ECONOMICS

BI Kerek Suku Bunga Lagi, Berharap ‘Cash is the King’ Lenyap

Maulina Ulfa - Riset 20/10/2022 17:21 WIB

Ada kecenderungan investor untuk menarik dananya dari emerging market dan menyimpannya dalam bentuk tunai atau biasa disebut cash is the king.

BI Kerek Suku Bunga Lagi, Berharap ‘Cash is the King’ Lenyap. (Ilustrasi)

IDXChannel - Bank Indonesia (BI) baru saja mengumumkan kenaikan suku bunga acuan atau BI 7-day Reverse Repo Rate (DRRR) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,75%.

Sementara, suku bunga deposit facility juga naik sebesar 50 bps menjadi 4% persen dan lending facility naik 50 bps menjadi 5,5% persen.

“RDG BI pada 19-20 Oktober 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7DRRR sebesar 50bps menjadi 4,75persen,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (20/10/2022).

Sebelumnya, pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) 21 September 2022, BI menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) naik sebesar 50 bps menjadi 4,25%.

Kemudian, suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 3,5%, dan suku bunga lending facility sebesar 50 bps menjadi 5%.

Perry ingin memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3±1% lebih awal pada paruh pertama 2023.

Sektor Perbankan Masih Aman

Di sektor perbankan, BI mengapresiasi kontribusi perbankan dalam mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional melalui peningkatan penyaluran kredit dan pembiayaan kepada dunia usaha, termasuk dengan menjaga suku bunga kredit tetap akomodatif.

"Dengan memperhatikan perkembangan tersebut serta upaya sinergis yang dilakukan otoritas, sektor keuangan, dan dunia usaha, maka pertumbuhan kredit pada 2022 diprakirakan berada pada kisaran 9 - 11% (yoy)," kata Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (20/10).

Menurutnya, ketahanan sistem keuangan, khususnya perbankan, tetap terjaga baik dari sisi permodalan maupun likuiditas.

Permodalan perbankan tetap kuat dengan rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) sebesar 25,12% pada Agustus 2022.

Selain itu, seiring dengan kuatnya permodalan, risiko tetap terkendali yang tercermin dari rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) tercatat 2,88% (bruto) dan 0,79% (neto) pada periode yang sama.

Likuiditas perbankan pada September 2022 tetap terjaga didukung oleh pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 6,77% (yoy), meskipun lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada Agustus 2022 sebesar 7,77%.

Hasil simulasi Bank Indonesia juga menunjukkan bahwa ketahanan perbankan masih terjaga. Namun, potensi dampak dari sejumlah faktor risiko, baik dari sisi kondisi makroekonomi domestik maupun gejolak eksternal, tetap perlu diwaspadai.

Waspadai ‘Cash is The King

BI juga mengungkapkan tekanan inflasi masih mendominasi perekonomian di sejumlah negara. Kondisi ini akan menyebabkan pasar keuangan global akan terus diwarnai ketidakpastian global hingga 2023.

Kondisi ini dikhawatirkan juga masih akan berdampak pada kondisi pasar keuangan Tanah Air. Salah satunya adalah kaburnya investor portofolio asing dari pasar Indonesia. Perry menyebutkan, fenomena cash is the king masih perlu untuk diwaspadai.

Cash is the king adalah fenomena para pelaku pasar lebih memilih memegang uang cash berbentuk dolar Amerika Serikat (AS).

“Ada risiko persepsi investor, yaitu kecenderungan investor untuk menarik dananya dari emerging market terutama investasi portofolio dan menyimpannya dalam bentuk tunai atau biasa disebut cash is the king,” imbuh Perry.

Kondisi ini didukung oleh meroketnya indeks dolar AS.  Menurut Perry, sepanjang tahun ini, indeks dolar AS melesat lebih dari 18%.

Pada perdagangan hari ini (20/10), indeks dolar AS masih berada pada angka 112,84 setelah sebelumnya menyentuh all-time high pada angka 114,188 pada 26 September lalu yang merupakan level tertinggi dalam lebih dari 20 tahun terakhir. (Lihat grafik di bawah ini)

 

Indeks Dolar (DXY)

Sumber: Trading View

Cash is the king tidak hanya diartikan para investor menyimpan dolar AS dalam bentuk tunai saja, melainkan juga bisa dalam bentuk tabungan atau instrumen investasi dalam bentuk dolar AS dengan likuiditas yang terjaga.

"Menguatnya mata uang dolar AS karena kenaikan Fed Fund Rate (FFR) memberikan tekanan berupa pelemahan atau depresiasi mata uang negara-negara emerging," ungkap Perry.

BI mencatat sejak awal Januari hingga 13 Oktober 2022 kemarin, dana asing yang kabur dari Indonesia atau keluar dari dalam negeri (outflow) sudah mencapai Rp170 triliun di Pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Kabar baiknya, di pasar saham Indonesia, masih diwarnai aksi beli neto dari asing senilai Rp60,64 triliun sepanjang tahun ini.

Hanya saja, menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), investor asing membukukan jual netto atau net sell dalam sepekan terakhir mencapai Rp1,89 triliun di pasar regular dan selama satu bulan melakukan net sell sebesar 8,08 triliun, berbarengan dengan anjloknya IHSG sepanjang periode yang sama.

Sebagai informasi, IHSG sempat merosot selama 6 hari beruntun pada pekan lalu, tepatnya 7 Oktober sampai 14 Oktober, sebelum rebound pekan ini. Sedangkan, dalam sebulan terakhir, IHSG masih minus 3,30 persen. 

Adapun kenaikan suku bunga acuan BI ini diharapkan dapat mendorong penguatan mata uang rupiah.

Kenaikan suku bunga diharapkan membuat modal asing masih mau masuk ke Indonesia karena investor akan tertarik dengan imbal hasil surat utang Indonesia yang menjadi menarik.

"Keputusan ini dilakukan dalam rangka memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai fundamental akibat kuatnya mata uang Dolar AS (USD) dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat," kata Perry. (ADF)

SHARE