ECONOMICS

CEO SOGO hingga Bos Panasonic Ungkap Tantangan Ekonomi RI di 2025

Fiki Ariyanti 29/01/2025 03:17 WIB

Sejumlah pengusaha mengungkapkan tantangan dan peluang ekonomi di 2025.

CEO SOGO hingga Bos Panasonic Ungkap Tantangan Ekonomi RI di 2025 (foto mnc media)

IDXChannel - Sejumlah pengusaha mengungkapkan tantangan dan peluang ekonomi di 2025. Mulai dari penurunan jumlah kelas menengah, banjir impor barang ilegal, hingga pelemahan nilai tukar Rupiah. 

Ketua Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (APREGINDO), Handaka Santosa mengatakan, salah satu tantangan pedagang ritel yang harus dihadapi saat ini adalah penurunan jumlah kelas menengah. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah kelas menengah Indonesia turun dari 57,33 juta pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024. Penurunan jumlah kelas menengah ini merupakan sinyal bagi penurunan konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun, Handaka melihat masih ada peluang bagi pedagang ritel melihat data jumlah rekening bank di atas Rp5 miliar yang justru bertambah. Selain itu, dia optismistis karena potensi orang kaya yang belanja di luar negeri sebesar Rp324 triliun.

Handaka pun menyoroti banyaknya impor barang ilegal yang menekan daya saing pedagang ritel legal. Barang-barang ilegal itu diperjualbelikan secara online. 

CEO SOGO ini berharap ada upaya cerdas dan cermat untuk menghentikan peredaran barang ilegal ini. 

"Barang ilegal ini memangkas pendapatan pemerintah dari bea masuk, PPN dan PPh impor, biaya survei, safeguard dan lain-lainnya," kata Handaka dalam keterangan resmi, Jakarta, Selasa (28/1/2025).

Sementara menurut Direktur General Affairs PT Panasonic Manufacturing, Harry Wibowo, pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap USD juga menjadi tantangan di 2025.

Harry menjelaskan, industri elektronik dan peralatan rumah tangga mengalami tekanan depresiasi Rupiah seiring terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS dan kebijakan Bank Sentral AS yang belum menurunkan suku bunga acuan. 

"Tekanan terjadi karena sebagian besar bahan baku atau suku cadang industri elektronik itu impor," ujarnya.

Tantangan lain bagi industri elektronik adalah digitalisasi. Dia menilai, pelaku industri elektronik bisa melakukan efisiensi, kualitas produk yang baik dan mengambil keputusan berbasis data dengan digitalisasi. Namun, digitalisasi ini membutuhkan biaya investasi yang cukup besar.

Sedangkan Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan, belum nampak jelas arah kebijakan pemerintah yang meningkatkan konsumsi atau pendapatan masyarakat, khususnya bagi kelas menengah. 

Selain pelemahan daya beli masyarakat, Faisal menambahkan, faktor belanja pemerintah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi masih terganjal dengan keterbatasan fiskal.

"Karena itu, CORE Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini berkisar 4,8-5 persen. Proyeksi pertumbuhan ekonomi masih jauh dari target pemerintah yang ingin mencapai target sebesar 8 persen," kata Faisal.

Kendati demikian, Ekonom senior, Hendri Saparini menuturkan, perekonomian dapat tumbuh lebih tinggi jika pemerintah mampu mengoptimalkan berbagai potensi yang ada melalui kebijakan yang tepat dan mengedepankan kepentingan nasional. 

"Revitalisasi dan industrialisasi, misalnya, dapat dijadikan sebagai cara jitu untuk menumbuhkan ekonomi secara lebih baik," tuturnya.

(Fiki Ariyanti)

SHARE