China Buka Lockdown, Sektor Mana Saja yang Untung?
Sektor pariwisata dan penerbangan kemungkinan akan kembali bergairah jika China kembali membuka pintu.
IDXChannel - China akhirnya membuka pintu negaranya secara perlahan setelah diterapkannya kebijakan Zero Covid-19 oleh pemerintahan Xi Jinping.
Dampak ekonomi yang sangat terasa dan industri China yang mandeg disebut sebagai dua dari banyak alasan di balik perubahan mendadak kebijakan tersebut.
Selama beberapa bulan terakhir, pemerintah China mengundang protes keras baik dari warga sipil, pengusaha, hingga publik internasional akibat kebijakan ini.
Riset dari Natixis, perusahaan konsultan asal Prancis yang bergerak di sektor finansial dan industri perbankan menemukan, seiring bertambahnya beban ekonomi, pemerintah China juga kehilangan cengkeramannya pada dua sektor utama yang bermasalah, yaitu real estate dan platform internet.
Mengingat pivot utama pertumbuhan di China tidak hanya berdampak secara nasional melainkan juga di dunia, termasuk di Asia Pasifik, terutama di industri penerbangan, konsumsi, dan mobil.
Diketahui sebelumnya, ekonomi China cukup terdampak dari kebijakan Zero Covid-19 ini. Dilaporkan bahwa penjualan ritel turun 5,9% secara YoY pada November 2022. Penurunan ini jauh lebih cepat dari penurunan 0,5% pada bulan sebelumnya dan lebih buruk dari ekspektasi pasar sebesar 3,7%.
Ini adalah bulan kedua berturut-turut penurunan perdagangan ritel dan laju tertajam sejak Mei, karena konsumsi memburuk akibat dampak gelombang baru Covid-19 dan pembatasan yang sedang berlangsung.
Penjualan menyusut untuk semua kategori: kosmetik -4,6%, pakaian -15,6%, furnitur -4%, peralatan rumah tangga -17,3%, perlengkapan kantor -1,7%, mobil -4,2%, produk oli -1,6%, peralatan komunikasi -17,6%, dan bahan bangunan -10,0%. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sektor yang Diperkirakan ‘Rebound’ Cepat
Mengenai pembukaan kembali China, sektor penerbangan diproyeksikan akan kembali bergairah dengan permintaan perjalanan yang diproyeksi kembali meningkat.
Sebelumnya, pendapatan dari penerbangan global mencapai 72% dari tingkat pra-pandemi pada September 2022. Namun China dan Asia Pasifik hanya menikmati pemulihan masing-masing sebesar 37% dan 51%.
Sebelum pandemi, Asia berperan penting dalam lalu lintas udara global.Terjadi peningkatan pendapatan dari sebelumnya 31% pada 2011 menjadi 35% pada 2019.
Meningkatnya kelas menengah dan pertumbuhan populasi bisa menjadi peluang bagi sektor penerbangan untuk kembali pulih pasca China membuka kembali negaranya secara internasional.
Penghentian kebijakan Zero covid-19 juga diproyeksikan akan membantu menghidupkan kembali belanja ritel dan pariwisata.
Masih dari riset Natixis, pariwisata domestik China diproyeksi akan kembali ke lintasan yang pernah tumbuh. Sebelumnya sektor ini turun menjadi 1,9% pada Q3 2022 yang sebelumnya berkontribusi 5,8% pada PDB nasional China pada 2019. Penurunan ini mendorong pengeluaran tambahan pemerintah Xi Jinping sebesar RMB 3,4 triliun.
Secara eksternal, kontribusi arus keluar modal bersih dari wisatawan China secara global mencapai USD278 pada 2019. Pembukaan kembali China diproyeksi akan memberikan keuntungan global sebesar USD165 miliar.
Namun, ada risiko bahwa revenge travelling dari penduduk China ke negara lain yang cepat ini dapat merugikan China.
Di sektor industri otomotif, untuk mengatasi tekanan ekonomi, pemerintah juga telah memperpanjang subsidi kendaraan listrik (EV) hingga akhir 2023.
Selain itu, China masih akan menikmati berkah dari kendaraan listrik mengingat negara Tirai Bambu ini adalah pembuat EV terbesar dengan 51% pangsa pasar di H1 2022.
Dengan mobilitas yang lebih baik dan pembatasan yang lebih sedikit, penjualan mobil di China akan mengalami pemulihan siklus jika konsumsi rumah tangga juga kembali bergeliat.
