ECONOMICS

Buruh Desak Pemerintah Cabut Aturan Tapera, Simak Enam Alasannya

Irfan Ma'ruf 02/06/2024 10:18 WIB

Buruh yang tergabung dalam KSPI mendesak pemerintah mencabut aturan terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) karena dinilai memberatkan para pekerja.

Buruh Desak Pemerintah Cabut Aturan Tapera, Simak Enam Alasannya. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mendesak pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Dia mengatakan ada enam alasan yang mendasari penolakan tersebut. Pertama, ketidakpastian akan memiliki rumah.

Dia menilai meski pun iuran dalam PP Tapera tersebut diberikan, buruh akan tetap tidak akan memiliki rumah bahkan hanya untuk uang muka. 

"Dengan potongan iuran sebesar tiga persen dari upah buruh, dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Bahkan hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi," kata Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Minggu (2/6/2024).

Kedua, pemerintah dianggap lepas tanggung jawab. Sebab, dalam PP Tapera tidak ada satu klausul pun yang menjelaskan bahwa pemerintah ikut andil dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta Tapera lainnya.

Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha saja, tanpa ada anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan oleh pemerintah untuk Tapera. Dengan demikian pemerintah lepas tangan untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat.

Ketiga, iuran Tapera akan membebani biaya hidup buruh. Said mengatakan di tengah daya beli buruh yang turun 30 persen serta upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja, potongan iuran Tapera sebesar 2,5 persen yang harus dibayar buruh akan menambah beban pekerja.

Dengan adanya aturan tersebut, para pekerja telah dikenakan potongan gaji hampir 12 persen yang terdiri dari Pajak Penghasilan 5 persen, iuran Jaminan Kesehatan 1 persen, iuran Jaminan Pensiun 1 persen, iuran Jaminan Hari Tua 2 persen, dan rencana iuran Tapera sebesar 2,5 persen

Keempat, iuran Tapera rawan dikorupsi. Said mengatakan dalam sistem anggaran Tapera, terdapat kerancuan yang berpotensi besar untuk disalahgunakan. Ia menjelaskan ada dua sistem anggaran yakni sistem jaminan sosial (social security) dan bantuan sosial (social assistance).

Jika jaminan sosial, maka dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah. Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah.

"Model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak iuran, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah," katanya.

Kelima, Tapera dinilai sebagai tabungan yang memaksa. Karena pemerintah menyebut dana Tapera merupaka tabungan, seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa.

Selain itu, dengan Tapera sebagai tabungan sosial, maka tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan.

Subsidi antar peserta hanya diperbolehkan bila program tersebut adalah jaminan sosial yang bersifat asuransi sosial, bukan tabungan sosial. Misalnya, program jaminan kesehatan yang bersifat asuransi sosial, maka diperbolehkan penggunaan dana subsidi silang antar peserta BPJS Kesehatan.

Alasan terakhir, ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera. Said mengatakan bagi PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada PHK.

Namun untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi.

"Dana Tapera bagi buruh yang ter-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera," pungkasnya.

(FRI)

SHARE