IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi 2023-2024, Perlunya Peran Aktif Bank Sentral
Dana Moneter Internasional (IMF) merilis proyeksi pertumbuhan global terlemah untuk jangka menengah dalam 30 tahun terakhir pada Selasa (12/4).
IDXChannel - Dana Moneter Internasional (IMF) merilis proyeksi pertumbuhan global terlemah untuk jangka menengah dalam 30 tahun terakhir pada Selasa (12/4).
Lembaga yang berbasis di Washington, D.C. ini mengatakan, dalam lima tahun dari sekarang, pertumbuhan global diperkirakan akan mandeg di angka sekitar 3%. Ini menjadi perkiraan jangka menengah terendah dalam laporan IMF World Economic Outlook sejak 1990.
“Ekonomi dunia saat ini diperkirakan tidak akan kembali ke tingkat pertumbuhan yang berlaku sebelum pandemi,” kata IMF dalam prospek ekonomi terbarunya.
Prospek pertumbuhan yang lebih lemah berasal dari negara-negara ekonomi maju seperti China dan Korea Selatan. Kondisi ini juga dampak dari pertumbuhan angkatan kerja global yang lebih lambat dan fragmentasi geopolitik, seperti Brexit dan invasi Rusia ke Ukraina.
Dalam jangka pendek, IMF memperkirakan pertumbuhan global akan mencapai 2,8% tahun ini dan 3% pada 2024. Angka ini sedikit di bawah perkiraan IMF pada Januari.
"Prospek ini mencerminkan sikap kebijakan ketat yang diperlukan untuk menurunkan inflasi, dampak dari penurunan kondisi keuangan baru-baru ini, perang yang sedang berlangsung di Ukraina, dan meningkatnya fragmentasi geoekonomi," kata IMF dalam laporan yang sama.
IMF juga melihat ekonomi Amerika Serikat (AS) berkembang sebesar 1,6% tahun ini dan zona euro tumbuh sebesar 0,8%. Namun, Inggris diproyeksikan aka mengalami kontraksi sebesar 0,3%.
PDB China juga diperkirakan akan meningkat sebesar 5,2% sepanjang 2023. Emerging market Asia lainnya, yakni India diperkirakan akan mengalami pertumbuhan PDB sebesar 5,9%.
Sementara ekonomi Rusia yang mengalami kontraksi lebih dari 2% pada 2022, terlihat akan tumbuh sebesar 0,7% tahun ini.
IMF menegaskan guncangan yang memengaruhi dunia pada 2022, seperti sikap moneter bank sentral yang ketat untuk meredakan inflasi, penyangga fiskal yang terbatas untuk menyerap guncangan di tengah tingkat utang yang tinggi secara historis, lonjakan harga komoditas, dan fragmentasi geoekonomi dengan perang Rusia di Ukraina, serta dampak pembukaan kembali ekonomi China tampaknya akan berlanjut hingga 2023.
Waspada Efek ‘Bekas Luka’ Guncangan Perbankan
Dalam analisisnya, IMF mengatakan bahwa perkiraan dasarnya adalah dengan asumsi tekanan sektor keuangan baru-baru ini dapat diatasi. Mengingat, sejumlah dinyatakan ambruk pada Maret lalu dan menyebabkan volatilitas di pasar global.
Keruntuhan Silvergate Capital, Silicon Valley Bank, dan Signature Bank yang mengejutkan publik disokong oleh kebijakan regulator yang mengambil tindakan dalam upaya mencegah penularan.
Sejak itu, First Republic Bank yang juga menghadapi permasalahan serupa mendapat dukungan dari pemberi pinjaman lain.
Efek tular juga sempat merembet ke Eropa di mana bank terbesar di Swiss, UBS dan bank nasional Swiss harus turun tangan untuk menolong Credit Suisse.
S&P Global Ratings juga telah merevisi prospek terhadap global banking dari awalnya positif menjadi stabil untuk beberapa bank utama AS. Di antaranya Bank of America Corp. (BAC), JPMorgan Chase & Co. (JPM), The PNC Financial Services Group Inc. (PNC), dan Truist Financial Corp (TFC).
Menurut S&P Global Ratings, pevisi prospek ini mengikuti gejolak pasar setelah kegagalan bank baru-baru ini. Kondisi ini menunjukkan masih adanya potensi tantangan yang muncul di industri perbankan.
“Kami melihat volatilitas pasar yang meningkat sebagai hal negatif bagi sektor perbankan dan mengingatkan sensitivitas kepercayaan industri. Pergerakan signifikan dalam kebijakan moneter dan suku bunga membuat pengelolaan risiko suku bunga bagi bank menjadi lebih menantang,” kata laporan S&P Global Ratings di akhir Maret lalu.
Dengan inflasi yang masih tinggi, ketidakpastian dan risiko penurunan prospek ekonomi semakin terbuka lebar.
“Ekonom kami memperkirakan AS akan mengalami resesi dangkal tahun ini, tetapi kemungkinan juga terjadi hard landing. Jika ekonomi menderita lebih jauh akibat resesi dangkal, kualitas aset di sektor perbankan dapat memburuk dan bank dapat mengalami kerugian pasar dan kredit yang lebih tinggi,” tambah analisis S&P Global Ratings.
Menuntut Peran Aktif Bank Sentral
Tekanan di sektor perbankan telah mereda dalam beberapa minggu terakhir, namun masih menjadi pemberat gambaran ekonomi secara keseluruhan di mata IMF.
"Tekanan sektor keuangan dapat meningkat dan penularan dapat terjadi, melemahkan ekonomi riil melalui penurunan tajam dalam kondisi pembiayaan dan memaksa bank sentral untuk mempertimbangkan kembali jalur kebijakan mereka," tulis rilis IMF.
Menurut IMF, kegagalan bank-bank di AS menjelaskan konsekuensi potensial dari kebijakan moneter hawkish di banyak ekonomi utama dunia.
Suku bunga yang lebih tinggi oleh bank sentral sebagai jalan menurunkan inflasi sangat merugikan perusahaan dan pemerintah nasional dengan tingkat utang yang tinggi.
Institusi ini memperkirakan inflasi utama global turun dari 8,7% pada 2022 menjadi 7% tahun ini, karena harga energi turun.
Namun inflasi inti, yang tidak termasuk biaya makanan dan energi, diperkirakan akan memakan waktu lebih lama untuk turun. Dalam kebanyakan kasus, IMF tidak memperkirakan inflasi utama akan kembali ke tingkat sasarannya sebelum tahun 2025. (Lihat grafik di bawah ini.)
“Hard landing — terutama untuk ekonomi maju — telah menjadi risiko yang jauh lebih besar. Pembuat kebijakan mungkin menghadapi trade-off yang sulit untuk menurunkan inflasi dan mempertahankan pertumbuhan sambil menjaga stabilitas keuangan,” kata IMF. (ADF)