ECONOMICS

Faisal Basri: Setiap Hari Ada Kebijakan yang Proyeknya Tidak Ramah Lingkungan

Oktiani Endarwati 19/03/2021 23:30 WIB

Faisal Basri menuding ada tumpang tindih antar aturan di Indonesia, terutama terkait dengan lingkungan hidup.

Faisal Basri: Setiap Hari Ada Kebijakan yang Proyeknya Tidak Ramah Lingkungan. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Indonesia telah bergabung dalam Paris Agreement dengan target penurunan emisi dari kegiatan transportasi, kelistrikan, dan industri pada tahun 2030 sebesar 314 juta ton karbondioksida. Namun, diduga masih ada tumpang tindih dalam kebijakan energi di tanah air.

Ekonom Senior, Faisal Basri, menilai ada kebijakan proyek-proyek sektor energi yang bertentangan dengan komitmen tersebut. Bahkan beberapa proyek masuk dalam proyek strategis nasional (PSN).

"Saya lihat bertentangan dengan komitmen dalam Paris Agreement. Setiap hari muncul kebijakan yang proyek-proyeknya tidak ramah lingkungan," ujarnya dalam webinar Energi Terbarukan Kunci Pemulihan Ekonomi Indonesia, Jumat (19/3/2021).

Dia memaparkan, pemerintah perlu meninjau kembali pembangunan kilang. Menurut dia, tidak perlu meneruskan rencana revitalisasi empat Refinery Development Master Plan (RDMP) dan dua kilang baru secara simultan. Lebih baik dialihkan separuhnya untuk energi baru terbarukan (EBT) dan green energy.

Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga hendak merealisasikan secara penuh program mandatori biodiesel 30 persen (B30), B40, bahkan B100. Menurut Faisal, program biodiesel bukanlah solusi melainkan untuk menekan impor minyak sehingga memperbaiki transaksi perdagangan.

"Saya sudah peringatkan bahwa ini tidak sustainable karena membutuhkan subsidi yang lebih berat," ungkapnya.

Indonesia juga berambisi mengembangkan secara besar-besaran industri mobil listrik yang ditopang oleh ambisi menjadi produsen baterai terbesar di Indonesia. Faisal menilai kebijakan ini akan menjadi percuma jika listrik yang dihasilkan masih berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara.

"Ya sama saja bohong kalau listriknya dari batubara. Bakal terjadi kekacauan kalau semua hendak diwujudkan dan menimbulkan ongkos ekonomi yang sangat mahal," tuturnya.

Dia menambahkan, proyek gasifikasi batubara “Coal to DME” di Tanjung Enim juga tidak menyelesaikan masalah. Menurut dia, harga DME dari proyek gasifikasi batu bara akan relatif jauh lebih mahal.

"Jadi proyek ini dijamin akan rugi karena bagaimanapun batu bara diolah dengan susah payah menjadi gas itu niscaya harganya jauh lebih mahal dari gas yang keluar dari perut bumi di negara-negara Timur Tengah," tandasnya. (TYO)

SHARE