ECONOMICS

Doyan Impor, Simak Dinamika Pemenuhan Kebutuhan BBM di RI

Maulina Ulfa - Riset 13/09/2022 15:38 WIB

Pasokan BBM Indonesia selama ini ditopang oleh impor, meskipun menjadi produsen minyak mentah.

Doyan Impor, Simak Dinamika Pemenuhan Kebutuhan BBM di RI. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Kenaikan BBM di Tanah Air disebut tak terhindarkan oleh pemerintah. Berbagai implikasi ekonomi bermunculan, seperti kenaikan tarif transportasi dan harga bahan pokok. Namun, bagaimana selama ini Indonesia memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri?

Meskipun Indonesia merupakan negara penghasil minyak mentah, namun kebutuhan BBM Tanah Air masih ditopang oleh impor.

Selama ini, terdapat gap antara kebutuhan dan produksi minyak nasional. Tak hanya itu, kilang pengolahan BBM di Indonesia juga belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Di sektor hulu, produksi minyak bumi di Indonesia mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir. Menurut data SKK Migas, penurunan konsisten terjadi sejak 2011 yang hanya mencapai 902 juta barel per hari (BOPD), menjadi hanya 658 juta BOPD di tahun 2021.

Pertamina sebagai perusahaan migas utama milik Indonesia mencatatkan produksi migas mencapai 897 ribu BOPD sepanjang tahun 2021. Dengan rincian produksi minyak 445 ribu BOPD dan gas sebesar 2.614 MMSCFD. Padahal, kebutuhan harian energi Indonesia, terutama BBM, mencapai 1,3 juta BOPD.

Di tahun 2022, berdasarkan laporan perusahaan PT Pertamina Hulu Energi (PHE), pencapaian produksi minyak mencapai 518 ribu BOPD dan gas mencapai 2.592 MMSCFD sepanjang Januari hingga Juni 2022.

Angka tersebt naik sebesar 73 ribu BOPD dibanding tahun sebelumnya. Meski demikian, tetap saja belum mampu memenuhi kebutuhan nasional BBM yang diperkirakan mencapai 1,3 juta BOPD.

Untuk mencukupi kebutuhan BBM nasional, setiap tahun, Indonesia harus mengimpor BBM dari Singapura. Tak hanya menggerus devisa negara, impor BBM juga membuat Indonesia sering mengalami defisit perdagangan dengan Singapura.

Pada 2021, defisit neraca perdagangan dengan negeri Singa mencapai minus USD 3,8 miliar, naik signifikan dibanding tahun sebelumnya, yang mencapai minus USD 1,67 miliar.

Ironinya, BBM yang diimpor dari Singapura merupakan minyak yang berasal dari sumur-sumur yang ada di Indonesia.

Banyak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau para perusahaan pengeboran minyak di Indonesia menjual minyaknya ke Singapura. (Lihat tabel di bawah ini.)

Mengutip Departemen Perdagangan Amerika Serikat (AS), Singapura menjadi salah satu dari tiga teratas pusat perdagangan dan penyulingan minyak global. Negara ini memiliki lokasi yang strategis di persimpangan Samudra Hindia dan Pasifik, dengan sistem keuangan yang sehat, infrastruktur yang sangat baik, sistem hukum yang transparan, dan tenaga kerja yang terampil.

Singapura memiliki total kapasitas penyulingan minyak mentah sebesar 1,5 juta BOPD.

Tiga kilang utamanya adalah kilang ExxonMobil dengan kapasitas 605 ribu BOPD di Pulau Ayer Chawan, kilang Royal Dutch Shell dengan kapasitas 500 ribu BOPD di Pulau Bukom dan kilang 290 ribu BOPD milik Singapore Refining Company di Pulau Merlimau.

Kapasitas Kilang RI Tidak Mencukupi

Meskipun membebani neraca perdagangan, impor BBM menjadi hal yang tak terhindarkan karena di sisi hilir, kilang di Indonesia tak mampu menampung seluruh produksi minyak mentah menjadi BBM.

Selama ini, kilang utama penghasil BBM dimiliki oleh Pertamina. Total produksi di enam kilang utama miliki perusahaan pelat merah tersebut mencapai 1.031 ribu BOPD. Produksi terbesar ada di Unit Pengolahan (UP) IV Cilacap sebesar 348 ribu BOPD. Kilang Unita V Balikpapan di posisi kedua dengan kapasitas produksi 260 ribu BOPD.

Di posisi ketiga terdapat kilang Dumai dengan hasil produksi harian 170 ribu BOPD dan di posisi ke empat Kilang Balongan dengan jumlah produksi 125 ribu ribu BOPD. (Lihat tabel di bawah ini.)

Kapasitas kilang ini tentu sangat jauh dengan Singapura. Terlebih, dengan jumlah penduduk Indonesia lebih dari 260 juta, produksi 1 juta BOPD juga tidak akan memenuhi kebutuhan harian.

Di sisi lain, harga minyak dunia kembali menguat pada akhir perdagangan Selasa (13/9). Pelemahan dolar AS dan menurunnya permintaan menjadi faktor kenaikan ini.

Minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober naik 1,10 persen menjadi USD87,78 per barel. Sementara, minyak mentah Brent untuk pengiriman November meningkat 1,3 persen jadi USD94 per barel.

Sinyak kenaikan ini perlu kembali diwaspadai di tengah semakin bergantungnya Indonesia dengan impor BBM. Upaya mitigasi perlu disiapkan pemerintah dalam menekan deficit neraca perdagangan migas selama lima tahun terakhir yang cukup membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). (ADF)

SHARE