ECONOMICS

Ambruknya Raksasa Tekstil RI Sritex (SRIL) Dihantam Utang

Iqbal Dwi Purnama 25/12/2024 11:50 WIB

Presiden Prabowo Subianto pun meminta agar tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan Sritex.

Ambruknya Raksasa Tekstil RI Sritex (SRIL) Dihantam Utang. (Foto MNC Media)

IDXChannel – Pengadilan Negeri Kota Semarang secara resmi menetapkan status pailit PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex. Ketetapan ini didasarkan oleh Putusan Mahkamah Agung No. 1345 K/Pdt.Sus-Pailit/2024 tanggal 18 Desember 2024 yang menolak upaya kasasi perseroan.

Sehingga, status pailit raksasa tekstil Indonesia itu telah berstatus inkracht atau berkekuatan hukum tetap.

Presiden Prabowo Subianto pun meminta agar tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan Sritex.

"Pak Presiden minta memang tidak akan ada PHK, dan tidak akan kita biarkan terjadi PHK," kata Menteri Ketenagakerjaan Yassierli di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (29/10/2024).

Yassierli menyebut bahwa pemerintah ingin Sritex tetap berproduksi seperti biasa dan kesejahteraan para karyawan tetap terjaga.

Bahkan, kata Yassierli, Prabowo meminta jajaran kabinetnya untuk menyelamatkan nasib Sritex karena perusahaan milik keluarga Lukminto tersebut masuk sektor padat karya.

"Itu salah satu tentu (padat karya). Temen-temen juga paham kita ini berada di awal pemerintahan. Tentu kita ingin starting-nya (memulainya) ini baik," kata Yassierli.

Selain ingin memberikan awalan yang baik, kata Yassierli, untuk memberikan sinyal kepada para perusahaan bahwa pemerintah hadir bagi pelaku usaha dan pekerja.

"Kita ingin memberi sinyal ke perusahaan bahwa kami dari pemerintah hadir dan tidak akan membiarkan isu macam-macam membuat ekonomi bermasalah, dan karyawan itu jadi terganggu," katanya.

Profesor ITB itu juga memastikan SRIL masih beroperasi seperti biasa. Dia telah meminta Wakil Menteri Ketenagakerjaan Emanuel Ebenezer untuk memantau langsung perkembangan di Sritex.

"Jadi mohon tidak ada isu tentang PHK ya teman-teman, kemarin kita sudah pastikan produksi masih berjalan, karyawan senang dan kita optimis akan ada solusi untuk Sritex," ujar Yassierli.

Komisaris Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto pun membantah isu pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sejumlah karyawannya. Emiten tekstil terbesar di Indonesia ini mengklaim hanya meliburkan 2.500 karyawan.

“Saat ini Sritex tidak melakukan PHK, satu orang pun. Sritex tidak melakukan PHK dalam status kepailitan ini, tetapi Sritex telah meliburkan sekitar 2.500 karyawan,” ujar Iwan saat konferensi pers di Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta Selatan, Rabu (13/11/2024).

Ekonom Institut For Development of Economics and Finance (Indef) Eisha M Rachbini menilai kondisi Sritex sebagai pemain tekstil terbesar di Indonesia belakangan kalah saing dengan terpaan produk tekstil serupa yang masuk lewat jalur impor. Hal ini membuat pangsa pasar Sritex tergerus hingga berdampak pada kinerja keuangan perseroan.

Jika menilik laporan keuangan perseroan kuartal II-2024, posisi aset Sritex per 30 September 2024 (unaudited) senilai USD594,02 juta atau setara Rp9,62 triliun (kurs Rp16.200 per USD). Bahkan, jumlah aset ini tidak sampai setengahnya dengan tanggungan finansial (liabilitas) atau utang Sritex secara keseluruhan, baik jangka pendek maupun panjang senilai Rp26,15 triliun.

Pada kuartal III-2024, utang jangka pendek Sritex sebesar Rp2,16 triliun. Tanggungan kewajiban finansial ini termasuk di dalamnya utang bank jangka pendek Rp203,74 miliar, utang usaha jangka pendek senilai Rp878miliar, utang pajak Rp304,29 miliar, beban akrual alias pengeluaran yang belum dibayar Rp304,68 miliar, utang pembayaran upah pekerja Rp2,19 miliar, utang pembayaran sewa Rp38,01 miliar, utang bank jatuh tempo 1 tahun Rp115,04 miliar, pembayaran surat utang jangka menengah Rp80,97 miliar, dan liabilitas lancar lainnya Rp240,14 miliar.

Sedangkan jumlah jangka panjang Sritex posisi 30 September 2024 sebesar USD1,48 miliar atau setara Rp23,98 triliun. Beban tanggungan yang harus dibayarkan perseroan ini terdiri dari tunggakan kontrak sewa (dikurangi jatuh tempo satu tahun) Rp517,60 miliar, utang bank jangka panjang Rp13,43 triliun, surat utang jangka menengah Rp222,29 miliar, obligasi-neto Rp6,07 triliun, utang pemegang saham Rp151,57 miliar, utang imbalan pasca kerja (pensiun pekerja) Rp351,76 miliar, pajak tangguhan-neto Rp570,56 miliar, utang usaha jangka panjang pihak ketiga Rp1,10 triliun, dan liabilitas lancar lainnya Rp1,55 triliun.

