ECONOMICS

Fenomena Dedolarisasi, Mungkinkah Dominasi Greenback Berhasil Dilengserkan?

Maulina Ulfa - Riset 28/04/2023 07:30 WIB

Riuhnya wacana soal dedolarisasi menyebabkan gonjang-ganjing dalam beberapa waktu terakhir.

Fenomena Dedolarisasi, Mungkinkah Dominasi Greenback Berhasil Dilengserkan? (Foto: MNC Media)

IDXChannel – Riuhnya wacana soal dedolarisasi menyebabkan gonjang-ganjing dalam beberapa waktu terakhir. Wacana ini muncul setelah China dengan gencar mencoba mengimbangi dominasi dolar Amerika Serikat (AS) melalui sejumlah langkah diplomatik.

Terbaru, wacana dedolarisasi menguat setelah kelompok negara BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan berupaya mengurangi penggunaan dolar AS sebagai alat transaksi perdagangan antar negara tersebut.

Lalu sejauh mana wacana dedolarisasi ini dapat menjadi ancaman bagi the greenback? Apa saja prasyarat dedolarisasi dapat berhasil menghalau dominasi dolar?

Fenomena Dedolarisasi

Beberapa negara telah bersepakat untuk menggunakan mata uang non dolar AS dalam kegiatan perdagangan mereka. Beberapa di antaranya adalah:

1. China

China dilaporkan terus mengurangi kepemilikan cadangan devisa dalam bentuk USD dalam beberapa waktu terakhir. China menjadi negara yang sejak lama menjadi pemegang teresar surat berharga AS. Nilainya mencapai USD849 miliar hingga Februari 2023. Namun, angka ini menjadi yang terendah sejak 12 tahun terakhir

China juga mulai gencar meningkatkan perdagangan dengan negara lain menggunakan mata uang Renminbi (RMB). Beberapa kesepakatan perdagangan menggunakan mata uang lokal di antaranya dengan Rusia, Brasil, India, dan bahkan Indonesia.

2. Brasil

Brazil mulai mencontoh apa yang dilakukan China dengan mulai mengurangi penggunaan dolar dalam perdagangan internasionalnya. Presiden Brasil, Lula da Silva, menyerukan pengurangan ketergantungan pada dolar AS untuk perdagangan global saat melakukan kunjungan kenegaraan ke Beijing pada April 2023.

Perdebatan tentang potensi matinya hegemoni dolar AS kian menguat setelah Brasil dan China mengumumkan kesepakatan untuk tidak menggunakan dolar AS dalam perdagangan senilai USD150 miliar mereka.

3. Rusia

Mencoloknya dukungan China ke Rusia, serta sanksi Barat terhadap Rusia akibat invasinya ke Ukraina menyebabkan hubungan Beijing dengan Moskow kian erat. Termasuk dalam hal perdagangan, mata uang China telah menggantikan dolar AS sebagai instrumen yang paling banyak diperdagangkan di Rusia. Yuan China telah melampaui dolar dalam volume perdagangan sejak Februari 2023.

4. India

India mulai menjalin kerja sama penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dan investasi dengan China.

Bank sentral India, Reserve Bank of India (RBI) di akhir Maret lalu juga disebut telah menyetujui bank sentral dari 18 negara termasuk Tanzania, Kenya dan Uganda untuk membuka Vostro Rupee Accounts (SVRA) khusus yang akan memungkinkan mereka menyelesaikan pembayaran dalam rupee India sebagai bagian dari langkah besar untuk dedolarisasi perdagangan.

5. Indonesia

Indonesia juga mulai menjajaki kemungkinan untuk menerapkan kerja sama penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan dan investasi dengan sejumlah negara, seperti Jepang, China, dan Thailand. Indonesia bahkan sudah meningkatkan kerjasama penggunaan mata uang lokal dalam transaksi pembayaran ritel antar negara dengan Thailand. 

