Biodiesel B35 Resmi Diketok, Risiko Kekurangan Stok Sawit dan Subsidi Bengkak Mengintai
Perjalanan penerapan kebijakan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang digagas pemerintah memasuki babak baru.
IDXChannel - Perjalanan penerapan kebijakan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang digagas pemerintah memasuki babak baru.
Pemerintah secara resmi menerapkan penggunaan biodiesel B35 mulai 1 Februari 2023.
Dalam program Market Review, Rabu (11/1/2023), Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Edi Wibowo mengatakan, pihaknya melakukan persiapan program tersebut sejak akhir September 2022 melalui berbagai regulasi pendukung.
Ia berharap per 1 Februari 2023, program B35 ini sudah bisa diterapkan karena dari kapasitas produksi Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU-BBN).
"Kita harapkan mulai pertengahan Januari atau akhir Januari sudah dikirim sehingga per 1 Februari 2023 sudah bisa dicampur dengan B35 tadi," pungkasnya.
Peningkatan campuran minyak sawit ke dalam solar yang kemudian menjadi biodiesel ini menjadi langkah agresif bagi pemerintah di kala Indonesia baru saja mengalami kelangkaan minyak goreng di tahun lalu.
Selama ini, blending biodiesel sudah menyerap banyak sekali konsumsi crude palm oil (CPO) untuk kebutuhan energi.
Kilas Balik Realisasi Program Biodiesel
Desember 2019 merupakan periode dimulainya program implementasi Biodiesel 30 (B30) di Tanah Air. Seperti diketahui, selama ini solar yang dijual di SPBU merupakan campuran antara solar murni dan minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) yang kemudian dikenal secara luas sebagai biosolar.
Pemerintah Indonesia menetapkan program blending rate sebesar 30% minyak sawit untuk dicampur ke dalam 70% solar.
Dengan program ini, Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan pemanfaatan campuran biodiesel hingga takaran 30%. Mengutip website Kementerian ESDM, program mandatori biodiesel sudah mulai diimplementasikan sejak 2008 dengan kadar campuran biodiesel sebesar 2,5%.
Secara bertahap, kadar biodiesel campuran minyak sawit ini meningkat hingga 7,5% pada 2010. Pada periode 2011 hingga 2015, persentase campuran biodiesel kembali ditingkatkan dari 10% menjadi 15%. Selanjutnya pada tanggal 1 Januari 2016, pencampuran kadar biodiesel akhirnya mencapai hingga 20% (B20).
Program mandatori biodiesel selama ini didukung melalui pemberian insentif dari BPDPKS untuk sektor public service obligation (PSO). Dan mulai 1 September 2018 pemberian insentif diperluas ke sektor non-PSO.
Pemerintah berdalih, program biodiesel merupakan upaya dalam mewujudkan energi yang lebih ramah lingkungan melalui bahan bakar nabati (BBN). Di berbagai negara, program biosolar memang dicanangkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.
Eropa selama ini menjadi percontohan penggunaan biodiesel untuk bahan bakar. Namun demikian, dalam Proyeksi Pertanian 2021-2031, Komisi Eropa memperkirakan penggunaan biodiesel di Uni Eropa akan turun 24% menjadi 14,3 miliar liter pada 2031 setelah mencapai puncaknya pada 2023 dengan 18,9 miliar liter.
Mengutip DW, Eropa berdalih, penurunan konsumsi biodiesel sebagian besar akan memengaruhi penggunaan minyak sawit karena kriteria keberlanjutan yang lebih ketat.
Di bawah kebijakan energi terbarukan Uni Eropa, bahan bakar berbasis minyak sawit akan dihapus secara bertahap pada tahun 2030, karena minyak sawit diklasifikasikan sebagai penyebab deforestasi yang berlebihan.
Terbalik, penggunaan minyak sawit untuk biodiesel di Indonesia ditaksir sebesar 15% dari total produksi sawit nasional yang mencapai 48,09 juta ton pada 2021. Memasuki 2022, pemakaian minyak sawit untuk biodiesel diprediksi menjadi 17%.
Mengutip website Gapki, pada 2022, diperkirakan alokasi penyaluran B30 saja bakal mencapai 10,15 juta kiloliter. Namun, kementerian ESDM menambah alokasi volume produksi biodiesel dari yang sebelumnya 10,15 juta kilo liter (KL) menjadi 11,02 juta KL.
