ECONOMICS

Ada Pandemi, OJK Paparkan Kinerja Sekuriti Aset KIK EBA dan EBA SP

Hafid Fuad 24/03/2021 13:52 WIB

OJK menjelaskan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) dan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA SP).

OJK menjelaskan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) dan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA SP). (Foto: MNC media)

IDXCHannel - Kepala Eksekutif Pasar Modal OJK Hoesen menjelaskan kinerja produk hasil sekuritisasi aset yang selama ini menjadi andalan di Indonesia yaitu Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) dan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA SP).

Hingga 2021, terdapat sembilan produk untuk KIK EBA dengan total dana kelolaan Rp4,87 triliun. Nilai produk KIK EBA ini cukup terdampak signifikan di 2020 akibat pandemi COVID-19, yaitu mengalami penurunan sebesar 28 persen dari Rp6,78 triliun pada Desember 2019 menjadi Rp4,87 triliun pada Desember 2020. "Trimester pertama 2021 tercatat Rp4,81 triliun," ujar Hoesen dalam webinar Seminar Nasional Sekuritisasi Aset di Jakarta (24/2/2021).

Sementara untuk EBA SP mampu mencatat perkembangan yang cukup positif dengan rata-rata pertumbuhan total dana kelolaan mencapai 23% setiap tahunnya. Per Maret 2021, terdapat tujuh produk EBA SP dengan total dana kelolaan Rp4,4 triliun.

KIK EBA dan EBA SP merupakan produk investasi yang beredar di pasar modal Indonesia. Ini merupakan produk hasil sekuritisasi aset keuangan yang diubah dalam bentuk instrumen efek sehingga dapat memberikan likuiditas dan lebih mudah untuk diperdagangkan.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengakui dalam pelaksanaan sekuritisasi memang menghadapi banyak tantangan. Transaksi sekuritisasi memang relatif lebih kompleks dan pelaksanaan transaksi sekuritisasi juga melibatkan banyak pihak dengan membutuhkan biaya yang relatif agak besar. 

"Selain itu, terdapat isu likuiditas dan risiko kredit di mana pasar Efek Beragun Aset (EBA) yang ada di pasar modal saat ini masih relatif kecil dan menjadi kurang likuid sehingga investor akan menghadapi kesulitan saat menjual produk EBA di pasar sekundernya," kata Febrio dalam kesempatan sama. (TIA)

SHARE