Bisa Memicu Resesi Global, Ini Enam Penyebab yang Bikin Ekonomi China Melambat
Kebijakan Zero Covid berdampak terhadap menurunnya permintaan barang global, yang pada akhirnya membuat ekonomi China melambat dan bisa memicu resesi global.
IDXChannel - China sempat menjadi negara yang cepat pulih di saat negara lain masih bergelut dengan pandemi covid-19. Namun, tahun ini nampaknya tidak menjadi tahun keberuntungan bagi Negeri Tirai Bambu.
Kebijakan Zero Covid negara tersebut berdampak terhadap menurunnya permintaan barang global, yang pada akhirnya membuat ekonomi China melambat dan bisa memicu resesi global.
Pada tahun ini, China menargetkan pertumbuhan tahunan sebesar 5,5%. Namun, untuk saat ini hal itu di luar kemampuan China di mana beberapa ahli memprediksi ekonomi negara tersebut tidak akan banyak mengalami pertumbuhan.
Jadi apa yang membuat ekonomi China dalam masalah? berikut rangkumannya dilansir dari BBC.
1. Perang dagang dengan AS
China tidak sedang menghadapi masalah inflasi seperti yang dihadapi Amerika Serikat dan Inggris. Masalah yang sedang dihadapi China berbeda, permintaan barang dari dalam maupun luar negeri menurun drastis imbas perang dagang dengan AS yang masih berlangsung.
Mata uang yuan mengalami penurunan terhadap dolar Amerika Serikat. Hal ini merupakan yang terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Melemahnya yuan membuat investor ragu untuk berinvestasi dan membuat ketidakpastian di pasar keuangan. Melemahnya yuan juga menyebabkan bank sentral kesulitan memompa uang ke dalam perekonomian.
"Tidak ada gunanya memompa uang ke dalam ekonomi kita jika bisnis tidak dapat berkembang atau orang tidak dapat membelanjakan uangnya," kata Louis Kuijs, kepala ekonom Asia di S&P Global Ratings dilansir BBC.
Timbulnya masalah ekonomi bagi China menjadi hambatan yang berat bagi Presiden Xi Jinping. Pasalnya, ia berencana akan menambah periode kekuasaannya menjadi tiga periode pada 16 Oktober mendatang. Hal ini belum pernah terjadi di kongres partai komunis sebelumnya.
2. Kebijakan Zero Covid
Kebikakan Zero Covid mengakibatkan masyarakat China enggan mengeluarkan uang untuk belanja makanan atau pariwisata. Masyarakat membatasi pengeluaran untuk kebutuhan pokok.
Di bidang manufaktur, jumlah permintaan barang meningkat pada September, berdasarkan informasi dari Biro Statistik Nasional. Pertumbuhan ekonomi di bidang struktur tumbuh karena pemerintah lebih banyak belanja infrastruktur.
Namun, para pengamat ekonomi mengambil kesimpulan bahwa China dapat melakukan banyak hal untuk menumbuhkan ekonomi, tapi para pengamat ragu itu dapat dilakukan sampai kebijakan Zero Covid selesai.
3. Usaha pemerintah belum maksimal
China telah menggelontorkan dana sebesar 1 triliun yuan untuk meningkatkan usaha mikro, infrastruktur, dan real estat. Namun, hal itu masih belum cukup.
Pemerintah China dapat membuat kebijakan yang lebih baik untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Misalnya, investasi di bidang infrastruktur, meringankan pinjaman bagi pembeli rumah, dan memberi keringanan pajak bagi masyarakat.
4. Krisis usaha properti
Faktor utama yang memperlambat ekonomi di bidang properti adalah lemahnya aktivitas real estat dan sentimen negatif pada sektor usaha perumahan. Hal ini sangat menjatuhkan perekonomian China, karena bidang properti menyumbang sepertiga Produk Domestik Bruto (PDB) China.
"Ketika kepercayaan lemah di pasar perumahan, itu membuat orang merasa tidak yakin tentang situasi ekonomi secara keseluruhan," kata Kuijs.
Para pelanggan properti juga ragu pembangunan rumah mereka akan selesai, sehingga membuat mereka tidak mau membayar hipotek bangunan yang belum selesai. Selain itu, permintaan untuk rumah baru menurun dan hal ini mengakibatkan menurunnya permintaan barang-barang impor yang digunakan untuk pembangunan.
Walaupun pemerintah China berusaha menguatkan pasar real estat dan harga properti menurun 20%, analis ekonomi mengatakan pemerintah China harus berbuat lebih banyak hal untuk memulihkan kepercayaan pelanggan.
5. Perubahan iklim
Gelombang panas dan kekeringan melanda provinsi barat daya Sichuan dan kota Chongqing pada Agustus. Hal ini mengakibatkan jumlah permintaan AC meningkat. Jumlah permintaan AC yang meningkat tidak dapat diimbangi dengan pembangkit listrik yang bergantung pada air.
Banyak perusahaan, termasuk iPhone dan Tesla memutuskan untuk memangkas jam kerja atau tutup sama sekali.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari biro statistik China, industri besi dan baja mengalami penurunan keuntungan lebih dari 80% pada tujuh bulan pertama di 2022 dibandingkan dengan periode yang sama pada 2021.
Pemerintah akhirnya menggelontorkan dana puluhan miliar dolar untuk membantu perusahaan energi dan pertanian.
6. Raksasa teknologi kehilangan investor
Regulasi yang diberlakukan pemerintah China terhadap perusahaan raksasa teknologi yang sudah berlangsung dua tahun tidak kunjung mendatangkan hasil. Tencent dan Alibaba melaporkan laba mereka mengalami penurunan sebesar 50%.
Hal ini mengakibatkan puluhan ribu pekerja muda dipecat, menambah jumlah pengangguran di China yang mencapai 20% pada masyarakat yang berusia 16-24 tahun. Tentunya krisis ini mengganggu produktifitas negara tersebut.
Semenjak Xi Jinping berkuasa, investor merasakan perubahan yang signifikan. Investor merasa perusahaan swasta mendapat tekanan dari Xi, sementara perusahaan negara mendapat dukungan penuh. Hal ini membuat investor menarik investasinya dari China.
Softbank Jepang menarik investasinya dari Alibaba, sementara Berkshire Hathaway dari Warren Buffet menjual sahamnya, Tencent juga telah menarik investasi lebih dari USD7 miliar pada paruh ke dua tahun ini.
"Beberapa keputusan investasi sedang ditunda, dan beberapa perusahaan asing berusaha untuk memperluas produksi di negara lain," kata S&P Global Ratings dalam catatan baru-baru ini. (NIA)
Penulis: Ahmad Dwiantoro