ASEAN Berpotensi Kehilangan 35 Persen PDB Imbas Krisis Iklim
Kawasan Asia Tenggara, rentan dengan perubahan iklim yang harus bisa diatasi oleh seluruh negara di dunia.
IDXChannel - Laporan terbaru forum antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang dirilis April,
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, António Guterres memberikan penilaian yang tajam tentang kemajuan global dalam mengatasi perubahan iklim. Hal itu diungkapkan dalam Laporan terbaru forum antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC).
Kawasan Asia Tenggara, kata dia, perubahan iklim menjadi masalah penting yang harus bisa diatasi oleh seluruh negara di dunia.
"Wilayah Asia Tenggara sangat rentan terhadap perubahan iklim, mulai dari degradasi lingkungan, cuaca yang tidak menentu, bencana alam, naiknya permukaan air laut, dan kebakaran hutan yang mengakibatkan hancurnya habitat hewan dan tumbuhan," ujar dia dilansir Business Time, Senin (7/11/2022).
Peristiwa iklim ini memengaruhi sektor-sektor utama Asia Tenggara seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata. Asia Tenggara berisiko kehilangan lebih dari 35% produk domestik bruto (PDB pada 2050 akibat bencana iklim.
Dunia harus mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi nol emisi pada tahun 2050, yang menjadi target utama dalam membatasi kerusakan global yang disebabkan oleh perubahan iklim. Untuk melakukannya, diperlukan transformasi ekonomi global dari ekonomi yang ditenagai oleh bahan bakar fosil menjadi ekonomi yang terbarukan dan ramah lingkungan.
Namun, Asia Tenggara telah bergantung pada bahan bakar fosil untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melakukan urbanisasi dan industrialisasi dalam dua dekade terakhir. Eksploitasi bahan bakar fosil yang tidak diimbangi dengan penanggulangan dekarbonisasi dapat mengakibatkan masalah iklim dan lingkungan yang serius.
Transisi ke energi nol emisi untuk wilayah Asia Tenggara harus diawasi supaya memastikan proses yang berkelanjutan untuk pembangunan ekonomi dan bersamaan dengan mengganti teknologi emisi tinggi dengan alternatif emisi rendah atau bebas karbon. Asia Tenggara harus memberikan komitmen lingkungan yang menggabungkan keamanan energi serta kesetaraan dan kualitas ekonomi dan sosial.
Perlu ada kepemimpinan, kolaborasi, dan tindakan dari semua pemangku kepentingan untuk memastikan transisi ke energi nol emisi berjalan sukses.
Pertumbuhan eksponensial ekosistem ekonomi hijau di kawasan Asia Tenggara telah menunjukkan transisi ke ekonomi nol bersih adalah prioritas bagi pemangku kepentingan utama di Asia Tenggara. Ini bukan hanya tentang mengelola risiko lingkungan: dekarbonisasi adalah peluang bisnis yang menentukan generasi ke depannya.
Singapura dinilai memiliki peluang untuk memimpin transformasi ini dengan menyatukan pengusaha dan pemerintah di negara-negara ASEAN.
Singapura adalah rumah bagi cabang Asia-Pasifik dari Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), sebuah koalisi global lembaga keuangan terkemuka yang menjembatani kekhawatiran para investor global dengan kebutuhan saat ini di Asia Tenggara.
Salah satu fokus utama GFANZ adalah membentuk jalur net zero sektoral regional yang akan diakui oleh investor dengan mengikuti standar dan taksonomi yang telah ditetapkan.
Koalisi tersebut memberikan tolak ukur yang berguna bagi lembaga keuangan untuk membentuk investasi dan layanan keuangan mereka agar sejalan dengan transisi nol bersih di sektor-sektor tertentu, yang dapat menciptakan perubahan mendasar pada skala industri.
Ini akan membantu memungkinkan lebih banyak modal swasta yang disalurkan dari negara maju untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di kawasan ini dan memfasilitasi transisi yang adil ke nol bersih. (NIA)
Penulis: Ahmad Dwiantoro