Diusir Komisi VII DPR, Ini Penjelasan Dirut KRAS Soal Proyek Blast Furnace
Direktur Utama KRAS Silmy Karim membeberkan alasan utama penghentian proyek Blast Furnace atau peleburan tanur tinggi hingga menyebabkan dia diusir keluar.
IDXChannel - Direktur Utama PT Krakatau Steel Silmy Karim membeberkan alasan utama penghentian proyek Blast Furnace atau peleburan tanur tinggi yang dikelola emiten dengan kode saham KRAS itu. Perkaranya karena perusahaan mengalami kerugian berarti.
Silmy menjelaskan kerugian terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara kapasitas fasilitas hulu (ironmaking and steelmaking) dan kapasitas fasilitas hilir (rolling), membuat perusahaan harus mengimpor bahan baku. Lalu, perusahaan memproduksi baja setengah jadi dengan harga yang tinggi dan berfluktuasi.
"Setelah beroperasi, kami menghitung antara produk yang dihasilkan dengan harga jual tidak cocok hitungannya atau dengan kata lain rugi. Dengan ini Kementerian BUMN berkonsultasi dengan BPK, dengan kajian lembaga independen, kita putuskan menghentikan operasinya," ujar Silmy dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR, Senin (4/2/2022).
Persoalan lain, lanjut Silmy, terkait dengan kenaikan harga hingga keterbatasan jumlah energi seperti listrik dan natural gas. Perkara ini mendorong KRAS untuk mengambil langkah efisiensi berupa mencari energi alternatif lain.
Lalu, tidak efektifnya proyek Blast Furnace adalah tidak adanya fasilitas basic oksigen furnace. Silmy menyebut, pada 2008 lalu, Krakatau Steel memiliki fasilitas hulu berupa direct reduction plant, slab steel plant, dan billet steel plant.
Saat itu, manajemen KRAS berhitung pengembangan kapasitas baja dimulai dari fasilitas hulu dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas eksisting. Pertimbanganya, jika perusahaan membangun Blast Furnace dengan teknologi basic oksigen furnace, maka KRAS harus mendemolisi fasilitas eksisting, sehingga diputuskan pembangunan blast furnace dengan integrasi atau modifikasi fasilitas yang ada.
Hanya saja, dalam proses produksinya, khususnya produksi hot metal dalam menghasilkan slab internal, didapati hasil produksi slab lebih mahal dibandingkan harga slab pasar. Bahkan, lebih tinggi dibandingkan harga jual HRC.
Silmy menyebut, harga slab produksi mencapai USD742 per ton, harga slab market USD476 per ton, sementara harga HRC market senilai USD629 per ton.
Atas hasil kajian KPMG, maka dengan perubahan asumsi pada saat perencanaan dan kondisi aktual, kinerja Krakatau Steel akan lebih buruk dengan mengoperasikan Blast Furnace dalam 5 tahun ke depan. Bahkan, emiten diproyeksi mengalami kerugian dan memerlukan modal kerja hingga USD2,5 miliar.
"Manajemen saat itu yaitu kami kami ini ya, memutuskan tidak mengoperasikan atas seluruh kajian yg ada termasuk, kejaksaan juga, kita hentikan sambil kuta siapkan fasilitasnya," ungkap Silmy. (TYO)