Menyoal Mitos dan Tantangan Generasi Ketiga di Bisnis Keluarga
ternyata Indonesia itu hebat sekali. 80 persen CEO sudah non family related. Itu hebat sekali.
IDXChannel - "A pessimist sees the difficulty in every opportunity; an optimist sees the opportunity in every difficulty (Seorang pesimis melihat kesulitan dalam setiap peluang; orang yang optimis melihat peluang di setiap kesulitan)."
Jargon terkenal ini pertama kali disampaikan oleh Mantan Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill, tentang pentingnya memelihara semangat dalam setiap tantangan yang dihadapi.
Ketika usaha serta perjuangan telah maksimal dan pantang menyerah, kesuksesan pun diyakini akan datang dengan sendirinya, dan bahkan bisa dirasakan hingga anak-cucu.
Namun demikian, ada juga sebagian masyarakat yang mempercayai bahwa sesukses dan sebesar apa pun kerajaan bisnis yang telah dibangun, semua akan hancur dan kembali ke titik nol di era generasi ketiga.
Sebuah peribahasa terkenal dari China, misalnya, menyebut bahwa setiap kejayaan bisnis keluarga akan runtuh pada generasi ketiga. Sebuah mitos yang tentu sulit dipercaya, namun terbukti banyak terjadi di berbagai kerjaan bisnis di dunia.
Tertarik pada mitos dan tantangan yang harus diemban para penerus bisnis di generasi ketiga itulah, yang mendorong Managing Partner sekaligus Founder Helios Capital, Hadi Cahyadi, menulis buku yang berjudul "Go Perpetuate; How to Beat The Third Generation Curse", yang terbit pada Oktober 2023 lalu.
Jurnalis IDXChannel TV, Prisa Sombo Datu, berkesempatan berbincang sosok alumni dari Universitas Tarumanegara tersebutu. Berikut ini adalah hasil dari perbincangan tersebut.
Prisa: Apakah benar ada kutukan generasi ketiga? Ada statistiknya nggak?
Hadi: Oke. Sebetulnya di dunia ini, dan juga Indonesia, ada statistik yang namanya 30, 13, 3. Artinya, hanya 30 persen bisnis keluarga yang bisa melewati tantangan sampai ke generasi kedua.
Dari generasi kedua itu, hanya 13 persen saja yang masih mampu meneruskan kejayaan bisnisnya hingga sampai ke keturunan generasi ketiga. Tren dan porsinya makin turun.
Dan terakhir, hanya tersisa tiga persen saja, keyaaan bisnis keluarga yang masih bisa dipertahankan hingga melewati 'trap' atau kutukan generasi ketiga ini.
Bisnis keluarga papa saya termasuk contoh kasus yang tidak bisa melewati tantangan generasi pertama dan kedua, karena saya memilih menjadi seorang profesional.
Jadi total ada 70 persen, termasuk keluarga saya, yang tidak berhasil melewati generasi kesatu ke generasi kedua.
P: Apa yang membuat anda tertarik membuat buku ini?
H: Saya yakin dan pasti bahwa buku ini sangat berguna bagi family business yang ingin melanjutkan ke generasi kedua dan ketiga. Banyak family yang membuat satu bisnis untuk diturunkan kepada anak-anaknya, dan buku ini membuat saya merasa dapat berkontribusi.
Suatu saat, saya ada satu seminar tentang suksesnya konglomerat dan suksesi yang dihadapi. Ternyata dalam pembicaraan, rata-rata dari generasi pertama mengatakan bahwa mereka ada concern, apakah generasi kedua bisa melanjutkan ke generasi ketiga dan bisa bertahap.
Pada saat itu saya mulai bertanya, oh ternyata mereka juga menyebutkan adanya third generation curse. Kemudian, salah satu patriat mengatakan ini bukan kutukan. Kalau kutukan, tinggal dipercikin sama kyai, orang pintar atau pastur yang kuat, (maka kutukan) akan hilang. Tapi ini statistik, karena statistik meaning proven.
P: Berarti yang turun ke generasi ketiga bukan masalah bisnisnya, tapi kemakmurannya ya?
H: Iya betul, kemakmurannya. Bisa-bisa kemakmuran generasi kedua ini selesai. Buku ini banyak dites oleh teman-teman saya yang tidak berhasil melanjutkan dari generasi kedua dan ketiga, dan mungkin bisnisnya selesai, yang tadinya jadi businessman besar jadi orang biasa.
Orang biasa ya masih cukup-cukupan. Tapi in the past they are big company, yang merupakan company di Indonesia yang punya nama. Pada saat saya cerita tentang buku ini dan teori yang terciptakan dari hasil riset saya di S3, ternyata mereka tidak melakukan itu.
P: Masalah ini jadi concern yang cukup serius di Indonesia bagi para konglomerat ini?
