Gonjang Ganjing Utang Amerika Serikat, Perlukah RI Khawatir?
Amerika Serikat (AS) terancam gagal membayar utang jatuh tempo atau default pada awal Juni mendatang.
IDXChannel - Amerika Serikat (AS) terancam gagal membayar utang jatuh tempo atau default pada awal Juni mendatang.
Polemik seputar plafon utang alias debt ceiling juga masih memanas antara pemerintahan Biden berhadapan dengan parlemen AS.
Kisruh utang negeri Paman Sam tampaknya akan memiliki efek panjang. Dampak dari adanya gonjang-ganjing utang ini dikhawatirkan akan berdampak secara luas terhadap perekonomian global.
Lalu seperti apa posisi Indonesia di tengah krisis utang AS? Perlukah RI khawatir?
Kondisi Utang AS
Di tengah isu gonjang-ganjing utang, AS merupakan salah satu negara adidaya yang memiliki anggaran pemerintahan jumbo. APBN AS dialokasikan untuk kepentingan negara-negara federal yang mencakup banyak wilayah bagian.
Sebagai informasi, saat ini, utang AS tembus USD31,46 triliun, yang artinya setiap penduduk Amerika menanggung utang sebesar USD 94.194 atau setara Rp1,38 miliar (kurs 14.707 per USD). Angka ini bahkan diprediksi bisa melonjak 195% pada 2053 nanti. (Lihat grafik di bawah ini.)
Mengutip data Departemen Keuangan AS, utang publik AS selama ini dalam bentuk Treasury Bills, Notes, Bonds, Treasury Inflation-Protected Securities (TIPS), Floating Rate Notes (FRNs), Domestic Series, Foreign Series, State and Local Government Series (SLGS), United States Savings Securities, dan sebagian Government Account Series (GAS) securities.
Treasury Bills atau obligasi pemerintah AS selama ini menjadi favorit para investor, termasuk di antaranya negara-negara besar yang mengalokasikan uangnya pada instrumen ini.
Jika AS mengalami default, beberapa negara terancam tidak mendapatkan pengembalian investasi. Mengutip data yang dirilis oleh Kementerian Keuangan AS yang dirilis 15 Maret 2023, berikut daftar negara yang memiliki kepemilikan Treasury maupun pemberi utang negeri Paman Sam:
Data terbaru menunjukkan, imbal hasil (yield) Treasury tenor 30 tahun turun 0,017 poin persentase menjadi 3,713% pada Rabu (3/5/2023).
Sementara yield Treasury tenor 2 bulan melonjak pada Rabu (3/5/2023) di tengah meningkatnya kekhawatiran default utang AS. Imbal hasil Treasury tenor 2 bulan yang jatuh tempo pada 27 Juni mendatang, naik 27 bps menjadi 5,254%.
Sementara itu, yield Treasury tenor 10 Tahun berada di level 3,38%, menurun tipis dibandingkan dengan 3,44% per 3 Mei 2023. Namun, angkanya masih tinggi dibandingkan setahun lalu di level 2,97%. Meski demikian, ini lebih rendah dari rata-rata yield jangka panjang sebesar 4,25%. (Lihat grafik di bawah ini.)
Banyak analis menggunakan obligasi Treasury tenor 10 Tahun sebagai patokan investasi bebas risiko dalam menilai pasar keuangan.
Secara historis, tingkat Treasury tenor 10 Tahun sempat mencapai 15,84% pada 1981 karena The Fed menaikkan suku bunga acuan dalam upaya untuk menahan inflasi.
Dampak yang Perlu Diwaspadai
Analisis Brooking Institution menegaskan, efek ekonomi dari peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya ini pasti akan negatif.
Namun, ada sejumlah besar ketidakpastian seputar kerusakan yang akan ditimbulkan ekonomi AS jika pemerintah AS tidak mampu membayar semua tagihannya. Ini bergantung pada berapa lama situasi berlangsung, bagaimana dikelola, dan sejauh mana investor berubah arah.
“Jika pagu utang mengikat, dan Departemen Keuangan AS tidak memiliki kemampuan untuk membayar kewajibannya, efek ekonomi negatif akan meningkat dengan cepat dan berisiko memicu resesi yang dalam,” tulis Brooking Institution dalam analisisnya.
Dampak dari adanya default utang ini akan terasa langsung bagi perekonomian AS. Berikut 5 hal yang harus dialami masyarakat Amerika hingga dunia akibat gagal bayar utang.
1. Pembayaran jaminan sosial terhambat
Sekitar 66 juta pensiunan, pekerja disabilitas, dan lainnya menerima tunjangan Jaminan Sosial bulanan. Pembayaran rata-rata untuk pensiunan pekerja adalah USD1.827 per bulan pada 2023. Sekitar USD25 miliar atau setara Rp367,67 triliun (Kurs Rp14.707 per USD) dana jaminan sosial ditransfer per minggu
Hampir dua pertiga penerima manfaat bergantung pada Jaminan Sosial untuk setengah dari pendapatan mereka, dan untuk 40% penerima, pembayaran tersebut merupakan setidaknya 90% dari pendapatan mereka, menurut Komite Nasional Jaminan Sosial dan Medicare. Pembayaran ini dapat ditunda dalam skenario gagal bayar utang.
Banyak pembayaran pemerintah lainnya juga dapat terpengaruh. Seperti pendanaan kupon makanan; hibah federal kepada negara bagian dan kotamadya untuk Medicaid, jalan raya, pendidikan, dan program lainnya. Serta pembayaran medicare ke rumah sakit, dokter, dan paket asuransi kesehatan.
