Ancaman Resesi Mereda, Pilpres dan Geopolitik Jadi Tantangan Utama Ekonomi AS
Makin banyak ekonom dan analis bisnis optimistis Amerika Serikat (AS) dapat mengindari resesi.
IDXChannel - Makin banyak ekonom dan analis bisnis optimistis Amerika Serikat (AS) dapat mengindari resesi. Mereka lebih khawatir dengan faktor politik seperti pemilihan umum (pemilu) di AS dan potensi konflik di Selat Taiwan dan Timur Tengah.
Menurut survei dari National Association of Business Economics (NABE) yang dirilis pada Senin (12/2/2024), hanya seperempat ekonom dan analis bisnis yang memperkirakan Negeri Paman Sam akan jatuh ke dalam resesi tahun ini.
Setahun yang lalu, sebagian besar dari mereka memprediksi AS, perekonomian terbesar di dunia, akan tergelincir ke dalam resesi karena Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuannya secara signifikan sejak awal 2022.
The Fed menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 11 kali dari Maret 2022 hingga Juli 2023, mencapai level tertinggi dalam lebih dari dua dekade.
Inflasi telah turun dari puncaknya 9,1% pada Juni 2022 menjadi 3,4% pada Desember 2023. Namun, perekonomian AS secara tak terduga terus tumbuh dan lapangan kerja tetap tangguh meskipun biaya pinjaman lebih tinggi.
Mayoritas ekonom memperkirakan inflasi tahun-ke-tahun akan melebihi 2,5% tahun ini,masih di atas target Federal Reserve sebesar 2%.
“Panelis lebih optimistis terrkait prospek perekonomian,” kata Sam Khater, kepala ekonom di raksasa hipotek Freddie Mac dan ketua komite survei kebijakan ekonomi asosiasi tersebut, dilansir dari AP.
The Fed telah berhenti menaikkan suku bunga dan memberi isyarat potensi penurunan suku bunga berkali-kali tahun ini.
Hal yang mengkhawatirkan para responden adalah kemungkinan terjadinya konflik antara China dan Taiwan. Konflik yang luas di Timur Tengah juga dikhawatirkan mendorong harga minyak dan mengganggu pengiriman global.
Di dalam negeri, mayoritas responden khawatir dengan ketidakstabilan politik di AS sebelum atau sesudah pemilihan presiden (Pilpres) pada 5 November. Para responden juga semakin khawatir mengenai kondisi fiskal Pemerintah AS. (WHY)