BI Prediksi Fed Pangkas Suku Bunga Dua Kali di 2025
BI menurunkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate (7DRRR) menjadi 5,5 persen seiring pelonggaran moneter secara global.
IDXChannel - Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate (7DRRR) menjadi 5,5 persen. Penurunan suku bunga ini sejalan dengan pelonggaran moneter yang dilakukan banyak bank sentral di dunia.
Gubernur BI, Perry Warjiyo memperkirakan bank sentral AS, Federal Reserve (Fed) akan memangkas suku bunga acuan Fed Funds Rate (FFR) sebanyak dua kali pada 2025. Penurunan suku bunga kemungkinan besar dilakukan untuk merespons perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian ekonomi.
Oleh karena itu, Perry memprediksi Fed akan menurunkan suku bunga FFR pada akhir tahun, tepatnya pada September dan Desember 2025.
“Meskipun waktu pastinya masih belum pasti, kami melihat peluang besar bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga sebanyak dua kali tahun ini," kata Perry dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Mei 2025, Rabu (21/5/2025).
Menurut Perry, penurunan suku bunga secara global bakal menjadi angin segar bagi Indonesia. Aliran modal asing akan bergeser ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Investor global, kata dia, juga akan mengalirkan dananya ke instrumen-instrumen investasi yang lebih berisiko dari sebelumnya ke safe haven asset. Dengan kondisi ini, instrumen yang memberikan imbal hasil (return) yang tinggi menjadi daya tarik.
Selain itu, aliran modal asing ke Indonesia juga mulai terasa, tercermin dari kurs rupiah yang terus menguat terhadap dolar AS seiring melemahnya greenback dan intervensi yang dilakukan BI untuk menstabilkan mata uang Garuda.
“Kami melakukan intervensi di pasar non-deliverable forward (NDF) di Hong Kong, Eropa, dan Amerika, serta pasar spot di dalam negeri secara terus-menerus selama 24 jam untuk menjaga stabilitas nilai tukar," kata Perry.
Kendati demikian, BI tetap mengingatkan pentingnya kewaspadaan. Ketidakpastian global, seperti kesepakatan dagang sementara antara AS dan China yang hanya berdurasi 90 hari, masih menjadi faktor risiko utama.
(Rahmat Fiansyah)