Era Suku Bunga Tinggi, Pasar Properti Asia-Pasifik Terguncang Jelang Akhir 2023
Investasi properti yang melibatkan gedung perkantoran, mal, dan aset komersial lainnya terpantau lesu di kawasan Asia Pasifik memasuki kuartal III-2023.
IDXChannel - Investasi properti yang melibatkan gedung perkantoran, mal, dan aset komersial lainnya terpantau lesu di kawasan Asia Pasifik memasuki kuartal III-2023.
Hal tersebut terjadi di tengah kekhawatiran kenaikan suku bunga dan gejolak geopolitik yang mengancam pertumbuhan global.
Melansir Nikkei Asia Review, (11/12/2023) laporan perusahaan real estat komersial dan manajemen investasi JLL pada November 2023. Kondisi ini menunjukkan bahwa aktivitas investasi real estat komersial di kawasan Asia-Pasifik turun 22 persen dari tahun ke tahun (yoy) pada periode Juli hingga September.
Ini mewakili total kuartalan terendah sejak periode kuartal kedua pada 2010.
Penyedia data pasar MSCI Real Assets juga melaporkan transaksi properti komersial di Asia-Pasifik turun 37 persen dibandingkan dengan kuartal ketiga 2022. Ini juga menandai penurunan kuartal keenam berturut-turut dari tahun ke tahun.
“Narasi suku bunga 'lebih tinggi untuk jangka waktu lebih lama' yang muncul baru-baru ini menghancurkan harapan pemulihan yang lebih awal. Menjelang penurunan ini, Asia-Pasifik tertinggal dari negara-negara lain di dunia dalam hal penemuan harga. Namun prospek kuartal ketiga yang lebih suram tampaknya telah memberikan dorongan pada ekspektasi harga, dengan koreksi lebih lanjut di banyak sektor utama di kawasan ini,” kata Benjamin Chow, kepala penelitian aset riil Asia di MSCI.
MSCI melacak properti komersial dan portofolio bernilai USD10 juta atau lebih, sementara JLL memantau nilai kesepakatan di atas USD5 juta. Hasil amatan kedua perusahaan tersebut menunjukkan perlambatan dalam transaksi real estat dari Singapura hingga Korea Selatan.
Laporan tersebut juga menyoroti lemahnya selera risiko di kalangan investor dan terbatasnya ekspektasi penurunan suku bunga pada semester pertama tahun depan. Ini merupakan faktor-faktor yang meningkatkan tekanan bagi investor di sebagian besar pasar Asia-Pasifik untuk melepas aset dibandingkan membelinya.
Sektor Properti Komersial RI Ikut Terdampak
Laporan JLL menunjukkan bahwa selama kuartal ketiga tahun ini, Korea Selatan mencatat transaksi investasi properti senilai USD4,2 miliar, turun 35 persen pada tahun ini. Dengan investor institusi dalam negeri secara selektif meninjau aset-aset perkantoran.
Di Singapura, volume investasi properti komersial turun 11 persen dibandingkan tahun lalu menjadi USD2 miliar pada periode yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut membebani permintaan sewa kantor utama.
Sementara Indonesia juga mencatatkan volume pertumbuhan investasi properti komersial terlemah di banding sejumlah negara seperti China, Korea Selatan hingga Taiwan. (Lihat grafik di bawah ini.)
“Tingginya biaya utang, terutama suku bunga yang lebih tinggi, akan mengikis imbal hasil yang disesuaikan dengan risiko bagi sebagian investor, yang merasa lebih sulit untuk menjamin kesepakatan,” kata Pamela Ambler, kepala intelijen investor untuk Asia-Pasifik di JLL.
Pangsa akuisisi di Asia-Pasifik oleh investor global juga mendekati titik terendah sepanjang masa, yakni sebesar 6 persen.
“Tantangan perlambatan ekonomi, khususnya melemahnya permintaan global dan melemahnya ekonomi China dan mitra dagang lainnya juga dapat menghalangi minat investor terhadap real estat sampai batas tertentu,” tambahnya.
Bisnis Properti India Moncer
Para pengamat pasar juga telah memperhatikan beberapa titik terang di pasar Asia Selatan yang dipenuhi ketidakpastian.
Menurut Ambler, perekonomian Asia Selatan adalah penerima manfaat besar dari tren penghindaran risiko saat ini, dimana investor global mengurangi eksposur mereka ke China untuk membangun rantai pasokan yang tangguh di seluruh wilayah.
Fundamental ekonomi India yang kuat menarik investor asing untuk berinvestasi di perkantoran, fasilitas manufaktur, dan proyek infrastruktur.
“India memiliki niat membeli yang lebih kuat, sementara suku bunga Jepang yang rendah masih menarik modal internasional,” kata Chin dari CBRE.
Mengenai Jepang, Ambler menunjukkan bagaimana di dalam negeri, lingkungan suku bunga rendah, yang disebutnya sebagai "anomali global," menawarkan peluang lindung nilai mata uang untuk investasi real estat.
MSCI Real Assets, dalam laporan November juga mengatakan Jepang adalah pasar real estat komersial terbesar di Asia-Pasifik selama sembilan bulan pertama tahun ini baik dari segi volume kesepakatan maupun jumlah kesepakatan.
Dengan kesepakatan industri senilai USD1,9 miliar pada kuartal ketiga mendorong tahun- investasi hingga saat ini mencapai USD6 miliar, sebuah rekor dalam sembilan bulan sejak MSCI mulai mengumpulkan data pada 2007.
Sementara itu, India mencatatkan kenaikan volume yang dibantu oleh penjualan 50 persen saham portofolio perkantoran oleh Brookfield India Real Estate Trust kepada dana kekayaan negara Singapura, GIC, senilai USD683 juta.
MSCI mencatat bahwa volume investasi pasar Asia Selatan pada kuartal ketiga tahun ini lebih tinggi 50 persen dibandingkan rata-rata lima tahun pada kuartal yang sama sebelum pandemi COVID-19.
Ke depan, manajer investasi Colliers termasuk di antara segelintir analis di industri yang memperkirakan transaksi properti komersial akan terus meningkat di Asia-Pasifik tahun depan. Ini karena kesenjangan antara pembeli dan penjual yang menyempit dan semakin banyak investor yang bergerak untuk mengerahkan modal untuk sektor properti. (ADF)