6. Negara-negara ASEAN

Pada Maret lalu, para menteri keuangan dan bank sentral ASEAN di Indonesia melakukan pertemuan dan membahas gagasan untuk mengurangi ketergantungan negara-negara ASEAN terhadap dolar AS, yen Jepang, dan euro melalui kerja sama transaksi dengan menggunakan mata uang lokal.

Daya Tarik dan Kerentanan Dolar

Dolar AS dikenal sebagai instrument investasi safe haven di kalangan para investor. Penggunaan dolar sebagai alat tukar dominan dimulai pasca Perang Dunia II.

Delegasi dari 44 negara Sekutu bertemu di Bretton Wood, New Hampshire, pada tahun 1944 yang menyepakati sistem pengelolaan devisa yang tidak merugikan negara lain. Dalam pertemuan tersebut, kemudian memutuskan bahwa mata uang dunia tidak lagi dikaitkan dengan emas tetapi menggunakan dolar AS.

Melansir analisis JP Morgan, Dolar AS terapresiasi lebih dari 12% sepanjang 2022, dan mencapai level tertinggi dua dekade pada September 2022. Namun, performa greenback tetapi cenderung melemah pasca itu.

Setelah kenaikan bersejarah menjelang akhir 2022, indeks dolar turun hampir 7% antara November 2022 hingga Januari 2023. Pelemahan ini mencerminkan pembalikan rata-rata dari keuntungan besar dolar sepanjang 2022.

“Sentimen yang mendukung dolar di awal tahun 2022 telah terbalik. Pasar sekarang secara agresif menilai pelonggaran The Fed di balik tanda-tanda disinflasi yang berkembang, sementara prospek pertumbuhan global tahun ini tidak lagi terlihat pesimistis seperti sebelumnya pada 2022,” kata Meera Chandan, Ahli Strategi FX Global di J.P. Morgan.

Secara keseluruhan, J.P. Morgan Research masih memperkirakan kekuatan dolar yang moderat sepanjang tahun ini. Dalam melihat kondisi volatilitas pasar uang, J.P. Morgan Research mengambil sikap netral terhadap USD.

Setelah terus naik sepanjang tahun 2021, indeks dolar (DXY) menunjukkan awal yang solid hingga 2022. Indeks Dolar AS menguat dari titik terendah 94,63 pada pertengahan Januari ke level tertinggi 20 tahun, lebih dari 114 pada akhir September 2022. (Lihat grafik di bawah ini.)

Beberapa faktor makro utama memengaruhi pergerakan nilai USD terhadap mata uang lainnya. Misalnya, keputusan kebijakan moneter yang dibuat oleh The Federal Reserve (The Fed), yang juga bergantung pada latar belakang makroekonomi dan data.

Peristiwa politik, serta peristiwa geopolitik, juga dapat memengaruhi dolar AS. Status global USD juga ditopang oleh kekuatan ekonomi AS dan perubahan nilainya sehingga berimplikasi pada ekonomi global.

Misalnya, ketika inflasi AS meningkat, dan The Fed menaikkan suku bunga untuk mengendalikan harga konsumen, nilai dolar sering kali naik.

Ini karena suku bunga yang lebih tinggi akan menarik investasi asing ke negeri Paman Sam untuk kemudian mengangkat permintaan mata uang.

Sebaliknya, ketika suku bunga diturunkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi, investor dapat mencari untuk berinvestasi di negara lain dan menyebabkan dolar kembali turun.

Akankah Dedolarisasi Berhasil?

Fungsi utama mata uang adalah sebagai penyimpan nilai yang dapat disimpan dan diambil kembali di masa depan tanpa kehilangan daya beli yang signifikan.

Salah satu ukuran kepercayaan terhadap mata uang sebagai penyimpan nilai adalah penggunaannya dalam cadangan devisa resmi.

Data IMF juga menunjukkan, pangsa dolar AS sebagai mata uang global menurun menuju ke level terendah sejak 1994.

Hingga kuartal terakhir 2022, dolar masih mendominasi cadangan devisa resmi dengan pangsa sebesar 58,36%. Angka ini jauh mengalahkan dominasi RMB China yang hanya berada dikisaran 2,69%. Sementara Euro masih menempati urutan kedua dengan pangsa mencapai 20,47%. (Lihat grafik di bawah ini.)