H: Iya, kalau kita lihat dari buku ini, ternyata riset saya meminta kepada para konglomerat untuk sangat memperhatikan parenting yang baik, sehingga mereka bisa bertahan, bisa melanjutkan value-value dari keluarganya, bisa membuat daya juang ambisinya tetap ada, kemudian visi dari generasi pertama bisa diteruskan oleh generasi kedua dan ketiga.
Atau mereka selalu dikuatkan entrepreneurshipnya, daya juangnya, kemampuan melihat peluang dan berani mengambil keputusan.
P: Kutukan generasi ketiga ini kan stigma dunia, ada gambaran atau contoh perusahaan yang bertahan lebih dari tiga generasi?
H: Kalau kita lihat di Jepang, kecap itu bertahan tiga generasi. Jepang itu banyak sekali perusahaan-perusahaan besar sehingga saya tertarik terhadap riset yang based on research.
Jepang termasuk yang bisa menjaga harmonisasi antar family, di mana mereka sangat respect terhadap abang paling besar. Negara itu very patriarki, sangat lelaki sehingga anak lelaki paling besar otomatis jadi bos.
Kehidupan mereka hebat sekali karena walaupun adik-adiknya lebih pintar tapi mereka akan support abang yang paling tua, abang paling tua akan jadi bos besar. Beda yang kita lihat di film netflix, di mana di film Korea banyak sekali pertempuran. Sebagian kisah nyata.
Kalau di google mungkin Korea termasuk yang paling banyak pertempuran atau pergesekan siapa yang mau jadi CEO.
P: Tidak semua anak pertama bisa meneruskan, apakah itu jadi salah satu faktor?
H: Makanya kalau kita lihat sekarang banyak sekali keluarga memperkenankan dan memilih, pilihannya cuma dua, perusahaan anda dibuat supaya anak-anak anda jadi pemimpin atau perusahaan anda dibuat untuk mempertahankan kekayaan anda.
Jadi family first atau business first. Semua mau dua-duanya, diperlukan satu kelincahan untuk berstrategi. Misalnya, kalau kita ingin famili kita tetap di Presdir, berarti CEO dan CFO-nya very strong dari luar.
CEO paling gampang mengambil keputusan, ya atau tidak. Sebenarnya gak susah-susah sekali, kalau semua profesionalnya very strong, pasti CEOnya dari keluarga boleh.
Tapi alangkah baiknya kalau CEO itu, seperti riset kami yang terakhir, di mana 50 family terbesar di Indonesia, dari 140 (perusahaan) Tbk, kami eliminasi lagi, ternyata ada 123 perusahaan tbk, ternyata cuma 20 persen saja yang CEO-nya masih famili.
Jadi ternyata Indonesia itu hebat sekali. 80 persen CEO sudah non family related. Itu hebat sekali.
P: Berarti Indonesia ini semua familynya lebih business first dibanding family first?
H: Tidak harus. Mumpuni bisa saja mengawasi daripada mengerjakan. Komisaris adalah posisi terbaik untuk family karena posisi komisaris adalah mengawasi. Preskom bisa aja family, komisaris bisa aja family, CEO non family.
Selama yang terbaiklah yang menjadi pemimpin, mungkin perusahaan itu akan menjadi lebih baik dan akan attracted banyak talent yang bagus karena di dalamnya mungkin akan ada meritokrasi, di mana yang terbaik diganjar lebih baik.
P: Apakah itu sudah cukup banyak diterapkan di Indonesia?
H: Kita beruntung sekali, hasil riset terbaru kami berusaha menggali selama dua bulan ini, ternyata 80 persen family business di Indonesia sudah berpikiran maju sekali dibandingkan negara-negara kita.
P: Berbicara mengenai family business di Indonesia masih cukup beruntung. Value yang bisa ditanamkan di BUMN atau yang lainnya, apa family business value yang menarik?
H: Jadi ada yang bisa kita bawa ke dunia institusi yang lain, dari family business misalnya sifat opportunistic mindset bahwa family business itu very entrepreneurship di mana mereka selalu melihat dan mengejar opportunitynya.
Next adalah attitude, di family business itu attitude terhadap risiko itu mereka sangat berani ambil dan mereka memperkenankan orang gagal karena gagal adalah pelajaran yang sangat berharga dan ada risk taking threshold yang mereka siapkan.
Kalau ada keluarga yang merasa bahwa Rp10 Miliar gagal, gapapa deh. Ada yang Rp5 miliar gagal, gapapa. Tapi tidak mungkin gagal berkali-kali. Pasti sudah disiapkan.
Pada saat mereka sukses itu baru kita belajar, generasi tiga mana yang sukses, itulah calon-calon suksesor. Hebatnya family business, pada saat dia mengetes attitude to risk dan failure, mereka malah menjaring suksesor. Siapa yang sukses itu adalah calon pemimpin dari generasi ketiga atau keempat.