“Kita tahu beberapa tahun belakangan ini terjadi perang dangan China dan Amerika, dan semakin terbukanya pasar (domestik), banyak produksi tekstil China membanjiri pasar domestik. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mendukung industri tekstil, dari sisi produktivitas, misal insentif investasi pada sektor prioritas (termasuk industri tekstil,” ujar Eisha saat dihubungi IDXChannel, dikutip Selasa (24/12/2024).

Menurutnya, kalah saing industri tekstil di RI sendiri disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya masalah upah pekerja yang tinggi, hingga penggunaan teknologi industri yang kurang memadai untuk menunjang aktivitas industri. Kondisi ini membuat Indonesia tertinggal dari Vietnam atau China dalam hal efisiensi biaya produksi.

Internasional Textile Manufacturing Federation (ITMF) sendiri telah melakukan penelitian tentang total production cost TPT di beberapa negara produsen dan eksportis pada tahun 2021. Hasilnya, negara India menggungguli hampir semua negara dengan biaya produksi terdendah dari sisi bahan baku dan upah. Vietnam unggul sebagai negara dengan biaya terendah untuk komponen energi dan bunga modal. Pakistan dan Bangladesh juga unggul dalam hal biaya upah yang rendah.

“Sementara kalau kita lihat industri tekstil dalam negeri menghadapi biaya tinggi, ketergantungan bahan baku impor, juga kurangnya penggunaan modal dengan teknologi tinggi,” kata Eisha.

Di kesempatan lain, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesa (API) Jemmy Kartiwa mengungkapkan beberapa faktor yang membuat industri tekstil seperti Sritex terlilit utang. Mulai dari penurunan daya beli masyarakat sebagai dampak lanjutan pandemi Covid-19, ketidakstabilan ekonomi yang menekan permintaan tekstil global, hingga persaingan produk impor yang masuk ke pasar dalam negeri.

Belum lagi, menurutnya, situasi geopolitik yang menyulut konflik Rusia-Ukraina menyebabkan terganggunya rantai pasok. Hal ini memberikan efek domino ketika negara penghasil tekstil menjadi kelebihan pasokan dan akhirnya mencari pasar baru untuk berjualan, terutama negara-negara yang belum tertutup jalur perdagangannya, seperti Indonesia.

“Jadi export market pun terganggu, tidak luput USA dan negara-negara di Uni Eropa. Ini membuat negara produsen tekstil dunia, seperti China, menjadi kelebihan pasokan dan mencoba membanjiri produknya ke negara yang lemah dalam perlindungan market domestiknya, atau lebih dikenal istilah trade barier,” kata Jemmy.

Berdasarkan catatan Kementerian Ketenagakerjaan, setidaknya ada 50 ribu karyawan yang terdampak akibat status pailit Sritex. Wamenaker Immanuel Ebenezer Gerungan menyatakan pihaknya mengormati putusan MA, namun perusahaan tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak pekerja sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini menjadi prioritas utama dalam upaya melindungi kesejahteraan pekerja yang terdampak langsung akibat situasi tersebut.

Sebagian bagian dari perlindungan pekerja, pemerintah juga telah menyiapkan program Jaminanan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja yang terkena PHK Sritex. Program ini akan memebrikan manfaat berupa uang tunai, akses, pelatihan kerja, dan layanan informas lowongan kerja.

“Kami memahami situasi sulit yang dihadapi perusahaan, namun hal itu tidak boleh mengurangi kewajiban mereka terhadap pekerja. Hak-hak buruh seperti pembayaran pesangon, upah tertunda, dan program jaminan sosial harus tetap dipenuhi,” katanya melalui keterangan tertulis.

Jika melirik ke belakang, Sritex merupakan pabrikan tekstil tertua di Indonesia yang sudah didirkan sejak tahun 1978 berdasarkan akta notaris No.49 tanggal 22 Mei 1978. Akta pendirian perusahaan telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman RI dalam surat Keputusan No. 02-1830-HT01.01.Th.82 tanggal 16 Oktober 1982 dan telah diumumkan dalam berita negara No.95 Tambahan No.1456 tanggal 28 November 1986.

Perusahaan induk langsung adalah PT Huddleston Indonesia (dahulu PT Busana Indah Makmur) dan perusahaan pemegang saham terakhir adalah Kantaras Invesment Ptc.Ltd., Singapura. Selanjutnya pada 7 Juni 2013, Sritex telah mencacatkan seluruh sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sehubungan dengan pencatatan sahamnya, perseroan menerbitkan sebanyak 5.600.000.000 lembar saham dengan nominal Rp100 per saham.

(Dhera Arizona)

SHARE