ECONOMICS

APBN 2025: Tantangan Fiskal di Tahun Perdana Kepemimpinan Prabowo-Gibran

Nia Deviyana 08/01/2025 21:40 WIB

Ketidakpastian ekonomi global dan tantangan domestik akan menentukan pelaksanaan anggaran di tahun ini.

APBN 2025: Tantangan Fiskal di Tahun Perdana Kepemimpinan Prabowo-Gibran. Foto: MNC Media.

IDXChannel - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2025 memiliki sejumlah tantangan mengingat ini menjadi tahun pertama kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka

Ketidakpastian ekonomi global dan tantangan domestik akan menentukan pelaksanaan anggaran di tahun ini.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, setidaknya terdapat empat risiko yang akan memengaruhi APBN 2025. Pertama, suku bunga global yang masih tinggi yang dipicu Inflasi di sektor jasa.

"Global environment masih sangat tidak pasti meskipun kita melihat ada suatu pola yang berulang," kata Sri Mulyani saat konferensi pers RAPBN 2025 di kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (16/8/2024).

Kemudian, tensi geopolitik masih terus memanas antara Amerika Serikat (AS) dan China, lalu proteksionisme, konflik di Timur Tengah yang makin memburuk, perang Rusia-Ukraina, hingga rentannya rantai pasok.

Risiko ketiga, pertumbuhan ekonomi global diproyeksi masih akan lemah dipicu kemungkinan resesi dan tekanan fiskal di AS, perlambatan ekonomi di China, serta pemulihan ekonomi di Eropa.

Risiko keempat yaitu gejolak pasar keuangan, yang dipengaruhi oleh tingginya volatilitas nilai tukar dan imbal hasil surat utang negara, asset repricing, serta volatilitas arus modal internasional.

Adapun dari sisi domestik juga memberikan tantangan pada pengelolaan APBN 2025. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memproyeksi risiko pembengkakan APBN 2025 hingga Rp158,21 triliun akibat bertambahnya jumlah Kementerian/Lembaga di Kabinet Prabowo-Gibran, dari sebelumnya 34 kementerian menjadi 48 kementerian.

Peningkatan anggaran tersebut muncul berdasarkan asumsi konservatif bahwa ekspansi kabinet akan meningkatkan aktivitas dan anggaran sebesar 5 hingga 20 persen.

"Anggaran belanja Pemerintah Pusat diestimasi meningkat sekitar Rp39,55 triliun hingga Rp158,21 triliun di 2025, atau meningkat sekitar 4 persen hingga 15,8 persen dari total anggaran belanja dalam APBN 2025," tulis LPEM FEB UI dalam Indonesia Economic Outlook 2025.

Cakupan estimasi mencakup dua komponen, yaitu peningkatan belanja personel dan barang dari Pemerintah Pusat.

Estimasi ini mencakup berbagai subkomponen dalam belanja personel dan barang, seperti belanja gaji dan tunjangan, pensiun, hingga belanja perjalanan dinas.

Dengan jumlah 48 kementerian, kabinet saat ini merupakan yang terbesar dalam 58 tahun terakhir. Terakhir kali jumlah kabinet lebih besar dari 48 kementerian adalah pada tahun terakhir era pemerintahan Presiden Soekarno yaitu kabinet Dwikora III pada 1966 dengan jumlah kementerian mencapai 79.

Pemerintah menargetkan total belanja negara pada 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun, yang terdiri dari Belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.701,4 triliun dan Transfer ke Daerah sebesar Rp919,9 triliun.

Sementara itu, Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) pada 2025 ditargetkan mencapai Rp1.160,1 triliun. 

Adapun untuk pendapatan negara dalam APBN 2025 ditargetkan sebesar Rp3.005,1 triliun, terdiri dari Penerimaan Perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp513,6 triliun.

Sri Mulyani mengakui target ini cukup ambisius, namun masih realistis asalkan laju pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. 

"Ini adalah untuk pertama kali pendapatan negara mencapai dan menembus di atas Rp3.000 triliun," ujar Sri Mulyani dalam pengesahan UU APBN 2025, Kamis (19/9/2024).

Menkeu mengatakan target penerimaan perpajakan 2025 akan ditopang oleh reformasi perpajakan, perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan wajib pajak, dan mulai berjalannya sistem CoreTax dan sistem perpajakan yang kompatibel dengan perubahan struktur perekonomian dan arah kebijakan perpajakan global. 

Meski begitu, pemerintah tetap mewaspadai berbagai tantangan seperti pergeseran sektor manufaktur ke sektor jasa sehingga mendorong peningkatan sektor informal yang belum sepenuhnya tertangkap pada sistem perpajakan.

Sementara untuk PNBP, pemerintah mengakui terdapat sejumlah tantangan seperti fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap USD dan harga minyak bumi (ICP), optimalisasi lifting migas, moderasi Harga batu bara dan CPO, implementasi Automatic Blocking System (ABS) dan SIMBARA sektor minerba, hingga kinerja BUMN.

Untuk meningkatkan PNBP, pemerintah telah menyusun strategi, di antaranya dengan mengoptimalisasi dividen BUMN melalui perbaikan kinerja dan efisiensi BUMN hingga pemanfaatan barang milik negara (BMN).

"PNBP juga sebagai instrumen regulatory untuk mendorong ekonomi mendukung dunia usaha serta meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat," ujar Sri Mulyani.

(NIA DEVIYANA)

SHARE