ECONOMICS

Antisipasi Mandatori B50, Bahlil Ingin Manfaatkan DMO Sawit

Iqbal Dwi Purnama 14/10/2025 14:44 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meyakini kebijakan mandatori B50 akan mendongkrak kebutuhan CPO di dalam negeri.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meyakini kebijakan mandatori B50 akan mendongkrak kebutuhan CPO di dalam negeri. (Foto: iNews Media/Iqbal Dwi)

IDXChannel - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meyakini kebijakan mandatori B50 akan mendongkrak kebutuhan CPO di dalam negeri. Oleh karena itu, beberapa opsi tengah dipikirkan untuk mengatasi potensi lonjakan permintaan tersebut. 

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia mengatakan, saat ini terdapat tiga opsi untuk mengantisipasi mandatori B50 dalam kaitannya menjaga suplai CPO di dalam negeri. Pertama, intensifikasi lahan yang ada. Kedua, pembukaan lahan baru dan ketiga, mengurangi ekspor CPO.

"Sekarang ini kan kalau B50 berarti kan penambahan kebutuhan CPO. Nah kalau penambahan kebutuhan CPO, ada tiga konsepnya untuk memenuhi. Pertama, intensifikasi lahan, yang kedua adalah buka lahan baru, dan yang ketiga adalah memangkas sebagian yang kita ekspor," ujarnya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (14/10/2025).

Bahlil mengatakan, opsi terakhir lebih menarik dibandingkan dua opsi pertama. Dia mengaku ingin membatasi ekspor CPO lewat mekanisme Domestic Market Obligation (DMO) sawit. Namun, rencana ini baru opsi alias belum final.

"Nah kalau alternatif ketiga yang dipakai, memangkas sebagian ekspor, maka salah satu opsinya adalah mengatur antara kebutuhan dalam negeri dan luar negeri. Itu di dalamnya adalah salah satu instrumennya DMO," sambungnya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa memproyeksikan proyek B50 ini membutuhkan sekitar 5-6 juta ton CPO setiap tahunnya. Sementara itu, produksi CPO di dalam negeri terus menyusut, terutama pada 2024 yang sebesar 29,5 juta ton dari 2023 sebesar 32,2 juta ton.

"Kalau ini berkurang, artinya mungkin kira-kira 30 persen ekspor CPO kita akan turun, karena produksi CPO kita stagnan. Kalau ekspor berkurang berarti penerimaan pajak ekspor itu juga berkurang," kata Fabby saat dihubungi IDX Channel.

Menurutnya, penerapan biodiesel memang memungkinkan untuk menekan impor bahan bakar fosil. Namun, kata dia, pemerintah perlu memperhatikan dampak lebih jauh, terutama kapasitas produksi dan potensi penurunan pendapatan negara akibat ekspor yang berkurang.

Dia khawatir ketika CPO digunakan sebagai alternatif bahan bakar, maka akan membentuk harga keekonomian baru di pasar. Semisal harga CPO sedang tinggi, maka konsumsi minyak nabati bisa beralih ke alternatif lain dan pada akhirnya Indonesia kehilangan sebagian pasarnya.

"Ketika nanti harga CPO naik terus, harganya semakin mahal, pengguna itu kan bisa melirik ke alternatif bahan bakar nabati yang lain: minyak kedelai, minyak jagung, sunflower oil (minyak bunga matahari) kalau di Eropa," katanya.

>

(Rahmat Fiansyah)

SHARE