ECONOMICS

Erick Thohir Sebut BUMN Krisis Bos Perempuan, Bagaimana Faktanya?

Maulina Ulfa - Riset 23/12/2022 13:38 WIB

Diperkirakan bahwa kesenjangan gender merugikan perekonomian sekitar 15% dari PDB.

Erick Thohir Sebut BUMN Krisis Bos Perempuan, Bagaimana Faktanya? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan kesedihannya lantaran minimnya peran perempuan di posisi puncak BUMN.

Menurutnya, hingga Desember 2022 kepemimpinan perempuan di BUMN baru mencapai 15% atau belum memenuhi potensinya.Di sisi lain, kalangan muda direksi di BUMN saat ini telah mencapai 9 persen, hampir mencapai target 10 persen pada 2023.

"Saya sedih karena kita sudah mengupayakan mati-matian, kita intervensi, tapi datanya ini sudah mulai Desember 2022, kepemimpinan perempuan, direksinya masih 15%," ujarnya di gedung Landmark Tower, Jakarta, Kamis (22/12/2022).

Riset World Economic Forum mencatat, dari 156 negara, Indonesia menempati ranking 101 soal isu kesetaraan gender. Dengan dasar itu Kementerian BUMN terus mendorong isu kesetaraan gender harus jadi program prioritas.

Kepemimpinan perempuan di BUMN yang ditargetkan mencapai 25 persen diharapkan bisa mendorong perbaikan ekosistem transformasi soal kesetaraan gender.

Erick mengungkapkan, di perusahaan pelat merah pun pada bidang usaha yang dianggap berat seperti sektor karya maupun transportasi juga dipimpin oleh seorang wanita.

"Banyak direksi yang nggak yakin bisa pimpin sektor yang keras. Di karya ada. Pabrik dipimpin perempuan ada sekarang. Dan saya sudah menyaksikan ketika saya turun dimana-mana ada. Artinya bisa," sebutnya.

Pentingnya Gender Balance

Perempuan menghadapi hambatan yang cukup besar ketika ia ingin mencapai puncak kepemimpinan suatu organisasi, seperti di perusahaan maupun instansi pemerintah.

Banyak data menunjukkan hal itu. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 hanya 39,52% atau 51,79 juta penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja adalah perempuan.

Dari jumlah itu, sebanyak 28,6% pekerja perempuan di Indonesia merupakan tenaga usaha penjualan.

Kemudian jumlah pekerja perempuan yang merupakan tenaga usaha tani, kebun, ternak, ikan, hutan, dan perburuan mencapai 24,38%.

Adapun sejumlah 20,51% perempuan bekerja menjadi tenaga produksi, operator alat angkutan, dan pekerja kasar.

Hanya sejumlah 10,48% pekerja perempuan yang menjadi tenaga profesional, teknisi dan tenaga lainnya.

Berdasarkan potret itu, banyak pekerja perempuan yang menempati posisi-posisi informal dan rentan. Posisi tersebut sulit menempatkan perempuan pada peran kepemimpinan.

Padahal, dampak ekonomi perempuan cukup signifikan bagi pertumbuhan PDB. Ketika lebih banyak perempuan bekerja, ekonomi tumbuh.

Menurut UN Women, pemberdayaan ekonomi perempuan meningkatkan produktivitas, meningkatkan diversifikasi ekonomi dan kesetaraan pendapatan selain hasil pembangunan positif lainnya.

Sebagai contoh, meningkatnya tingkat pekerjaan perempuan di negara-negara OECD dapat meningkatkan PDB hingga lebih dari USD6 triliun.

Diperkirakan bahwa kesenjangan gender merugikan perekonomian sekitar 15% dari PDB.

Riset World Bank menunjukkan, dengan dua pertiga penduduk perempuan Indonesia saat ini berada pada kelompok usia produktif 15-64 tahun, terdapat potensi yang sangat besar untuk percepatan pertumbuhan dengan menghilangkan hambatan partisipasi ekonomi mereka.

Misalnya, jika Indonesia dapat meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan hanya sebesar 25% pada 2025, hal itu dapat menghasilkan tambahan aktivitas ekonomi sebesar USD62 miliar dan meningkatkan PDB sebesar 2,9%.

Namun, kondisi memburuk bagi pekerja perempuan ketika pandemi Covid-19 datang. Riset PwC tahun ini menemukan, rata-rata skor Women in Work Index di 33 negara-negara OECD turun untuk pertama kalinya menjadi 64 dari sebelumnya 64,5 pada tahun 2019.

Faktor utama penyebabnya adalah meningkatnya angka pengangguran dan tingkat partisipasi perempuan bekerja yang lebih rendah selama tahun 2020.

Sekitar 4,3 juta lebih perempuan menganggur di tahun pandemi dan lebih lanjut 3,2 juta wanita memilih untuk tidak bekerja antara tahun 2019 dan 2020. (Lihat grafik di bawah ini.)

Sementara, menurut indeks Women, Business and the Law 2022 (WBL2022) yang dikeluarkan World Bank tahun ini mencatat skor Indonesia berada di posisi 64,4 dari 100. Skor keseluruhan untuk Indonesia lebih rendah dari rata-rata regional di seluruh Asia Timur dan Pasifik sebesar 71,9.

Indeks ini menggambarkan bagaimana keterlibatan perempuan di dunia kerja dan pengambilan keputusan di sektor bisnis. Semakin tinggi skor, maka semakin besar peran perempuan di dalamnya.

Hanya segelintir perempuan saja yang bisa masuk ke jajaran pengusaha atau pemimpin di sebuah orgaisasi.

Tahun ini, Forbes kembali merilis daftar orang terkaya di Indonesia 2022. Dari rilis itu, terdapat nama pengusaha wanita yang memiliki kekayaan hingga puluhan triliunan rupiah, namun jumlahnya minim.

Pertama adalah Marina Budiman, pengusaha berusia 60 tahun dengan kekayaan sekitar USD1,4 miliar, setara Rp20,8 triliun dan menduduki posisi ke-22 orang terkaya di Indonesia.

Ia adalah bos perusahaan pusat data PT DCI Indonesia Tbk (DCII) dan menjabat sebagai presiden komisaris perusahaan ini.

Selain Marina Budiman, ada Arini Subianto dan Kartini Muljadi.

Berdasarkan data Forbes, Arini Subianto adalah pengusaha berusia 51 tahun dengan kekayaan USD975 juta atau sekitar Rp14,4 triliun. Ia adalah bos dari Persada Capital Investama yang bergerak di sektor perkebunan sawit, investasi, pertambangan batu bara, dan pengolahan kayu.

Ketiga adalah Kartini Muljadi. Kekayaan Kartini mencapai USD695 juta atau sekitar Rp9,99 triliun. Pengusaha wanita berusia 92 tahun ini merupakan pemilik perusahaan farmasi PT Tempo Scan Pasific Tbk (TSPC).

Di jajaran BUMN, Nicke Widyawati, selaku bos PT Pertamina masuk dalam jajaran 100 wanita paling berpengaruh di dunia versi Forbes.

Ia masuk di urutan ke 49 dalam daftar yang dirilis oleh Forbes lewat laporan terbarunya bertajuk 'The World's 100 Most Powerful Women'. (ADF)

SHARE