Desa Devisa Kakao Gunung Kidul, Menatap Dunia Lewat Cokelat
Padukuan Doga, menjadi salah satu tempat yang bisa memproduksi kakao, bahan dasar cokelat.
IDXChannel - Siapa yang tidak menyukai cokelat, salah satu makanan yang sangat disukai di seluruh dunia. Padukuan Doga, menjadi salah satu tempat yang bisa memproduksi kakao, bahan dasar cokelat.
Meski lahannya hanya seluas 10,2 hektare, namun petani di sini ingin menatap dunia dengan olahan cokelat yang mereka miliki. Sayangnya, proses ekspor baru dilakukan melalui pihak ketiga secara perorangan.
Semula, Padukuan Doga yang berada di Desa Nglanggeran, Gunung Kidul, Yogyakarta ini merupakan kawasan tertinggal. Namun, dengan ditetapkannya gunung kidul sebagai kawasan gunung purba ternyata mampu meningkatkan potensi ekonomi di sana.
Warga pun mendapatkan bantuan dari sejumlah lembaga negara, salah satunya untuk membangun homestay. Hanya saja, masih ada satu potensi lagi yang sebenarnya bisa dikembangkan untuk meningkatkan ekonomi warga sekitar, yakni kakao.
Ahmad Nasrodin, ketua koperasi, kepala BUMDes, sekaligus ketua UMKM Omah Kakao ingin desanya menatap dunia. Bukan lagi desa tertinggal, apalagi warganya sampai terjerat pinjaman online atau rentenir.
Karena impiannya tersebut, desa ini akhirnya mendapatkan pendampingan khusus dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Impor (LPEI) atau Indonesia Eximbank, bersama PT Sarana Multigriya Finansial (SMF).
"Kita punya inisiatif, karena di sini perkebunan paling baik kakao. Kita bentuk sebuah komunitas dengan nama petani kakao magonani satu," ujar Nasrodin kepada wartawan di Omah Cokelat, Gunung Kidul, Yogyakarta, belum lama ini.
Berkat pendampingan itu, Nasrodin bersama para petani lokal kini bisa mengelola kakao tidak sekadar bubuk saja, bahkan lemak yang merupakan bahan dasar pembuatan cokelat batangan sudah bisa diproduksi.
Para petani pun kini juga mengetahui carai melakukan fermentasi terhadap biji kakao agar bisa dihargai lebih tinggi dari biasanya. Jika sebelumnya harga jualnya hanya Rp20 ribu, kini bisa mencapai Rp60 ribu per kemasan.
Bahkan, mereka sudah bisa membuat produk sendiri, yakni Ampyang Cokelat. Padahal, menu khas Jawa ini seharusnya dibuat dengan menggunakan gula merah.
Masyarakat setempat ingin produknya bisa menjadi salah satu komoditas ekspor dan terus berupaya meningkatkan nilai jualnya. Hal ini pun sudah bisa dilakukan dengan membuat olahan kakao menjadi cokelat bubuk dan lemak cokelat.
"Akhirnya di situ nilainya sudah beda, dari 3 kilo jadi 1 kilo bubuk, sekarang sudah bisa kita hargai Rp250 ribu," beber Nasrodin.
"Untuk saat ini memang secara besar tidak bisa, kita bukan petani cokelat, tapi penanam kakao. Kalau petani tanahnya luas-luas, kita tak ada yang tanahnya luas," keluh Nasrodin.
Namun, hal tersebut tidak membuatnya berkecil hati. Sebab, ada warga negara Swiss bernama Vincent yang rajin membeli produksi lemak bubuk cokelat milik warga dan mengekspor.
Meski tingkat produksi kakao dari desa tersebut masih terbilang kecil, namun hal tersebut tidak mengurangi niat Vincent untuk tetap membeli. Sebanyak 1 kg bubuk yang dihasilkan tetap dibeli dan dikirim ke pabriknya di Swiss.
Produk cokelat batangan yang dihasilkan oleh Vincent tersebut diberi nama Monnier.
Nasrodin juga mengakui masih ada banyak tantangan yang dihadapi oleh warga desanya. Salah satunya keterbatasan lahan yang berimbas pada terbatasnya tingkat produksi yang hanya mencapai 20 ton kakao per tahun.
Tidak hanya itu, tantangan lain adalah kehadiran para tengkulak yang kerap kali datang degan memberikan harga tinggi terhadap hasil tanam kakao, tapi mereka menghilang ketika musim panen kakao begitu tinggi.
Karena itu, dengan adanya pendampingan langsung dari LPEI, dia sangat berharap kapasitas produksi kakao di Padukuan Doga bisa lebih baik dan meningkat dengan perluasan lahan tanam.
"Kita kerja sama dengan masyarakat, kalau ada lahan kosong kita minta tanami, sekarang ini 200 hektare. Kita fasilitasi yang bisa kita berikan, setiap tahun saya upayakan, kita punya bibit," harapnya.
Sementara itu, Kepala Departemen Pengembangan Komoditas dan Industri LPEI, Nilla Meiditha juga berharap dengan pendampingan tersebut selain meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing, para warga desa juga diharapkan mampu melalukan ekspor secara mandiri.
"Salah satu sistem yang kita gunakan adalah fasilitas terbaik bahwa model devisa yang sudah berhasil adalah melakukan kegiatan ekspor mandiri," ujar Nilla. (TYO)