Perubahan itu tertuang dalam Keputusan Menteriu ESDM Nomor 160.K/EK.05/DJE/2022 tentang Perubahan kedua atas Kepmen ESDM nomor 150.K/EK.05/DJE/2021 tentang Penetapan Badan Usaha BBM dan Badan Usaha BBN jenis Biodiesel Serta Alokasi Volume.
Di saat negara lain sedang menuju pada penghentian penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku energi, Indonesia justru mengarah sebaliknya.
Program blending biodiesel diproyeksikan akan terus berlanjut. Bahkan akan mencapai pencampuran 100% menjadi B100.
Risiko Peningkatan Blending Biodiesel
Pemerintah Indonesia bisa dikatakan ambisius menjadikan biodiesel sebagai bahan bakar nabati pengganti solar murni. Namun, mendorong pengembangan biodiesel secara besar-besaran bukan berarti tanpa risiko.
Sebelum menetapkan B35, pemerintah menargetkan peningkatan blending hingga ke level B50 bahkan ditargetkan mencapai B100.
Pada akhir 2019 lalu, Presiden Joko Widodo ingin kebijakan B50 atau mencampur 50% minyak sawit ke dalam solar berlaku pada akhir 2020. Padahal, program B30 masih baru dieksekusi pada awal 2020.
Peningkatan campuran CPO ke biodiesel ini justru menimbulkan beberapa risiko seperti perluasan lahan perkebunan sawit, kekurangan pasokan CPO, dan beban APBN yang membengkak akibat subsidi yang ditanggung pemerintah.
Hal ini diperkuat, studi LPEM UI pada 2021 lalu yang menemukan perbedaan target campuran kebijakan blending biodiesel secara alamiah akan berpengaruh pada perbedaan kebutuhan CPO.
Dalam skenario yang dihitung oleh LPEM UI, campuran B30 yang dimulai pada 2020 akan menimbulkan akumulasi defisit CPO sebanyak 40 juta ton hingga 2025.
Di lain kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di akhir 2019 lalu mengatakan peremajaan lahan sawit menjadi kunci kepastian pasokan kelapa sawit, utamanya sebagai bahan baku utama biodiesel.
Pengembangan BBN ini kata Luhut akan berhenti di B50 jika tingkat produktivitas tandan buah segar (TBS) atau yield lahan perkebunan kelapa sawit sebesar 41% tidak bisa diperbaiki.
Sementara itu, dampak lingkungan perkebunan sawit selama ini menjadi perhatian banyak pihak.
Menurut LPEM UI, meskipun kelapa sawit merupakan salah satu komoditas ekspor utama Indonesia, tetapi sayangnya, komoditas ini juga dianggap bertanggung jawab atas kasus deforestasi, degradasi hutan, serta kebakaran lahan yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir.
Perkebunan monokultur ini tidak hanya berdampak pada pelepasan emisi karbon, tetapi juga kerusakan habitat yang menyebabkan penurunan populasi hewan langka juga spesies pohon yang seharusnya dilindungi, seperti orang utan dan harimau Sumatera, dan kualitas jasa lingkungan.
Beberapa penelitian menemukan dibutuhkan waktu lebih dari 85 tahun untuk ‘membayar’ emisi karbon yang hilang akibat konversi lahan hutan hujan tropis untuk menjadi perkebunan kelapa sawit.
Dalam hal ini, industri sawit RI menghadapi tantangan ganda baik dari risiko kekurangan pasokan sawit hingga dampak lingkungan yang mungkin akan berdampak pada program mandatori biodiesel di tahun mendatang.
Risiko Boncos Anggaran Subsidi
Selain mengancam pasokan CPO dalam negeri, perluasan program mandatori biodiesel juga berpotensi membebani anggaran subsidi yang digelontorkan pemerintah.
Selama ini Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyalurkan dana subsidi untuk program biodiesel ke sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang ini.
BPDPKS ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 113/PMK.01/2015 tanggal 11 juni 2015.
Badan ini diamanatkan melaksanakan Pasal 93 UU No.39/2014 tentang Perkebunan yakni menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan atau lebih dikenal dengan CPO Suppoting Fund (CSF) yang akan digunakan sebagai pendukung program pengembangan biodiesel.
Subsidi biodiesel terdiri dari dua komponen yang berasal dari subsidi solar dan subsidi atau insentif biodiesel murni (FAME).
Subsidi solar merupakan subsidi dari bahan bakar jenis solar yang nilai maksimumnya ditentukan oleh pemerintah dalam 1 tahun fiskal dan pendanaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sementara sejak 2015, BPDPKS memberikan dukungan subsidi FAME yang bertujuan mengimbangi kesenjangan harga antara biodiesel dan solar dan diberikan kepada produsen biodiesel.
