ECONOMICS

BI Ramal Rupiah Perkasa di 2024, Bagaimana Efek The Fed?

Maulina Ulfa - Riset 17/01/2024 17:09 WIB

Bank Indonesia (BI) melihat kinerja rupiah akan menguat di 2024.

BI Ramal Rupiah Perkasa di 2024, Bagaimana Efek The Fed? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Bank Indonesia (BI) melihat kinerja rupiah akan menguat di 2024. Hal ini tercermin dari stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang tetap terjaga.

Menurut BI, mata uang Garuda hanya mengalami pelemahan sebesar 1,24 persen selama periode hingga 16 Januari 2024.

“Dari sisi fundamental, kondisi saat ini mendukung untuk mendorong kinerja rupiah, namun kondisi global masih belum dapat dipastikan,” ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil RDG Bulan Januari 2024, Jakarta, Rabu (17/1/2024).

Perry menegaskan, stabilitas nilai tukar rupiah terjaga di tengah kurs rupiah yang hingga 16 Januari 2024 relatif stabil dan hanya melemah 1,24 persen dari akhir Desember 2023. Per Rabu (17/1), rupiah melemah 0,33 persen terhadap USD di level Rp15.636 per dolar AS, menurut data Tradingview.

“Dengan kebijakan stabiliasai BI, serta kembali masuknya aliran portofolio asing sejalan dengan menariknya imbal hasil keuangan domestik dan tetap positifnya prospek ekonomi Indonesia," terang Perry

Menurutnya, perkembangan nilai tukar rupiah itu relatif lebih baik dibanding mata uang regional lainnya, seperti Ringgit Malaysia, Baht Thailand, dan Won Korea Selatan yang masing-masing melemah lebih besar, yakni 1,95 persen, 2,82 persen, dan 3,24 persen.

Melansir data Trading Economics Rabu (17/1/2024), kinerja rupiah terhadap USD sepanjang tahun lalu secara year on year (yoy) terdepresiasi 3,67 persen. Angka ini masih lebih baik dari Baht Thailand yang terdepresiasi 7,52 persen terhadap dolar AS. Posisi rupiah bahkan lebih kuat dibanding Ringgit Malaysia yang terdepresiasi 9,42 persen terhadap USD. (Lihat grafik di bawah ini.)

Sementara Yen Jepang mengalami penurunan kinerja hingga 14,66 persen terhadap USD sepanjang tahun lalu dan won Korea yang terdepresiasi 8,65 persen. Meski demikian, kedua mata uang Asia tersebut bukanlah yang berkinerja paling buruk.

Mata uang Lebanon menjadi mata uang dengan kinerja terburuk dan terus merosot terhadap dolar AS meskipun terdapat upaya pemerintah untuk menstabilkannya. Pound Lebanon (LBP) terdepresiasi mencapai 896,35 persen sepanjang 2023. Sedangkan mata uang Afghanistan menjadi mata uang Asia yang terapresiasi mencapai 17,99 persen terhadap USD.

Dampak Manuver The Fed

Sejumlah sentimen global tahun lalu berdampak pada volatilias kinerja rupiah sepanjang tahun lalu. Memasuki bulan kedua 2023, rupiah mengalami apresiasi karena spekulasi bahwa bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) akan bersikap lebih lunak terhadap suku bunga imbas inflasi yang terus melandai.

Namun, situasi global kembali berubah setelah pada bulan Maret serangkaian kebangkrutan bank di AS dan Eropa mendorong terjadinya krisis perbankan terbesar dalam dua dekade terakhir. Hal ini terpotret dalam kegagalan First Republic Bank, Silicon Valley Bank (SIVB, Silvergate Bank, dan Signature Bank (SBNY) menjadi kegagalan bank terbesar kedua, ketiga, dan keempat dalam sejarah AS, bahkan melampaui skala kegagalan tahun 2008.

Adanya krisis perbankan ini menyebabkan kepercayaan pasar terhadap sektor perbankan mengalami penurunan. Terlebih, pada Minggu (19/3/2023), The Fed bersama Bank Sentral Eropa (ECB) dan beberapa bank sentral besar lainnya mengumumkan koordinasi likuiditas internasional, dan mengakui adanya "ketegangan" di pasar finansial global.

Memasuki akhir tahun, rupiah terus tertekan terutama di periode September-Oktober di mana mata uang Garuda hampir tembus Rp16.000 per USD karena ketakutan peningkatan suku bunga. Hal ini didorong oleh kuatnya ekonomi AS didukung oleh konsumsi rumah tangga seiring dengan kenaikan upah dan penggunaan tabungan (excess savings).

Sementara inflasi di negara maju masih di level tertinggi karena berlanjutnya tekanan inflasi jasa, keketatan pasar tenaga kerja, dan meningkatnya harga minyak. Kondisi ini mendorong sejumlah bank sentral utama dunia tetap mempertahankan suku bunga tinggi dalam kebijakan moneter di negara maju dan berdampak pada meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.

Memasuki akhir tahun, sikap bank sentral AS, The Fed yang diramal akan memangkas suku bunga kian membuat pasar optimis. The Fed dilaporkan menahan suku bunga dalam pertemuan terakhirnya pada Desember 2023 dan diharapkan akan memangkas suku bunga pada Maret mendatang.

Namun, komentar terbaru Gubernur The Fed Christopher Waller pada Selasa (16/1) mengatakan bahwa dia yakin The Fed akan mampu menurunkan suku bunga tahun ini selama inflasi tidak pulih atau tetap tinggi.

Dia juga memperingatkan, waktu dan jumlah pemangkasan suku bunga sebenarnya akan bergantung pada data.

“Dengan aktivitas ekonomi dan pasar tenaga kerja dalam kondisi yang baik dan inflasi turun secara bertahap menjadi 2 persen, saya tidak melihat alasan untuk mengambil tindakan secepat atau memotong secepat di masa lalu,” kata Waller dalam pidatonya di Brookings Institution di Washington.

Menanggapi hal ini, BI memproyeksikan siklus kenaikan suku bunga kebijakan moneter negara maju, termasuk Fed Funds Rate (FFR) telah berakhir meskipun masih bertahan tinggi pada semester I-2024, dengan kemungkinan akan mulai menurun pada semester II-2024.

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, suku bunga The Fed berpotensi turun pada semester II tahun ini dari sebelumnya dua kali menjadi tiga kali penurunan sampai 75 basis poin (bps).

"Bacaan-bacaan kami tentu saja lebih mendasarkan pada assessment ekonomi Amerika, kemudian juga kondisi tenaga kerja, dan inflasi core PCE Amerika, serta hasil resmi dari FOMC," kata Perry dalam konferensi pers RDG BI di Jakarta, Rabu (17/1/2024).

Ke depan, BI mendukung kebijakan stabilisasi serta penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI dalam rangka menarik aliran masuk portofolio asing dan pendalaman pasar uang.

"Aliran modal asing dalam bentuk investasi portofolio ke pasar keuangan domestik terus berlanjut dengan net inflow hingga akhir 2023 tercatat sebesar USD5,4 miliar. Sementara periode Januari 2024, tepatnya hingga 15 Januari 2024, terjadi net inflow sebesar USD3 miliar," jelas Perry.

Perry juga optimis, ke depan nilai tukar rupiah akan tetap stabil dengan kecenderungan menguat didukung oleh meredanya ketidakpastian global, kecenderungan penurunan yield obligasi negara maju, dan menurunnya tekanan penguatan dolar AS. (ADF)

SHARE