P: Tapi itu apakah bisa diadopsi di sebuah institusi?
H: There’s the reason kita harus punya juklak mungkin di satu institusi, mengatakan bahwa setelah adanya check point a,b,c,d,e,f ternyata gagal, gapapa lakukan lagi kerjaan lain, kalau tidak institusi itu gak akan pernah maju, kalau dia gak pernah berani mencoba.
Mungkin value-value dari family business bisa dimasukan ke dalam institusi. Coba beranikan aja kita ambil value-value family business ini untuk diterapkan di sana.
P: Gaya kepemimpinan leader?
H: Salah satu riset dari salah satu kantor akuntan terbesar, mereka mengambil sekitar delapan karakteristik dari para founder ini, salah satunya adalah very visioner.
Kalau dilihat ada beberapa generasi satu yang masih sehat, mereka bisa bicara tentang masa depan dunia dan Indonesia impactnya. Beliau mungkin masih sering diundang. Juga kita bicara tentang resilien, bagaimana kita bertahan di krisis, krisis terbesar kita adalah Covid, tapi ternyata bertahan juga.
Transportasi susah sekali, ternyata bisa bertahan begitu juga tourism, ternyata sekarang booming, orang ternyata bosan juga di rumah. kemudian ada healthcare dan farmasi. Teamwork, inovasi, ada beberapa generasi satu yang sangat inovatif terutama di dunia farmasi, makanan.
Jadi value atau kelebihan itu sering kita sebut sebagai knowledge yang tidak tertulis tapi dirasakan di dalam family business itu. Seperti vision, resilien, inovasi atau mungkin passion dalam satu kerjaan.
Kan ada orang yang suka sekali dengan makanan terus ada di makanan, diversifikasinya tetap di makanan. Kalau dilihat ada satu company yang restorannya ada di mana-mana dan kita tetap ke sana.
Contohnya satu bakmie di Indonesia yang sangat terkenal, tidak diversifikasi kemana-mana tapi konsentrasi hanya di restoran itu. Itu yang kita katakan passion. Begitu juga leadership, integrity atau fleksibilitasnya.
Kadang-kadang kita lihat pengusaha ada yang sangat rileks dengan kata-kata integrity. tetapi ada beberapa perusahaan yang integritasnya very strong, sehingga dipercaya oleh mitranya. Integritas itu lah yang merupakan daya jual keluarga ini.
P: Ternyata di Indonesia lebih mengutamakan bisnis daripada keluarga, itu memengaruhi ya?
H: Indonesia itu kelebihannya adalah generasi pertama, kedua dan ketiga itu sekolah di tempat-tempat bagus, ini keberuntungan family business.
Modal itu sebetulnya membuat mereka sadar, sebetulnya pilihannya bisa masuk ke family atau mereka bisa cari kerja di luar, sehingga family Indonesia itu beruntung bisa menyeleksi yang terbaik dan paling cocok dengan valuenya.
P: Value tadi ada yang miss atau terlambat?
H: Ada sample bagus sekali dari salah satu family, mereka menciptakan academic family dengan nama mereka, kemudian siapapun yang mau masuk ternyata generasi kesatu dan kedua sudah bikin buku autobiografi mereka, jadi generasi tiga yang masuk harus baca buku itu dulu tentang value-value yang mau diturunkan.
Generasi kedua sekarang very strong dan bagus, mengatakan bahwa gak semua anak-anak kami tahu tentang value dari generasi satu, how passionate dia terhadap bisnis, betapa cintanya dia terhadap karyawan.
Ternyata sekarang siapapun yang mau masuk ke perusahaan harus tau value itu, jadi seperti management development program, tetapi salah satunya adalah mengerti tentang values.
P: Dari luar iklim sejauh mana mendukung family business di Indonesia?
H: Kita bicara government regulation very important, technology very important, perubahan demografi very important, kompetisi very important, economy situation very important.
as long as kita punya fleksibilitas, biasanya pengusaha itu very visioner. They can adapt, melakukan perubahan, maka timbul lah generasi ketiga mulai dibikinin satu fund, yaitu entrepreneurship fund. Ada angka yang sudah disiapkan untuk mereka memasuki business concept.
Kemudian om, paman, tantenya melakukan review. Kalau sukses maka dibuat investment committee. Kalau sukses rata-rata ngggak jauh dari bisnis mereka.
Ke depannya saya looking forward mereka menerapkan riset yang mudah-mudahan bisa terpakai di family business di Indonesia.
P: Family business tbk yang ke depan akan berhasil?
H: Oh, 50 besar Indonesia yang kebetulan kriterianya ada di forbes magazine, saya looking forward mereka getting stronger.
(TSA)