DPR Ingatkan Dampak Pelemahan Rupiah Terhadap Stabilitas Harga Pangan
sejumlah komoditas pangan dalam negeri sejauh ini masih cukup bergantung pada pasokan impor.
IDXChannel - Tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terus terjadi dikhawatirkan bakal turut menganggu stabilitas harga pangan nasional.
Kekhawatiran ini didasarkan pada fakta bahwa sejumlah komoditas pangan dalam negeri sejauh ini masih cukup bergantung pada pasokan impor.
"Seperti pasokan kedelai, gula, bawang putih, daging sapi, dan gandum, itu ketergantungan impornya masih tinggi. Jadi (dampak pelemahan rupiah) ini harus diantisipasi," ujar Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak, dalam keterangan resminya," Rabu (3/7/2024).
Pada 2021, Amin mencatat, Indonesia telah mengimpor sekitar 2,49 juta ton kedelai senilai USD1,48 miliar. Kemudian, gula pasir impor juga diketahui telah memenuhi sekitar 65 sampai 70 persen kebutuhan gula pasir di Indonesia.
"Bahkan untuk bawang putih, sekitar 90 sampai 95 persen juga berasal dari impor," ujar Amin.
Tak ketinggalan, komoditas pangan yang ketergantungan volume impornya paling banyak, dikatakan Amin, adalah gandum. Setiap tahun, Indonesia mengimpor sekitar 10 hingga 11 juta ton gandum.
Komoditas ini kemudian diolah menjadi tepung terigu, yang merupakan bahan baku untuk produk pangan seperti mi instan dan roti.
"Komoditas lain yang volume impornya tinggi adalah daging sapi, yaitu sekitar 25 sampai 30 persen dari seluruh daging sapi yang dikonsumsi di Indonesia. Selain komoditas tersebut, pemerintah juga tidak konsisten soal beras yang sering tiba-tiba diputuskan untuk impor," ujar Amin.
Selain pangan, Amin menjelaskan, sektor-sektor yang terdampak oleh penguatan dolar AS antara lain farmasi, otomotif, elektronik, dan tekstil. Barang-barang kebutuhan akan semakin mahal, yang berarti membuat daya beli masyarakat melemah. Padahal, konsumsi masyarakat selama ini terbukti telah menjadi penopang utama bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
"Jika tidak secepatnya diambil langkah-langkah tepat, Indonesia bisa masuk ke dalam situasi instabilitas harga maupun pasokan komoditas pangan. Bukan hanya itu, masyarakat juga akan merasakan ekonomi biaya tinggi akibat depresiasi nilai tukar rupiah," ujar Amin.
Selain itu, yang juga harus diwaspadai adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan gas, karena kurs rupiah merupakan salah satu faktor penentu harga BBM yang ditetapkan oleh badan usaha migas.
Jika Dolar AS terus menguat, harga minyak akan melonjak, subsidi terpaksa dipangkas, dan harga BBM akan naik.
"Berdasarkan kajian, ketika nilai tukar rupiah terdepresiasi sekitar 10 persen, harga BBM di pom bensin akan naik. Meroketnya inflasi impor biasanya akan mengorbankan harga BBM menjadi lebih mahal. Jika kondisi ini terjadi, daya beli masyarakat akan tergerus, pertumbuhan ekonomi akan melambat, dan angka kemiskinan akan meningkat," ujar Amin.
Inflasi dalam negeri, Amin meyakini juga akan naik secara signifikan, daya beli tertekan, pertumbuhan ekonomi terhambat, dan kemiskinan semakin meningkat.
"Melemahnya nilai tukar rupiah juga berdampak pada para pelaku usaha, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang komponen impor pada bahan bakunya tinggi. Biaya produksi mereka dapat meningkat karena harga komoditas dasar yang diimpor dari luar negeri naik, yang pada akhirnya memengaruhi bisnis mereka," ujar Amin.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, tambahnya, juga bisa berdampak pada APBN, dengan belanja pemerintah membengkak, terutama untuk belanja energi dan pertahanan yang terkait dengan impor.
Selain itu, pembayaran cicilan utang dan bunga dalam mata uang dolar AS akan menjadi lebih mahal, yang pada akhirnya memperkecil ruang fiskal anggaran negara.
Belanja APBN akan lebih membengkak karena asumsi dolar AS digunakan untuk belanja pemerintah yang terkait impor, serta cicilan utang dan bunga yang menjadi lebih tinggi. Artinya, ruang fiskal mengecil dan sektor riil terdampak karena belanja pemerintah berkurang.
"Saya khawatir, situasi yang tampak baik di permukaan, pada akhirnya akan menjadi bom waktu bagi pemerintahan baru nanti. Begitu dilantik, terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ini akan mempengaruhi efektivitas kerja pemerintahan ke depan," ujar Amin. (TSA)