ECONOMICS

Harga Buah Sawit Riau Cetak Rekor Senilai Rp3.930 per Kilogram

Banda Haruddin/Kontri 02/03/2022 20:58 WIB

Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Provinsi Riau kembali mengalami kenaikan.

Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Provinsi Riau kembali mengalami kenaikan. (Foto: MNc Media)

IDXChannel - Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Provinsi Riau kembali mengalami kenaikan. Untuk periode 2 sampai 8 Maret 2022, harga pembelian TBS sawit Riau tembus di angka Rp 3.930,94 per kilogram. 

Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (P2HP) Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Defris Hatmaja mengatakan harga TBS yang hampir menyentuh Rp 4 ribu perkilogramnya ini merupakan harga tertinggi di Riau bahkan di Indonesia. 


"Untuk TBS kelompok umur 10 sampai 20 tahun naik sebesar Rp 250,78 atau mencapai 6,81 persen dari harga minggu lalu menjadi Rp 3.930,94 per kilogram. Harga TBS kali ini pecah rekor tertinggi se Indonesia," kata Defris Rabu (2/3/2022). 


Defris menambahkan, selain TBS, harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) juga tercatat mengalami kenaikan dibandingkan penetapan pekan lalu. 
Dimana harga CPO Riau untuk sepekan ke depan ditetapkan sebesar Rp 16.195,05 atau naik sebesar Rp 1.075,11 dari harga pekan lalu yakni Rp 15.119,94.


Selain ini kata Delfis, garga kernel juga tercatat mengalami kenaikan. Dimana pekan ini harga kernel ditetapkan sebesar Rp. 13.210,00 atau naik Rp 376,36 dari harga pekan lalu yakni Rp 12.833,64," ujarnya.

Atas kenaikan itu, petani petani merasa senang."Alhamudilah harga sawit terus. Tapi biasa harga pupuk akan semakin tinggi," kata petani Rumbai, Pekanbaru Aidel.

Sementara itu Wakil Ketua Umum Sawitku Masa Depanku (Samade), Abdul Aziz mengatakan ada sejumlah pihak yang justru tertekan dengan kondisi ini. Apa lagi, dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) saat ini. 


Aziz menyebut kebijakan DMO dan DPO itu mengharuskan korporasi memasok 20 persen CPO ke dalam negeri dengan harga Rp 9.300/kg. Selian itu, dalam kebijakan tersebut juga diatur harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sebesar Rp14 ribu perliter. Dengan kondisi harga CPO yang tinggi saat ini, tentu korporasi harus hitung hitungan untuk bisa tetap untung. 


"Semakin baik harga CPO otomatis semakin menjadi bumerang bagi perusahaan-perusahaan yang arus memenuhi DMO dan DPO itu. Sebab rentang harga jual CPO dan subsidi yang musti dilakukan perusahaan akan makin lebar. Kenyataan-kenyataan seperti ini harus dipikirkan," kata Aziz di Pekanbaru.


Dalam dunia bisnis, sektor usaha tentunya tidak mau rugi. "Bisnis tentu tidak mau rugi. DMO dan DPO itu dimulai saat harga CPO masih di angka Rp 15 ribu dan kemarin per 1 Maret harga CPO sudah Rp 18.250 perkilogram. Nah kalau dikaitkan dengan pembuatan minyak goreng, berarti modal membuat minyak goreng itu bisa-bisa sudah Rp Rp 21 ribu namun harus dijual senilai Rp 14.000 perkilogram, berarti kan korporasi sudah tekor Rp7 ribu. Itupun jika hasil pengolahan sekilogram CPO bisa menjadi sekilogram minyak goreng. Kalau hanya menjadi 0,7 kilogram migor gimana? Berarti kerugian perusahaan akan semakin besar,"imbuh Aziz.

Aziz mengatakan, kebijakan DMO dan DPO yang ada saat ini bukan merupakan solusi tepat untuk mengatasi tingginya harga minyak goreng. Karena bagaimanapun, jika harga CPO sebagai bahan baku minyak goreng tinggi, tentu harga minyak goreng juga akan ikut melonjak.  


"Kalau menurut saya, menaiknya harga CPO itu sudah menjadi risiko bagi kita untuk realistis menaikkan harga minyak goreng. Membiarkan harga minyak goreng naik sesuai harga real bahan bakunya," ujarnya. 


Kalau pemerintah kemudian menginginkan harga minyak goreng tetap murah di tengah masyarakat, silahkan membuat kebijakan, misalnya melalui mensubsidi minyak dan peruntikan jelas. (TIA)

SHARE