ESDM Targetkan Perpres Carbon Capture and Storage Rampung Februari 2024
ESDM berencana untuk segera menerbitkan rancangan peraturan presiden (perpres) tentang pengembangan Carbon Capture and Storage (CCS).
IDXChannel - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana untuk segera menerbitkan rancangan peraturan presiden (perpres) tentang pengembangan Carbon Capture and Storage (CCS) atau penangkapan dan penyimpanan karbon di Tanah Air.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji berharap, perpres tersebut dapat diterbitkan dalam waktu dekat.
"Rancangan Perpres CCS mudah-mudahan bisa segera terbit. Kalau nggak bulan ini (Januari), bulan depan (Februari)," jelasnya dalam Capaian Sektor ESDM Tahun 2023 dan Program Kerja Tahun 2024 sub sektor Minyak dan Gas Bumi di Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas), Jakarta, Selasa (16/1/2024).
Tutuka menuturkan, Perpres tersebut merupakan payung hukum yang diperluas dari Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 2 tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, Serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Katanya, dengan adanya aturan baru ini maka memungkinkan dilakukannya aktivitas cross-border karbondioksida (CO2). Artinya, dimungkinkan terjadinya perdagangan lintas negara. Selaras dengan itu, dimungkinkan untuk negara lain menyimpan karbonnya di Indonesia.
"Dimungkinkan lakukan cross-border CO2. Misalnya satu KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) punya partner yang punya banyak produksi CO2. Tapi tidak punya area untuk diinjeksikan. Itu bisa dari luar negeri dibawa ke Indonesia. Tapi aturannya pertama harus ada G2G (Government to Government)," terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Teknik dan Lingkungan Minyak dan Gas Bumi, Mirza Mahendra mengatakan, meskipun ada kesempatan untuk dilakukannya cross-border CO2, yang ditekankan adalah pihak yang melakukan investasi di dalam negeri.
"Artinya, pihak asing yang ingin mengirim CO2 harus memiliki afiliasi atau investasi dalam proyek di Indonesia," urai Mirza.
Mirza menambahkan, mekanisme kerja cross-border akan dilaksanakan melalui kerjasama G2G yang tertuang dalam perjanjian internasional. Setelah mendapatkan persetujuan G2G, barulah dilanjutkan dengan kerjasama B2B.
Sehingga, proses cross-border tidak dapat dilakukan dengan mudah dan memerlukan persetujuan dan pertimbangan yang cermat, termasuk melalui mekanisme G2G.
“Jadi, kita nggak serta merta. Mungkin ada beberapa isu kemarin apakah serta merta langsung orang bisa menyampaikan? Tidak, harus ada G2G-nya dulu. Government to government seperti apa mengenai tanggung jawab terkait keselamatan dan lain sebagainya,” tutup Mirza.
(SLF)