BI Tahan Suku Bunga, Ekonom: Rupiah Masih Melemah dan Capital Outflow Cukup Masif
BI masih mempertahankan suku bunga 5,75 persen. Namun, ekonom Bank Danamon menilai masih ada ruang untuk turunkan BI Rate di tengah rupiah melemah dan outflow.
IDXChannel - Bank Indonesia (BI) memutuskan mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) di level 5,75 persen. Hal itu untuk menjaga inflasi inflasi tetap terkendali serta dampaknya terhadap dunia usaha.
Ekonom PT Bank Danamon Tbk (BDMN), Rosianna Evalita Sitomorang menilai meskipun Indonesia sempat mengalami deflasi yang cukup dalam di awal tahun dengan minus 0,9 persen yoy, namun inflasi inti (core inflation) justru menunjukkan kenaikan.
"Posisinya per Februari tercatat di 2,48 persen di mana ini merupakan target dari bank central dan core inflation ini adalah suatu reflection, dari supply dan demand, berarti ketika core inflation yang naik, demand yang naik," katanya, Kamis (20/3/2025).
Menurut Rosianna, hal itu mencerminkan adanya peningkatan permintaan, terlebih karena faktor Ramadan, THR, dan adanya kenaikan upah minimum. Dari faktor tersebut, Rosianna menilaiBI sebenarnya memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kendati demikian, dia juga menekankan agar stabilitas nilai tukar rupiah tetap menjadi faktor yang harus dijaga. Saat ini, rupiah masih menunjukkan kinerja yang kurang baik dibandingkan mata uang lain di kawasan Asia.
"Karena baik secara psikis, maupun juga tadi, dari faktor panah outflow dari emerging ke aset-aset yang dianggap lebih aman ataupun ke negara-negara destinasi yang dikira lebih menarik, itu yang masih menjadi concern seiring antisipasi terhadap perang dagang ini karena baik di global, maupun juga di kawasan Asia ya, ini dampak dari penerapan tarif ini merupakan suatu concern yang paling utama," kata dia.
Rosianna juga mencatat dalam beberapa waktu terakhir, pasar keuangan Indonesia mengalami arus keluar modal yang cukup besar. “Kita melihat outflow yang cukup masif, hampir mencapai USD1,5 miliar di pasar ekuitas. Sayangnya, ini belum dapat dikompensasi dengan arus modal masuk ke instrumen obligasi,” tuturnya.
(Febrina Ratna Iskana)