Nasib Sektor Properti dan Tekno
Sektor real estate dan platform internet adalah dua korban utama dari kekacauan ekonomi China.
Natixis juga melaporkan, investasi properti dan penjualan rumah juga turun masing-masing 9,8% dan 28,4% secara year-to-date.
Sejak kehancuran grup Evergrande, telah terjadi gagal bayar obligasi dan gerakan boikot hipotek telah mengurangi kepercayaan pembeli rumah dan investor.
Diketahui Evergrande adalah perusahaan raksasa properti China yang saat ini sedang berupaya melakukan restrukturisasi setelah terlilit utang USD300 miliar atau setara Rp4,2 triliun di awal tahun ini.
Setelah Evergrande mengumumkan gagal bayarnya, perusahaan yang mengalami krisis itu tidak menggagalkan pembayaran sebagian obligasinya di luar negeri.
Pemerintah China menetapkan kebijakan "Tiga garis merah". Kebijakan ini merupakan serangkaian ambang batas hutang yang sangat membatasi kemampuan perusahaan pengembang properti tertentu untuk meminjam. Selama puluhan tahun, sektor properti meminjam tanpa kendali.
Menurut Rory Green, kepala bagian Riset China dan Asia di perusahaan konsultan TS Lombard, krisis Evergrande ini disebut sebagai peristiwa "badak abu-abu" (gray rhino), istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya ancaman yang jelas dan datang pelan-pelan.
Namun, pemerintah China telah meningkatkan langkah-langkah untuk mendukung pembiayaan pengembang properti.
Namun, kenyataannya hal ini hanya dapat mengulur waktu dan mengurangi tekanan likuiditas.
Tingkat hipotek atau KPR di China saat ini dilaporkan berada di level 4,12% pada Oktober 2022, turun dari 5,64% pada 202. Namun, penjualan rumah masih turun.
“Tidak ada solusi jangka pendek on demand karena butuh waktu untuk memperbaiki kepercayaan rumah tangga. Sentimen pasar keseluruhan yang membaik pada aset China juga akan menguntungkan platform internet atau sektor Big Tech,” tulis Natixis dalam laporan berjudul A Pivot To Growth: Which Sectors Will Benefit The Most As China Reopens, Jumat (16/12).
Sektor Big Tech China mengalami tantangan serius setelah sempat terjadi kericuhan dengan beberapa pegawai Foxconn di Zhengzhou akibat kebijakan lockdown pemerintah.
Diketahui wilayah ini adalah rumah bagi pabrik perakitan iPhone terbesar di dunia, yang dijalankan oleh Foxconn. Akibatnya, banyak pekerja meninggalkan pabrik tak lama setelah wabah mulai menyerang.
Saat ini, China juga harus mendapatkan pesaing sebagai homebased produksi rantai pasok Apple, yakni India. Diketahui Foxconn berencana memindahkan produksi komponen Apple ke India, meskipun tidak sepenuhnya.
Ketegangan perdagangan antara Beijing dan Washington, dan rantai pasok yang terhambat terkait kebijakan nol Covid menjadi akselerator pemindahan ini.
Foxconn Taiwan mengatakan pada 8 Desember bahwa anak perusahaannya di Singapura telah menginvestasikan USD500 juta terhadap perusahaan afiliasinya di India.
Mengutip Reuters, (11/12) Foxconn berencana melipatgandakan tenaga kerjanya di pabrik iPhone di India selama dua tahun. Peningkatan tenaga kerja di pabrik India selatan ini menjadi 70.000 dengan menambah 53.000 pekerja lagi selama dua tahun ke depan.
Disebutkan bahwa JPMorgan juga memperkirakan India dapat memproduksi satu dari empat iPhone pada 2025. Produksi tersebut diperkirakan akan menghasilkan pendapatan sebesar USD205 miliar untuk Apple atau berkontribusi sebesar 52% dari penjualan bersih perusahaan.
Secara keseluruhan, 2023 mungkin dimulai dengan lingkungan makro yang menantang di paruh pertama. Tetapi ada peluang sektor siklis (perusahaan yang memproduksi barang non pokok, atau kebutuhan sekunder dan tersier) yang terkait erat dengan pembukaan kembali China.
Di luar hal di atas, tekanan ekonomi yang meningkat juga mendorong pemerintah China untuk melunakkan peraturan mereka pada real estate dan platform internet. (ADF)