ECONOMICS

BI Sebut Kenaikan UMP Tak Pengaruhi Inflasi, Waspada Pelemahan Daya Beli Tahun Depan

Maulina Ulfa - Riset 23/11/2023 17:15 WIB

Bank Indonesia (BI) buka suara terkait dengan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan dampaknya terhadap inflasi.

BI Sebut Kenaikan UMP Tak Pengaruhi Inflasi, Waspada Pelemahan Daya Beli Tahun Depan. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Bank Indonesia (BI) buka suara terkait dengan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan dampaknya terhadap inflasi.

Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam paparan hasil rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 November 2023 mengatakan, kenaikan upah buruh maupun ASN tak akan berdampak signifikan bagi inflasi.

“Kenaikan gaji ASN dan UMP akan mendorong permintaan, karena pendapatan masyarakat akan naik dan pertumbuhan konsumsi akan naik tapi tingkat pertumbuhan dari permintaan masih dibawah kapasitas nasional, sehingga tidak terlalu mengganggu pencapaian inflasi,” ujar Perry.

Hal senada juga diperkuat dengan pernyataan Deputi Gubernur, Aida S. Budiman. Di acara yang sama, Aida menegaskan bahwa dampak kenaikan UMP tak akan berdampak banyak bagi inflasi.

“Jika kenaikan UMP hanya 5 persen maka dampaknya ke inflasi hanya 0,04 persen,” kata Aida.

Mewaspadai Pelemahan Daya Beli

Sementara, riset CGS-CIMB Sekuritas Indonesia menyatakan, hasil kenaikan upah minimum yang telah dimumkan pada 21 November lalu menyiratkan lemahnya pertumbuhan daya beli pada tahun depan.

“Dari 28 dari 34 provinsi yang telah mengumumkan upah minimum 2024, kenaikan rata-rata sejauh ini adalah 3,6 persen, setengah dari perhitungan 2023 dan seperempat dari permintaan serikat pekerja. Hal ini juga disertai dengan kesenjangan yang besar antar provinsi, berkisar antara 1,2 persen-7,5 persen. Kenaikan untuk DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur masing-masing sebesar 3,4 persen, 3,6 persen, 4 persen, dan 6,1 persen.

CGS-CIMB Sekurita Indonesia menyebutkan, angka-angka ini berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2023 yang menetapkan rumusan upah minimum sebagai berikut: inflasi + (pertumbuhan ekonomi x alpha) dimana alpha adalah koefisien yang berkisar antara 10 persen hingga 30 persen.

Hal ini menunjukkan lemahnya pertumbuhan daya beli pada 2024. Dengan asumsi yang disederhanakan bahwa semua pekerja mendapat upah minimum, peningkatan daya beli pada tahun 2024 akan mencapai Rp325 triliun atau 1,45 persen dari PDB.

“Ditambah dengan perkiraan kami sebelumnya mengenai kenaikan gaji pegawai pemerintah, yang setara dengan 0,08 persen PDB, maka totalnya adalah 1,53 persen PDB,” tulis riset tersebut.

Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian terhadap konsumsi pasca pemilu pada semester kedua 2024 dan kemungkinan pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah secara keseluruhan pada tahun depan.

Di sisi lain, dari 34 provinsi yang sudah mengumumkan kenaikan UMP 2024, keempat provinsi di pulau Jawa masih memiliki nilai UMP di bawah Rp2,5 juta.

Provinsi tersebut di antaranya DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, hingga Jawa Tengah yang masuk ke dalam jajaran provinsi dengan nilai UMP terendah di tahun depan.

Pertama, Jawa Timur menduduki peringkat pertama UMP terendah di pulau Jawa. UMP Jawa Timur ditetapkan naik sebesar 6,13 persen atau sebesar Rp 125.000. Artinya, UMP Jatim 2024 menjadi Rp 2.165.244,30, yang sebelumnya tahun 2023 sebesar Rp 2.040.244,30. 

Di urutan kedua, DI Yogyakarta menjadi provinsi dengan upah minimun terendah. Tidak kaget, mengingat Yogyakarta selama ini menjadi sorotan warganet karena upah yang dianggap terlalu rendah.

Jawa Barat dan Jawa Tengah juga masuk dalam jajaran kota dengan nilai UMP rendah masing-masing hanya mencapai Rp2.057.495 dan Rp2.036.947.

Nilai UMP empat provinsi di pulau Jawa ini terasa ironis di tengah pertumbuhan ekonomi pulau Jawa yang kuat.

Menurut BPS, secara spasial, perekonomian Indonesia pada periode tersebut di hampir seluruh provinsi mengalami pertumbuhan yang melambat.

Meski demikian, provinsi di Pulau Jawa menjadi penyumbang perekonomian terbesar dengan kontribusi sebesar 57,12 persen dan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 4,83 persen yoy.

Selain itu, berdasarkan sumber pertumbuhannya, konsumsi rumah tangga masih menjadi faktor pendorong dominan pertumbuhan ekonomi nasional. Kontribusi konsumsi rumah tangga setara dengan pertumbuhan sebesar 5,06 persen yoy dan sumbangannya ke total ekonomi sebesar 52,62 persen. Namun pertumbuhannya lebih rendah dari kuartal II-2023 sebesar 5,22 persen.

Sebelumnya, akhirnya BI memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 6 persen pada pengumuman hari ini, Kamis (23/11).

Suku bunga Deposit Facility juga ditahan di level 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility tetap di 6,75 persen.

Sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3,0±1 persen pada 2023 dan 2,5±1 persen pada 2024.

"Sementara itu, untuk mendukung ekonomi berkelanjutan kebijakan makroprudensial longgar diperkuat dengan efektivitas penguatan implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dan menurunkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) untuk mendorong kredit pembiayaan bagi dunia usaha," ujarnya saat konferensi pers Kamis (23/11/2023).

BI juga menegaskan, kebijakan untuk menahan suku bunga saat ini berdasarkan perkiraan inflasi 2 tahun ke depan.

“Suku bunga saat ini tidak hanya melihat situasi saat ini, namun jangka panjang. Karena dampak suku bunga terhadap inflasi bisa mencapai 4 sampai 6 kuartal,” imbuh Perry.

Perry menambahkan, keputusan suku bunga ini konsisten stabilisasi nilai tukar Rupiah dari dampak meningkat tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor (imported inflation).

“Inflasi saat ini rendah dengan pertumbuhan yang cukup baik, namun perlu melihat inflasi secara global. Risiko imported inflation yakni harga energi dan pangan serta besarnya depresiasi nilai tukar rupiah,” ujar Perry. (ADF)

SHARE