BoJ Terlalu ‘Kalem’, Inflasi Inti Jepang Tertinggi Selama 40 Tahun
Meskipun inflasi Jepang tinggi, kebijakan moneter yang diambil oleh Bank of Japan (BoJ) adalah menolak hawkish.
IDXChannel - Inflasi indeks harga konsumen (IHK) inti Jepang mencapai level tertinggi dalam 40 tahun pada bulan Oktober. Data inflasi dari biro statistik Jepang dirilis pada Jumat (18/11) menunjukkan, lonjakan biaya bahan baku dan beberapa sektor lainnya.
Tingkat inflasi tahunan di Jepang naik menjadi 3,7% pada Oktober 2022. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak Januari 1991. Angkanya juga melonjak 0,7% dari bulan sebelumnya sebesar 3,0%. Kondisi ini ditengarai tingginya harga komoditas mentah impor dan pelemahan yen yang terus-menerus.
Tekanan inflasi datang dari semua komponen di antaranya makanan menjadi 6,2% dibanding bulan sebelumnya sebesar 4,2%. Inflasi perumahan menjadi 1,1% dibanding sebelumnya 0,6%.
Biaya bahan bakar, lampu, dan air menjadi 14,6% dibanding 14,9%. Adapun listrik mencapai 10,9% dibanding 21,5% dan gas sebesar 20,0% dibanding 19,4% pada September.
Di sektor transportasi & komunikasi inflasi menyentuh 2,0% dibanding 0,6%. Sementara di sektor kesehatan inflasi mencapai 0,2% dibanding -0,5%.
Inflasi inti naik ke level 3,6% year on year (yoy), terbesar sejak Februari 1982. Angka ini lebih tinggi dari perkiraan pasar yang mencapai 3,5% dan di atas target Bank of Japan sebesar 2%.
Secara bulanan, indeks harga konsumen naik 0,6% di bulan Oktober, kenaikan tertajam sejak April 2014, setelah naik 0,3% di bulan September.
Inflasi ini diduga akibat Jepang menghadapi tingkat kenaikan yang cepat untuk impor makanan dan bahan bakar. Kondisi ini sebagian besar didorong oleh depresiasi yen yang muram di tahun ini.
Mata uang Jepang ini turun sekitar 22% tahun ini, dan merosot ke level terendah 30 tahun pada bulan Oktober karena melebarnya jurang suku bunga lokal dan kebijakan The Federal Reserves (The Fed) AS.
BoJ Tetap Kalem, Menolak Hawkish
Hal yang menarik dari inflasi Jepang adalah kebijakan moneter yang diambil oleh bank sentral, Bank of Japan (BoJ) yang menolak hawkish.
Keengganan BoJ untuk memperketat kebijakan moneter berkontribusi terhadap tekanan harga yang terus meningkat.
BoJ sejauh ini juga belum memberikan indikasi bahwa pihaknya berencana untuk menaikkan suku bunga dari tingkat yang sangat rendah. (Lihat tabel di bawah ini.)
Padahal kebijakan BoJ ini merupakan faktor kunci di balik depresiasi yen tahun ini.
Bank sentral yang juga disebut Nichigin ini mempertahankan kebijakan suku bunga jangka pendek utamanya di level minus 0,1% dan untuk imbal hasil obligasi 10 tahun sekitar 0% selama pertemuan bulan Oktober.
Kondisi inilah yang menaikkan perkiraan inflasi 2022 menjadi 2,9% dari 2,3% yang dibuat pada bulan Juli.
Teranyar, mengutip Trading Economics, bank sentral Jepang ini juga mengumumkan akan melakukan perubahan cara membeli exchange traded fund (ETF), mulai dari 1 Desember.
Informasi saja, ETF adalah Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang unit penyertaannya diperdagangkan di bursa.
Di bawah aturan yang direvisi, BoJ akan memperhitungkan biaya penyimpanan setiap ETF dan memilih yang memiliki rasio biaya kepercayaan terendah dalam melakukan pembelian.
Negara ini juga disebut mencatat defisit perdagangan yang besar untuk bulan Oktober, meskipun angka tersebut lebih rendah dari rekor defisit tertinggi yang terlihat pada bulan Agustus lalu.
Biaya impor terus melonjak akibat melemahnya yen, sementara ekspor melambat di tengah melemahnya permintaan global dan berkurangnya kapasitas manufaktur lokal.
Data inflasi pada Jumat menandai bulan ketujuh berturut-turut bahwa inflasi cenderung di atas target tahunan 2% Bank of Japan.
Dalam laporan prospek triwulanan, dewan BoJ juga memangkas perkiraan pertumbuhan PDB 2022 menjadi 2,0% dari 2,4%, karena penyebaran Covid-19 yang masih tinggi di musim panas tahun ini dan perlambatan ekonomi global.
Untuk tahun depan, BoJ juga memangkas sedikit prospek PDB menjadi 1,9% dari sebelumnya 2,0%.
BoJ menegaskan kembali akan mengambil langkah-langkah pelonggaran ekstra jika diperlukan termasuk membeli obligasi dalam jumlah tak terbatas untuk menjaga batas implisit 0,25% setiap hari pasar, seperti yang telah dilakukan sejak April.
Pada 20 Oktober lalu, BoJ mengadakan operasi pembelian obligasi darurat, menawarkan untuk membeli sekitar USD667 juta utang pemerintah, sebuah langkah yang dirancang untuk menurunkan harga obligasi.
Pengumuman dari BoJ datang saat nilai tukar yen terhuyung-huyung menembus 150 terhadap dolar. Level ini akan menandai level terendah dalam 32 tahun dan dipandang penting secara psikologis bagi pelaku pasar.
Yen telah terpukul tahun ini akibat gap antara suku bunga AS dan Jepang. Beberapa investor bertaruh Jepang perlu menghapus kebijakan yield curve control atau kontrol kurva imbal hasil di mana BoJ membeli obligasi dalam jumlah besar untuk menjaga imbal hasil utang 10 tahun sekitar 0%.
Pada September lalu untuk merespons pelemahan Yen terhadap dolar AS, BoJ juga melakukan intervensi di pasar valuta asing pada hari Kamis (22/9) dengan membeli yen untuk pertama kalinya sejak tahun 1998.
Mengutip Reuters, upaya ini adalah upaya pemerintah untuk kembali menguatkan yen setelah BoJ terjebak dengan suku bunga yang sangat rendah.
Kebijakan ini berdampak pada ekonomi Jepang yang secara tak terduga menyusut pada kuartal ketiga. Berdasarkan laporan investing.com, negeri Sakura tersebut harus terus berjuang dengan kenaikan biaya impor. Bahkan prospek hingga akhir tahun ini juga terlihat suram.
Namun demikian, tekanan ekonomi yang meningkat dari inflasi yang tinggi dan yen yang terus melemah bisa jadi dapat memaksa BoJ untuk mengubah pendiriannya ke depan. (ADF)