal Inggris yang hidup di awal abad ke-16, Thomas Fuller, menulis sebuah anekdot satir tentang relasi manusia dengan alam.
Dalam anekdot tersebut, Fuller menyoroti kealpaan manusia dalam menyadari peran krusial alam dalam kehidupannya, dengan menyebut bahwa manusia hanya baru akan tersadar pentingnya air ketika sumur terakhir mengering.
Berjarak lima abad dari kehidupan Fuller, masyarakat dunia hari ini kini mulai terdorong untuk beranjak menuju pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), menggantikan pasokan energi berbasis fosil yang selama ini digunakan.
Isu ini juga tak luput dari perhatian PT Pertamina (Persero), sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang fokus dalam sektor bisnis minyak dan gas.
Karenanya, pengembangan green product juga menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya pengembangan bisnis Pertamina di masa mendatang.
Langkah tersebut berjalan beriringan dengan upaya Pertamina untuk tetap menjaga kinerja bisnisnya agar tetap dalam teritori positif. Salah satunya melalui langkah efisiensi, di mana sepanjang 2020 hingga 2021 lalu Pertamina sukses menghemat hingga USD1,3 miliar.
"Jadi peningkatan(penghematan)nya luar biasa, karena hal itu juga didrive dari kinerja operasional yang juga meningkat," ujar Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, dalam sebuah wawancara bersama IDXChannel TV, beberapa waktu lalu.
Menurut Nicke, langkah efisiensi diantaranya ditopang dari keberadaan holding dan subholding perusahaan.
Pasca terbentuknya holding dan subholding, Nicke menjelaskan, maka subholding dapat lebih fokus pada kinerja operasional masing-masing.
Dengan demikian, masing-masing subholding tersebut dapat melakukan investasi yang lebih efektif, sehingga berujung pada peningkatan pendapatan perusahaan.
"Kami juga lakukan program costs optimization, yang di dalamnya terdapat cost efficiency. Pada 2020 sampai 2021, misalnya, kami berhasil menciptakan costs optimization sebesar USD1,3 miliar," tutur Nicke.
Sementara, terkait penghematan tersebut, Menteri BUMN, Erick Thohir, mengapresiasinya sebagai bagian dari upaya perbaikan menyeluruh dalam tubuh Pertamina.
"Sehingga, bila selama ini ada persepsi yang mengatakan bahwa Pertamina ini tidak melakukan efisiensi, Saya pastikan salah besar," ujar Erick, dalam kesempatan terpisah.
Dalam upaya pembenakan dan perbaikan menyeluruh dalam tubuh Pertamina tersebut, perusahaan memiliki sejumlah program pengembangan usaha yang fokus pada sinergi operasional dan pengembangan green product.
Portofolio bisnis hijau Pertamina terus dikembangkan, diantaranya lewat pengelolaan carbon trading, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya sampai pengembangan green high project.
Tak hanya bagi Pertamina sendiri, langkah pengembangan sejumlah proyek untuk ekonomi hijau dilakukan guna mendukung kelancaran transisi energi indonesia menjadi energi terbarukan.
Pada saat bersamaan, Pertamina juga terus menjaga kegiatan ekonomi yang saat ini masih menggunakan bahan bakar berbasis fosil.
Saat ini, Nicke mengeklaim bahwa Pertamina telah berkontribusi sebesar 68 persen terhadap produksi minyak nasional, dan juga 33 persen terhadap produksi gas nasional.
Di sisi lain, Pertamina juga memiliki tugas penting dalam menjaga pasokan bahan bakar dan energi masyarakat. Dalam hal ini, Pertamina juga sekaligus ingin memastikan agar ketersediaan energi di masyarakat tetap terjangkau.
Hal tersebut dirasa penting sebagai bagian kontribusi Pertamina untuk turut menjaga daya beli masyarakat.
Salah satunya melalui kebijakan untuk tidak menaikkan harga jual Bahan Bakat Minyak (BBM) bersubsidi ketika harga minyak dunia mengalami kenaikan.
"Tetapi pemerintah, yaitu Bapak Presiden Jokowi, memerintahkan kita semua agar Pertamina tidak menaikkan harga pada waktu itu. Padahal kita tahu BBM harga pasar (naik). Dari bulan januari sampai Agustus waktu itu, pemerintah melalui Pertamina telah membantu masyarakat lewat jalur subsidi, kurang lebih sebesar Rp10 triliun," ujar Erick.
Subsidi BBM yang diberikan kepada masyarakat melalui Pertamina tersebut menjadi salah satu langkah pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat di masa pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19.
