China dan Jepang Berebut Dominasi di Indo-Pasifik
China dan Jepang saat ini beradu stategi untuk menguasasi kawasan perekonomian Indo-Pasifik.
IDXChannel - China dan Jepang saat ini beradu stategi untuk menguasasi kawasan perekonomian Indo-Pasifik. China dianggap paling agresif dengan memperkuat sektor kemaritimannya.
Prof. Dr. Takahara Akio dari Universitas Tokyo menjelaskan bahwa ada dua outlook terkait Indo-Pasifik. Pertama adalah outlook ASEAN terhadap Indo-Pasifik (AOIP) dan yang kedua adalah Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka (FOIP).
"Baik AOIP dan FOIP berjalan selaras dengan sempurna. Hal ini karena mereka mengidentifikasikan kawasan Indo-Pasifik sebagai kawasan yang paling dinamis di dunia. Mereka juga berfokus dalam menemukan peluang sekaligus tantangan," ujar Takahara dalam webinar Pusat Penelitian Politik LIPI bertajuk "Japan-ASEAN Cooperation Based on The ASEAN Outlook on The Indo-Pacific" pada Kamis(8/7/2021).
Kedua pandangan tersebut juga memiliki prinsip yang sama dalam hal keterbukaan, transparansi, inklusivitas, kerangka kerja berbasis aturan, dan menghormati hukum internasional. Selain itu, keduanya juga memegang kerjasama maritim dan konektivitas sebagai hal inti.
"Sementara itu, kepentingan Jepang di kawasan Indo-Pasifik tersebut itu adalah memperluas stabilitas dan kesejahteraan dari Asia Timur ke Asia Selatan dan Afrika, yang merupakan kawasan dengan potensial ekonomi yang besar dan juga keamanan jalur-jalur laut," ujar Takahara.
Tetapi, tentunya ada tantangan tersendiri yang dihadapi oleh Jepang. Pertama, adanya risiko ketidakpercayaan, miskalkulasi, dan pola perilaku yang berbasis pada zero-sum game. "Indo-Pasifik tidak "exist" di antara ASEAN dan Jepang. Sang "gajah" dalam ruangannya adalah China," terangnya.
Takahara menyampaikan bahwa Jepang adalah negara maju yang terbiasa menghadapi tantangan baru yang tak pernah dihadapi sebelumnya, salah satunya adalah berhadapan dengan China yang sedang tumbuh. Pengalaman Jepang ini, dinilainya bisa berguna untuk kawasan Indo-Pasifik.
"Bagaimana Jepang dan China bisa menciptakan hubungan yang stabil atau tidak, menjadi faktor krusial bagi masa depan Indo-Pasifik," tambahnya.
Dia mengatakan, dari segi politik domestik, politisi China harus menghindari kritik internal terkait 'lemah' di hadapan Jepang, dimana para pemimpinnya harus memiliki power base yang solid untuk mengadopsi kebijakan yang lebih ramah terhadap Jepang. Dari segi lingkungan internasional, China cenderung ke pihak Jepang ketika mereka sedang bermasalah dengan AS, dan ke pihak ASEAN ketika mereka bermasalah dengan Jepang, AS, dan Uni Eropa.
"China sendiri adalah mitra dagang utama Jepang di 2020, posisi kedua disusul oleh AS, diikuti oleh Uni Eropa, Korea Selatan, dan negara lainnya," ucap Takahara.
Namun, permasalahannya, banyak sekali kekhawatiran bersama terkait tindakan yang diambil China. China sangat memajukan maritimnya, yang kemudian memicu faits accomplis. "Tindakan China mengganggu perairan teritorial, eksplorasi migas, konstruksi pulau buatan, mengusik kapal nelayan dan kapal pengintai sudah meresahkan. China terbiasa "action first-ism", bertindak dulu baru berdiplomasi," tegas Takahara.
Maka dari itu, Jepang tidak punya pilihan selain merespon kemajuan maritim China dan upayanya untuk mengubah status quo secara paksa. Selain meningkatkan budget untuk pasukan pertahanan militer dan penjaga pesisir, Jepang harus memperkuat aliansinya dengan AS dan jaringan aliansi, untuk membantu membangun kapasitas aliansu.
"Jepang juga harus terus bekerja sama melalui RCEP, anti pembajakan, lingkungan, perlindungan, anti penyelundupan obat-obatan terlarang, kesehatan dan sanitasi, pertukaran budaya, dan sebagainya. Indo-Pasifik juga harus menggunakan banyak waktu dan energi dalam koordinasi internal dan juga persuasi," pungkas Takahara. (RAMA)