Insentif FAME dihitung berdasarkan selisih antara Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel dengan HIP Solar ditambah biaya transportasi atau ongkos angkut.
Pemerintah memperkirakan subsidi atau insentif tambahan untuk program mandatori B30 saja pada tahun lalu mencapai Rp46 triliun.
Perkiraan subsidi tersebut dengan asumsi volume penyerapan biodiesel atau dalam hal ini Fatty Acid Methyl Esters (FAME) 30% sebanyak 9,2 juta kilo liter (kl) dan selisih antara harga minyak sawit dan harga jual solar ke konsumen sekitar Rp 5.000 per liter.
Kenaikan harga minyak dunia akibat perang Rusia-Ukraina juga sempat membuat anggaran subsidi energi membengkak. Secara spesifik, harga jual solar subsidi sempat di level Rp 5.150/liter pada Maret 2022 lalu, ketika harga minyak dunia sedang mencapai all time high.
Sementara solar non subsidi (Dexlite) harganya Rp 12.950/liter. Otomatis, pemerintah harus mensubsidi Rp 7.800 dalam setiap liter solar murah.
Dalam APBN 2022, pemerintah hanya menetapkan subsidi solar Rp 5.000/liter sehingga Pertamina harus rela ‘nombok’ banyak.
Dalam hal ini, pemerintah harus melakukan subsidi dua kali jika ingin program blending biodiesel terus berjalan. Terlebih jika jumlah blending rate harus dinaikkan.
Pertama, subsidi untuk FAME melalui BPDP KS. Kedua, subsidi untuk harga solar murni melalui Pertamina.
Sebagai informasi, CPO pernah mencapai harga tertingginya pada Maret sepanjang 2022. Kondisi ini dipicu oleh permintaan yang melambung dan pembatasan ekspor CPO Indonesia. (Lihat grafik di bawah ini.)
Namun demikian, BPDPKS telah mengucurkan sekitar Rp57,7 triliun insentif biodiesel untuk 24 perusahaan sawit sepanjang 2016-2020. Sebagian besar perusahaan ini menerima dana di atas Rp1 triliun rupiah.
Tiga penerima terbesar sawit RI mendapat kucuran dana subsidi biodiesel dengan angka jumbo. Di antaranya PT Wilmar Bioenergi Indonesia, anak perusahaan Wilmar Group sejumlah Rp9 triliun selama periode 2016 hingga 2020.
Kedua, penerimaan subsidi terbesar diduduki oleh anak perusahaan Wilmar Group, PT Wilmar Nabati Indonesia dengan jumlah subsidi mencapai Rp8,76 triliun pada periode yang sama. Adapun raksasa sawit RI lainnya, PT Musim Mas di urutan ke tiga menerima subsidi seberap Rp 7,19 triliun di periode serupa. (Lihat grafik di bawah ini.)
Anggaran subsidi tersebut berasal dari dana pungutan ekspor minyak sawit, dan diklaim tidak menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Masalahnya, selama ini penerapan B30 saja telah membuat neraca dagang RI ketar-ketir. Temuan LPEM UI selanjutnya, hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan biodiesel memberikan dampak yang ambigu terhadap neraca berjalan karena sangat dipengaruhi oleh harga CPO dan solar.
Dalam studi yang berjudul Risiko Kebijakan Biodiesel Dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan ini menyebutkan semakin besar tingkat campuran minyak sawit dalam biodiesel memang akan berpotensi menghemat impor solar.
Namun, di sisi lain akan menurunkan potensi penerimaan dari ekspor minyak kelapa sawit.
Terlihat di sisi kinerja ekspor, volume ekspor minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) Indonesia mencatat penurunan sepanjang tahun lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, volume ekspor minyak kelapa sawit Indonesia susut 20,8% menjadi 14,65 juta ton sepanjang periode Januari-Agustus 2022 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Meskipun, BPS mengklaim bahwa kondisi ini didorong oleh perlambatan perekonomian dunia sehingga permintaan minyak sawit global turun.
Di bulan September tahun lalu, ekspor CPO mengalami penurunan cukup besar mencapai minus 27% hanya di level 3,18 juta ton dibanding bulan sebelumnya.
Jika B35 jadi dijalankan, bisa dibayangkan berapa subsidi yang harus dikeluarkan lagi untuk program biodiesel dan biaya penghematan yang bisa dimaksimalkan. (ADF)