Tak hanya itu, pemberian subsidi diharapkan juga menjadi daya ungkit bagi para pelaku ekonomi skala kecil, sepeti Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
"Pertamina harus memastikan bahwa BBM, LPG, harus selalu tersedia dan terjangkau oleh masyarakat. Terjangkau ini artinya pasokan harus selalu ada. Jadi ini soal availability," tutur Nicke.
Untuk menjaga hal tersebut, menurut Nicke, pihaknya terus menjaga kemampuan produksi perusahaan melalui subholding upstream pertamina. dan ini terus kita lakukan.
Dalam hal ini, Pertamina telah melakukan investasi cukup besar pada subholding upstream, dengan porsi sekitar 55 persen hingga 60 persen dari total investasi perusahaan dialokasikan pada aktivitas eksplorasi pada kegiatan upstream.
Setelah menjaga aspek availability, dengan telah memastikan pasokan BBM tersedia di pasar, maka tugas Pertamina selanjutnya adalah terkait acceptability,
"Kita harus bisa memastikan bahwa seluruh masyarakat bisa mengakses energi ini. Selain melalui jaringan SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) yang mencapai lebih dari 7.000, kami juga membangun yang namanya Pertashop, yang ini penetrasinya sampai ke desa-desa," ungkap Nicke.
Kemudian, tak cukup hanya itu, Pertamina juga disebut Nicke memiliki program bernama One Village One Outlet, yang bertugas menyediakan pasokan LPG dan BBM melalui agen-agen di daerah.
Dalam catatan Pertamina, saat ini telah ada lebih dari 64.200 agen Pertashop yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
"Dan yang paling membedakan Pertamina dengan perusahaan lain, adalah program BBM satu harga, di mana kami memastikan harga jual di setiap wilayah di Indonesia itu sama," papar Nicke.
Selanjutnya, aspek ketiga yang menjadi concern Pertamina adalah affordability, atau keterjangkauan produk energi Pertamina oleh masyarakat, dengan kondisi daya beli yang tentunya beragam.
Karenanya, pada 2022 lalu, Nicke mencontohkan, Pertamina mengambil kebijakan untuk tidak menaikkan harga jual Pertamax, meski fluktuasi harga minyak dunia tengah mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
"Meski status Pertamax adalah BBM non-subsidi, namun kami menyadari betul bahwa masyarakat membutuhkan Pertamax untuk aktivitas sehari-hari, termasuk juga untuk menjaga kegiatan ekonominya dapat terus berjalan, sehingga kami harus menjaga agar (harga jual Pertamax) ini tetap terjangkau," urai Nicke.
Sebagai BUMN, Nicke menegaskan bahwa Pertamina tidak hanya semata-mata berorientasi pada menghasilkan keuntungan lewat aktivitas bisnis, melainkan juga membawa dampak besar terhadap kehidupan masyarakat.
Sementara aspek keempat, Nicke menjelaskan, adalah soal acceptability. Dengan sumber daya alam yang luar biasa, Pertamina disebut Nicke terus berupaya untuk mengurangi karbon emisi. Salah satunya melalui program mandatory B30.
"Bahwa program ini adalah mengganti 30 persen solar dengan bahan bakar nabari berbasis CPO (Crude Palm Oil/minyak sawit mentah). Seperti kita tahu, kita ini dianugerahi pasokan CPO yang sangat berlimpah," tandas Nicke.
Langkah mengurangi konsumsi 30 persen solar dengan menggantinya dengan bahan bakar nabari tersebut, disebut Nicke, berhasil mendorong penghematan devisa negara sebesar Rp122 triliun di sepanjang 2022 lalu.
Sementara dari segi kelestarian lingkungan, langkah substitusi tersebut menyebabkan penurunan produksi karbon emisi sebesar 28 juta ton.
"Artinya, bagaimana kita kemudian bisa memastikan bahwa Pertamina ini bisa menyediakan BBM yang lebih bisa diterima oleh lingkungan menjadi lebih baik," tandas Nicke.
Sementara, aspek terakhir dalam langkah pengembangan kinerja Pertamina, adalah terkait soal keberlanjutan (sustainibility).
Dalam upaya untuk memastikan agar pasokan energi dapat selalu tersedia untuk masyarakat, maka tantangan Pertamina adalah menyediakan energi yang lebih sustain.
Karenanya, selain tetap menjalankan aktivitas produksi energi berbasis fosil, Pertamina secara bertahap juga berupaya mengoptimalkan semua sumber daya yang dimiliki indonesia.
Misalnya saja dengan mengembangkan energi panas bumi (geothermal), energi matahari, membangun pembangkit listrik tenaga air (PLT), tidal (energi pasang surut air laut), dan sebagainya.
"Jadi lima aspek inilah yang menjadi cara bagi Pertamina dalam memaksimalkan kontribusi bagi negara dan masyarakat, selain tentunya lewat pendapatan dari aspek finansial," tegas Nicke. (TSA)