2. Tunjangan pegawai federal dan veteran terganggu
Lebih dari 2 juta pekerja sipil federal dan sekitar 1,4 juta anggota veteran militer aktif akan terdampak penundaan gaji. Kontraktor pemerintah federal juga dapat melihat keterlambatan dalam pembayaran, yang dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk memberikan kompensasi kepada pekerjanya.
Juga, tunjangan veteran tertentu seperti tunjangan cacat dan pensiun untuk beberapa veteran berpenghasilan rendah dan keluarga mereka yang masih hidup, dapat terpengaruh. Sekitar USD25 miliar gaji dan tunjangan pensiunan digelontorkan untuk program ini.
3. Pasar keuangan bergejolak
Investasi Amerika akan terkena pukulan langsung dari adanya risiko gagal bayar utang ini. Contoh kasus adalah pasar mengalami minggu terburuk sejak krisis keuangan selama kebuntuan plafon utang 2011 setelah penurunan peringkat Standard & Poor.
Bahkan jika kebuntuan plafon utang diselesaikan segera setelah gagal bayar, pasar saham bisa kehilangan sebanyak sepertiga dari nilainya. Itu akan menghapus sekitar USD12 triliun kekayaan rumah tangga, menurut Moody's Analytics.
4. Biaya imbal hasil (yield) obligasi meroket
Jika terjadi default, imbal hasil Treasury AS pasti akan naik untuk mengkompensasi peningkatan risiko pemegang obligasi.
Karena suku bunga pinjaman, kartu kredit, dan hipotek sering didasarkan pada imbal hasil Treasury, biaya pinjaman uang dan pelunasan utang akan meningkat.
Masyarakat dan bisnis juga akan lebih sulit mendapatkan persetujuan kredit karena bank harus lebih selektif tentang kepada siapa mereka meminjamkan uang. Ini karena biaya pinjaman juga akan meningkat dan membatasi jumlah uang yang dapat dipinjam.
5. Guncangan ekonomi lebih luas
Gagal bayar utang dapat memicu penurunan ekonomi, yang akan mendorong lonjakan pengangguran. Kondisi ini diperparah dengan kenaikan suku bunga dan tingginya inflasi yang saat ini membebani ekonomi.
Berapa banyak kerusakan yang akan terjadi tergantung pada berapa lama krisis berlanjut. Jika default berlangsung selama sekitar satu minggu, maka hampir 1 juta pekerjaan akan hilang, termasuk di sektor keuangan, yang akan terpukul keras oleh penurunan pasar saham.
Menurut analisis Moody’s, tingkat pengangguran juga akan melonjak menjadi sekitar 5% dan ekonomi akan berkontraksi hampir setengah persen.
Tetapi jika kebuntuan berlanjut selama enam minggu, maka lebih dari 7 juta pekerjaan akan hilang, tingkat pengangguran akan melonjak di atas 8% dan ekonomi akan turun lebih dari 4%. Tak hanya itu, efeknya masih akan terasa satu dekade dari sekarang.
“Ini akan menjadi pukulan telak bagi perekonomian, dan itu akan menjadi krisis manufaktur,” kata ekonom Moody's, Bernard Yaros.
Potensi Dampak buat RI
Kondisi potensi default di AS tidak serta merta memberi dampak langsung buat Indonesia.
Meski demikian, ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky melihat default di AS akan merembet ke pasar negara emerging market termasuk Indonesia.
"Kita belum tahu seberapa besar kemungkinan AS akan default. Walaupun dalam risiko yang sangat kecil, dampaknya akan besar ke sistem keuangan global baik dari sisi ketidakpastian maupun tingkat bunga yang akan melonjak tinggi karena resikonya akan sangat tinggi," kata Riefky, mengutip Katadata.co.id.
Minat investor asing ke pasar keuangan RI juga terpantau meningkat. Terlihat dari aliran modal asing yang cukup deras masuk ke pasar keuangan domestik meskipun jam perdagangan terhenti karena libur Lebaran.
Minat asing yang tinggi disinyalir karena kekhawatiran soal isu gagal bayar utang AS.
Bank Indonesia (BI) mencatat investor asing beli neto Rp 6,02 triliun di pasar keuangan domestik hanya dalam kurun dua hari perdagangan 26-27 April.
Modal asing ini masuk ke pasar SBN sebesar Rp 3,8 triliun dan pasar saham Rp 2,21 triliun.
Mengutip data Kementerian Keuangan, kepemilikan SBN domestik yang dapat diperdagangkan oleh investor non-residen atau asing per sektor maturity mencapai Rp820,93 triliun per Maret 2023. Angka ini meningkat dibanding bulan Februari 2023 dengan kepemilikan sebesar Rp804,32 triliun. (Lihat tabel di bawah ini.)
Dengan demikian, aksi beli neto d pasar keuangan domestik sudah mencapai Rp 74,36 triliun sedari awal tahun.
Ini menjadi sinyal bagus bagi pasar keuangan RI, ditambah karena kondisi utang dan fundamental ekonomi Indonesia jauh lebih baik dibandingkan sebagian besar negara maju.
Tercatat utang luar negeri Indonesia pada Februari 2023 juga turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir Februari 2023 tercatat sebesar USD400,1 miliar, turun dibandingkan posisi Januari 2023 sebesar USD404,6 miliar.
Perkembangan tersebut disebabkan oleh penurunan utang sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) maupun sektor swasta.
Sementara ekonomi Indonesia masih terpantau baik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka inflasi April 2023 sebesar 4,33%. Meskipun angka ini lebih tinggi dibandingkan periode April 2022 sebesar 3,47%, namun level ini masih dalam status terkendali.
Meski demikian, kondisi ekonomi global tidak bisa dianggap enteng karena saat ini pasar cukup reaktif dengan perkembangan utang AS. (ADF)