 

Greenback juga mendominasi mata uang yang digunakan dalam perdagangan global dan arus modal selama beberapa dekade.

Saat ini, USD digunakan dalam 84,3% perdagangan lintas batas, dibandingkan dengan hanya 4,5% untuk yuan China.

Dominasi dolar AS dalam perdagangan global bukan hanya karena AS adalah ekonomi terbesar dunia, tetapi karena minyak dan sejumlah komoditas lainnya diperdagangkan dengan dolar AS.

Namun, banyak negara kini mulai mencari cara mulai mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS atau dedolarisasi. Fenomena ini tampaknya akibat ketidakpastian perekonomian negeri Paman Sam dan untuk mengurangi dampak rambatan kebijakan AS yang selama ini mempengaruhi perekonomian banyak negara. 

“Dengan mendiversifikasi cadangan kepemilikan mereka ke dalam portofolio yang lebih banyak jenis mata uang, mungkin mereka dapat mengurangi tekanan pada sektor eksternal mereka,” kata Cedric Chehab dari Fitch Solutions.

Penggunaan dolar sebagai cadangan devisa global juga sempat jatuh sejak 1978 dari posisinya yang mencapai 85%. Dolar AS bahkan mencapai titik terendahnya pada 1991 dengan pangsa hanya mencapai 46% dari total cadangan devisa global.

Namun, dolar sempat memantul naik kembali sejak itu hingga era 2000-an, lalu mengalami tren penurunan. 

Secara tren dalam dua tahun terakhir, terjadi penurunan pangsa dolar AS di mana domiansi greenback telah diambil alih oleh beberapa mata uang.

Jadi, beberapa negara telah berupaya mendiversifikasi kepemilikan cadangan devisa mereka selama dua dekade terakhir, meskipun dolar tetap menjadi mata uang cadangan yang dominan. (Lihat grafik di bawah ini.)

Riset Macquarie pada awal April lalu sempat menyatakan, tidak ada mata uang, termasuk RMB, yang saat ini dapat menantang USD.

“Menurut kami itu tidak akan terjadi. Meskipun ada upaya internasionalisasi yang kuat, RMB tetap menjadi pemain yang relatif kecil dalam ekonomi global baik sebagai mata uang transaksi maupun penyimpan nilai aset,” kata laporan Macquarie, Rabu (5/4/2023).

Menurut Macquarie, terlepas dari semakin banyaknya perjanjian perdagangan, saat ini RMB hanya mencakup 17% dari perdagangan China dan menyumbang sekitar 2% dari perdagangan global.

Riset Carnegie Endowment for International Peace mengemukakan, melengserkan dolar sebagai mata uang global berarti harus mengubah pola perdagangan internasional.

Dalam risetnya, Carnegie Endowment menyebut dolar adalah mata uang yang paling banyak digunakan dalam perdagangan internasional bukan hanya karena efek jaringan, tetapi juga karena alasan lain yang sulit ditiru oleh negara lain, terutama negara seperti China.

Dunia menggunakan dolar karena AS disebut memiliki pasar keuangan yang paling fleksibel, tata kelola perusahaan yang paling jelas dan paling transparan, dan sedikitnya diskriminasi antara investor domestik dan asing.

Meski demikian, Joseph Sullivan, dalam pernyataanya di Foreign Policy, Senin, (24/4/2023) mengatakan, dedolarisasi dapat menjadi kenyataan karena alternatif mata uang yang dicanangkan BRICS punya prospek keberhasilan tinggi.

Pakar ekonomi di Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih selama pemerintahan Donald Trump ini menyebut mata uang yang digagas BRICS  akan menjadi ancaman unik bagi dominasi dolar AS.

Dominasi dolar juga kian terkikis saat The Fed semakin agresif dalam menaikkan suku bunga. Ini juga memicu kekhawatiran dampak rambatan terhadap perekonomian negara jika terlalu bergantung terhadap dolar AS. (ADF)

SHARE