Ekonomi yang Harus Dibayar akibat Banjir dan Cuaca Ekstrem
Banjir masih mengintai akibat cuaca ekstrem dan berpotensi menimbulkan kerugian mencapai 40% dari PDB nasional di tahun 2050.
IDXChannel - Ibu Kota Jakarta masih diguyur hujan dalam beberapa hari terakhir. Banjir masih mengintai warga urban menyebabkan aktivitas sehari-hari jadi terganggu.
Beberapa titik di Ibu Kota terendam banjir selama beberapa hari dalam sepekan terakhir. Kemacetan parah pun terjadi imbas banjir yang menggenangi ruas jalan ibu kota.
Terpantau beberapa ruas jalan yang tergenang di antaranya Jalan Pangeran Antasari, Jalan RS Fatmawati, Jalan Tegal Parang. Di Jalan Kemang Timur 1, banjir membuat jalan tidak bisa dilewati kendaraan.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat sejumlah wilayah tergenang banjir imbas Bendungan Katulampa siaga 1. Berdasarkan data Senin (10/10/2022) pukul 15.00 WIB sebanyak 12 RT di Jakarta Timur masih tergenang imbas luapan Kali Ciliwung dengan ketinggian bervariasi.
"BPBD mencatat genangan yang sebelumnya terjadi di 63 RT, saat ini menjadi 12 RT atau 0,039% dari 30.470 RT yang ada di wilayah DKI Jakarta," kata kata Kepala Pelaksana BPBD DKI Isnawa Adji dalam keterengannya.
Sebelumnya, banjir di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan menyebabkan siswa di sebuah madrasah tsanawiyah negeri menjadi korban tewas. Kejadian nahas ini akibat korban tertimpa runtuhan tembok bangunan sekolah.
Tak hanya di Jakarta, bahaya bencana alam akibat perubahan iklim mengintai di seluruh Tanah Air.
Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Guswanto mengatakan perubahan cuaca ekstrem berpotensi tinggi menimbulkan bencana hidrometeorologi.
Hal tersebut perlu antisipasi melalui kesiapan infrastruktur untuk meminimalisir jatuhnya korban, baik korban material, maupun korban manusia.
Guswanto menjelaksan bencana hidrometeorologi merupakan bencana alam seperti banjir, longsor, banjir bandang, puting beliung, banjir rob dan lain sebagainya.
"Misal cuaca ekstrem ini faktornya curah hujan, curah hujan yang jatuh ini tentu akan mendapatkan respon, tentu akan mengalir, menguap, atau meresap," ujar Guswanto dalam Market Review IDXChannel, Selasa (11/10/2022).
Bencana Alam Akibat Perubahan Iklim Bakal Mengancam Pertumbuhan PDB
Menurut data BNPB, kejadian bencana yang dipicu oleh faktor cuaca seperti banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor mendominasi sejak 1 Januari hingga 9 Oktober 2022.
Dilansir laman BNPB, Senin, (10/10), bencana banjir terjadi sebanyak 1.083 kali peristiwa, cuaca ekstrem 867 dan tanah longsor 483 kejadian. Selain itu disusul bencana karhutla sebanyak 239 kejadian, gempabumi dan gunungapi 21, gelombang pasang atau abrasi 21 dan kekeringan 4 kejadian.
Akibat dari rentetan bencana tersebut, sebanyak 160 jiwa meninggal dunia, 28 hilang, 790 luka-luka dan 3.193.001 terdampak bencana.
Kerugian yang ditimbulkan atas bencana selama 10 bulan ini meliputi 31.170 rumah rusak, 882 fasilitas rusak, 501 fasilitas pendidikan rusak, 306 rumah ibadah rusak, 75 fasilitas kesehatan rusak, 137 kantor rusak dan 137 jembatan rusak.
Lebih mengerucut, Kepala BNPB menerangkan bahwa selama sepekan terakhir, atau tepatnya sejak tanggal 3 sampai 9 Oktober 2022, telah terjadi 66 kejadian bencana hidrometerologi basah yang meliputi 35 kejadian bajir, 16 tanah longsor dan 15 cuaca ekstrem.
Dari seluruh kejadian itu, ada sebanya 9 jiwa meninggal dunia, 1 hilang dan 151.156 warga terdampak.
Tak hanya korban jiwa, kerugian ekonomi akibat bencana alam ini ditaksir fantastis.
Hasil kajian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan dampak perubahan iklim berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi Indonesia hingga Rp544 triliun selama 2020-2024.
Jumlah ini bahkan lebih tinggi dari anggaran subsidi energi dan kompensasi sebesar Rp520 triliun untuk tahun 2022. (Lihat tabel di bawah ini.)
Sementara selama periode 2010-2020, rata-rata kerugian ekonomi yang dialami oleh Indonesia akibat bencana hidrometeorologi setiap tahunnya yaitu sebesar Rp22,8 triliun.
Secara rinci, menurut Bappenas, terdapat empat sektor prioritas yang diperkirakan akan mengalami kerugian signifikan.
Pertama, dampak terhadap pesisir dan laut yang diperkirakan memiliki tingkat kerugian di sisi ekonomi paling tinggi. Bappenas memperkirakan kerugian akibat perubahan iklim di sektor ini mencapai Rp408 triliun.
Kedua, sektor pertanian dengan total kerugian diperkirakan sebesar Rp78 triliun. Ketiga, sektor kesehatan yang akan rawan memunculkan wabah penyakit dengan total kerugian di sisi ekonomi mencapai Rp31 triliun.
Keempat, sektor pengairan. Bappenas memperkirakan dampak perubahan iklim bisa memicu penurunan ketersediaan air hingga Rp28 triliun.
Mengutip laman Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, pemerintah Indonesia sebenarnya telah mengalokasikan dana untuk mengatasi tantangan dari adaptasi perubahan iklim.
Tetapi, negara hanya dapat memenuhi 34% dari kebutuhan pendanaan tersebut.
Dampak dari bencana dan perubahan iklim menyebabkan kerugian mencapai 40% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2050, menurut Bank Indonesia. Kondisi ini belum dibarengi jika tahun depan terjadi resesi dan memangkas realisasti pertumbuhan PDB RI.
Sedangkan pertumbuhan PDB Indonesia saat ini sebagian besar masih sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam.
Di sisi lain, kemampuan dan daya dukung lingkungan sedang terus mengalami penurunan dan terancam oleh dampak perubahan iklim. Hal ini juga diperburuk dengan peningkatan laju degradasi dari sumber daya alam (SDA).
Sungguh dilema yang dihadapi oleh perekonomian Tanah Air. Di satu sisi, hasil eksploitasi alam masih menjadi penopang utama ekonomi nasional. Namun, di sisi lain, kegiatan ekonomi ekstraktif seperti ini berkontribusi signifikan terhadap cuaca ekstrem dan bencana alam. (ADF)