Ekonomi China Diramal Hanya Tumbuh 4,5 Persen di 2024
Perekonomian China diproyeksikan tumbuh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya pada 2023 dan 2024 karena pasar properti yang terus lesu.
IDXChannel - Perekonomian China diproyeksikan tumbuh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya pada 2023 dan 2024 karena pasar properti yang terus lesu.
Dilansir dari Reuters pada Selasa (12/9/2023), kemungkinan tersebut diungkap para ekonom dalam sebuah jajak pendapat.
Jajak pendapat Reuters yang dilakukan pada 4-11 September terhadap 76 analis, yang berbasis di dalam dan di luar China, memperkirakan perekonomian akan tumbuh 5,0% di 2023, lebih rendah dari perkiraani sebesar 5,5% pada Juli.
Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan akan melambat menjadi 4,5% pada 2024 dan 4,3% pada 2025.
“Penyebab utamanya adalah sektor properti. Sumber pertumbuhan ini kini telah menguap dan tidak akan kembali lagi,” kata Julian Evans-Pritchard, kepala ekonomi spesialisasi China di Capital Economics di Singapura.
"Kami sudah lama bersikap lebih bearish dibandingkan kebanyakan analis lain, tapi bahkan kami pun terkejut dengan laju perlambatan pertumbuhan," lanjutnya.
Beberapa ekonom memperingatkan target pertumbuhan pemerintah sekitar 5% untuk tahun ini bisa meleset karena stimulus kebijakan dari Beijing tidak akan cukup untuk menstabilkan perekonomian.
Meskipun data terbaru menunjukkan tanda-tanda perbaikan perekonomian, beberapa ekonom mengatakan diperlukan lebih banyak dukungan kebijakan untuk sektor properti yang lesu. Sektor ini menyumbang sekitar seperempat perekonomian China.
Para ekonom juga memangkas perkiraan inflasi harga konsumen menjadi 0,6% untuk tahun ini dan 1,9% untuk tahun depan, turun dari perkiraan sebelumnya sebesar 1,1% dan 2,1% Meskipun inflasi rendah, bank sentral China diperkirakan akan mempertahankan suku bunga utamanya pada sisa tahun ini.
Ketika ditanya apakah akan ada paket stimulus ekonomi yang agresif dari pihak berwenang, lebih dari tiga perempat ekonom menjawab tidak.
“Pemerintah daerah, yang bertanggung jawab atas 85% pengeluaran, mempunyai utang yang sangat besar. Hal ini membatasi kemampuan untuk memberikan stimulus yang berarti tanpa semakin melemahkan keuangan mereka yang sudah rapuh,” kata Teeuwe Mevissen, ahli strategi makro senior di Rabobank dalam sebuah pernyataan. (WHY)